8. Bertemu Orang Tua

Waktu sudah menunjukkan pukul 19:00 WIB. Tanpa terasa hari telah berganti, matahari tak lagi bersinar dan sang rembulan yang telah menggantikan posisinya.

Jadwal pertemuan dengan ayahnya tepat pukul 20:00 WIB, masih tersisa enam puluh menit bagi Niken mempersiapkan segalanya. Guna menghindari hal-hal negatif, Niken pun membawa Ardi ke apartemen miliknya. Di sana Ardi akan lebih aman dibandingkan harus menyewa kamar hotel. Resikonya begitu tinggi untuk sekarang.

Niken masih bersiap di ruangannya, sedangkan Ardi tengah mondar mandir tidak karuan di ruang tengah. Dia tidak bisa duduk dengan tenang karena terus saja memikirkan pertemuannya nanti.

"Tenang Ardi. Atur napasmu. Tarik kuat-kuat, lalu hembuskan. Tarik kuat-kuat napasmu, lalu hembuskan."

Ardi pun mengatur pernapasannya berulangkali, tetapi hatinya masih saja belum tenang. Sementara itu, Niken masih asyik berdandan di kamarnya. Dia harus menghias dirinya secantik dan sebaik mungkin karena malam ini akan terjadi pertemuan penting. Jadi, dia harus menunjukkan penampilan terbaik serta spesial.

Gaun malam berwarna hitam dipilih Niken untuk menghadiri pertemuannya dengan orang tuanya. Gaun hitam yang panjangnya semata kaki, sengaja Niken pilih karena senada dengan jas yang Ardi pakai hari ini. Hanya saja ada aksen beberapa permata di gaunnya, sedangkan di jas Ardi tidak ada permatanya.

"Apakah ini sudah sesuai?" selidiknya, pada pantulan cermin. "Bismillah. Semoga semuanya berjalan lancar. Amin ..." Dia berdoa terlebih dulu agar pertemuannya dipermudah.

Walaupun sudah cantik jelita, tetapi Niken masih memoles bedak dan sebagainya di pipi dan juga si bulu mata. setelah dirasa sudah cukup, maka Niken mulai beranjak dari sana. Dia berputar-putar di depan cermin, guna memeriksa penampilannya apa sudah sesuai atau belum? Setelahnya dia meraih botol parfum, lalu menyemprotkan parfum ke seluruh tubuhnya.

Parfum yang dibelinya khusu serta diproduksi langsung di Amerika itu, memiliki aroma yang tidak terlalu pekat. Namun, aromanya tahan lama di tubuh. Jadi Niken hanya perlu memakainya sekali saja agar aromanya tidak terlalu mencolok.

Niken pun akhirnya keluar kamar, menunjukkan dirinya di depan Ardi yang masih saja mondar-mandir seperti setrikaan di sana.

"Ayo, kita pergi!" ajaknya tanpa keraguan, dengan wajah yang tersipu malu dan bibir yang sedikit dimainkan.

***

Keduanya pun pergi menuju hotel bintang lima yang terletak di Senayan. Seperti yang sudah dijanjikan, Ardi dan Niken tiba di sana sepuluh menit sebelum pukul 20:00. Andai, bukan karena macet, mungkin keduanya sudah sampai lebih awal.

Ardi dan Niken berjalan saling bergandengan, mengumbar keromantisan kayaknya sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara.

Niken bergelayut manja di lengan kekar Ardi. Biarpun tidak pernah olahraga di gim, tetapi dia memiliki otot yang kekar. Otot-otot ini Ardi dapat dari pekerjaannya sebagai kuli bangunan. Dirinya kerap membawa beban di atas dua puluh kilogram, setiap harinya. Inilah yang membuat ototnya tercipta secara alami.

Orang-orang yang ada di hotel pun langsung memandangi dua insan tersebut. Ditambah dengan dua Bodyguard yang mengawal di belakang, semakin mencuri perhatian mereka.

"Mengapa semua orang melihat ke arah kita?" bisik Ardi, tanpa memalingkan pandangannya, dan mengeratkan gigi-giginya karena merasa tidak nyaman menjadi bahan perhatian orang-orang.

"Inilah yang disebut ketenaran. Kau harus benar-benar terbiasa karena setiap hari kau akan menjadi perhatian semua orang dan bukan hanya untuk kali ini saja, tetapi setiap hari. Mengerti?" balas Niken ikut berbisik dan tetap tersenyum manis kepada para audiens.

Niken sendiri tidak peduli dengan apa yang mereka pikirkan sekarang? Dia hanya ingin cepat-cepat bertemu ayah serta ibunya. Memakai gaun panjang dan sedikit ketat membuat Niken mulai tidak nyaman. Dalam kesehariannya, Niken jarang memakai gaun. Dia lebih sering celana panjang agak sedikit longgar dan begitu juga dengan bajunya.

"Tapi, aku merasa tidak nyaman," lanjut Ardi yang mempererat genggamannya pada Niken.

Gadis ayu, yang malam ini bergaya layaknya Ratu itu, bisa memahami ketakutan yang tengah mengusik hati Ardi sekarang.

Kalau sudah begini, mau bagaimana lagi? Dia harus mempercepat langkahnya agar tidak semakin menarik perhatian para pengunjung di sana.

Ardi pun mengikuti ritme langkah Niken. Dia bisa mengimbanginya karena sejak tadi inilah dirinya inginkan.

Dengan langkah yang dipercepat, semakin membuat orang-orang memerhatikan keduanya. Dikarenakan tingkah keduanya yang berbeda. Dari pakaian sudah rapi dan mewah, tetapi cara berjalannya sama sekali tidak mencerminkan sikap yang elegan.

Walaupun begitu, Ardi berusaha untuk tidak mempedulikannya. Hingga akhirnya sampai juga di depan lift.

Ayah beserta ibunya telah menunggu di lantai dua puluh, sesuai yang sudah disepakati bersama. Saat hendak memasuki lift, mendadak Ardi menjadi ragu.

"Kita tidak usah bertemu ibu dan ayahmu, Ya. Aku merasa gugup dan takut," ungkap Ardi seraya menahan Niken untuk tidak masuk lift. "Bisa tidak pertemuannya diundur saja. Mungkin besok atau lusa, setidaknya tunggu aku siap untuk bertemu mereka. Sekarang aku benar-benar belum siap menemui ibu dan ayahmu," pinta Ardi sedikit merengek.

Tangannya terus dipegangi, sehingga sulit bagi Niken untuk mengambil keputusan kalau begini. Percuma juga dia memberikan nasehat, kalau akhirnya Ardi akan menolaknya juga.

Niken bisa memahami ketakutan yang sedang mendera calon suaminya karena sesungguhnya dia juga merasa takut. Takut ayahnya tidak bisa menerima Ardi.

Niken pun berpikir, mencari cara agar Ardi bersedia untuk menemui ibu dan ayahnya. "Bagaimana kalau aku memberimu tawaran yang mungkin akan membuatmu lebih bersemangat?" tawarnya dengan senyuman kemenangan.

Ardi melepaskan tangan Niken, berdiri tegak dan menatapnya dengan lekat.

"Tawaran apa itu?"

***

Setelah dibujuk dengan berbagai cara, akhirnya Ardi mau juga menemui Bambang dan Mita yang sudah menunggu keduanya di lantai dua puluh.

"Niken benar-benar minta maaf karena sudah membuat ayah dan ibu menunggu," ungkapnya tulus.

Ardi bingung harus bagaimana? Dia ingin menyapa, tetapi dia lupa siapa nama ibu dan ayah Niken.

Suasana pertemuan pun menjadi canggung di antara mereka. Mita pun mengambil inisiatif. "Subhanallah. Inikah calon menantu Mama? Sungguh sangat tampan, kamu sayang," pujinya tanpa dibuat-buat.

"Omong-omong, siapa namamu, Sayang?" tanyanya, yang semakin mendekatkan diri pada Ardi. Bahkan begitu menempel pada pemuda yang akan menjadi suami dari putri satu-satunya itu.

Ardi pun tersenyum canggung, "Namaku Muhammad Ardi Bagaskara. Tante bisa memanggilku dengan sebutan Ardi saja."

Bibirnya begitu berat saat menyebutkan nama aslinya, terutama nama belakang yang sebenernya hanya sebagai penghias saja.

Niken pun bernapas lega saat Ardi menyebutkan nama sesuai yang telah disepakati sebelumnya. Ada rasa cemas saat Mita langsung menanyakan nama lengkap Ardi. Namun, satu rintangan sudah teratasi. Masih ada beberapa rintangan menuju halal.

"Diajak duduk dong mereka. Jangan cuma berdiri saja," celetuk Bambang, merasa geram saat Mita tidak kunjung mengajak Niken dan Ardi duduk.

Mita pun menepuk keningnya dan terkekeh geli, "Maafkan Mama sayang. Mama lupa untuk mengajak kalian duduk karena pesona Ardi membuat dunia Mama seolah berhenti, Sayang."

Kata sayang-nya Mita tunjukkan untuk Niken. Secara tidak langsung kalimat yang Mita sampaikan tadi menjadi lampu hijau bagi Niken untuk maju menuju pelaminan.

"Terima kasih, Ma," balas Niken malu-malu, saat pipinya disentuh sang Mama tercinta.

"Ayo! Ayo, kita duduk. Pasti ayahmu sudah tidak sabar ingin berkenalan dengan menantunya," ungkap Mita antusias, sembari melirik Bambang yang duduk sendiri di sana, sekaligus menunjukkan kalau dia sudah setuju Niken menikah dengan Ardi.

Nyatanya pesona Ardi mampu membuat Mita langsung jatuh hati. Bukan sebagai kekasih, tetapi menantu yang telah dipilih oleh hati. Tidak perlu waktu lama baginya untuk mengenal Ardi. Mita merasa cocok dengan Ardi.

Ardi pun mengikuti langkah Niken dan Mita. Dia harus mempersiapkan mental besar untuk bertemu dengan Bambang Adi Atmaja, yang terkenal tegas dan keras kepala.

Bambang sudah menunggu kedatangan Niken dan Ardi sejak tadi, bahkan sampai kopi yang dipesannya telah habis.

Niken mencubit pinggang Ardi, "Semangat." Dia berbisik tanpa menggerakkan bibirnya. Sehingga suaranya tidak terlalu jelas, tetapi Ardi bisa memahaminya. Dia mengangguk, seraya melirik Niken yang berjalan di sisi kananya. Sedangkan Mita ada di sisi kiri.

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!