Dalam perjalanan pulang dari bandara menuju ke rumah, Airlangga berusaha berbicara dan merebut hati putri kecilnya itu. Akan tetapi, yang ada Thania masih begitu dingin. Seakan Papanya itu benar-benar seperti orang asing.
"Bagaimana sekolahnya Thania?" tanya Rangga di dalam mobil itu.
Sementara Thania yang ditanyai hanya diam. Melihat situasi yang dingin itu, Oma Kanaya kemudian berbicara. "Sekolahnya bagaimana Sayang? Ceritain ke Papa itu, siapa guru favoritnya Nia," kata Oma Kanaya.
Rangga kemudian menganggukkan kepalanya. Dia teringat dengan sosok guru yang pernah menjenguk Thania di rumah sakit. Oleh karena itu, Rangga pun membuat topik pembicaraan baru berkaitan dengan guru itu, siapa tahu Thania bisa lebih terbuka.
"Oh, iya ... Papa lupa. Guru yang jengukin Thania ke rumah sakit itu namanya siapa yah Oma?" tanya Rangga.
"Thania pasti tahu banget dan bisa menjawab. Siapa, Nia? Jawab tuh pertanyaan Papa kamu," kata Oma Kanaya lagi.
"Oma, itu kan namanya Miss Irene. Miss-nya Thania," jawabnya.
"Miss Irene orangnya baik yah, Thania?" tanya Rangga lagi.
"Ya, baik. Baik Miss Irene," balas Thania.
"Besok Senin yang anterin Thania ke sekolah biar Papa yah? Sapa tahu Thania mau mengenalkan Papa sama Miss Irene," kata Rangga.
Lagi-lagi Thania diam. Rangga menjadi memahami mengambil hati anak kecil sangat tidak mudah. Padahal yang dia hadapi adalah anak kandungnya sendiri, tapi mendapatkan hati Thania rasanya begitu sukar. Begitu sampai di rumah, Thania juga lebih memilih bermain dan belajar sendiri, Rangga diam-diam mengamati putrinya itu dari jauh. Hingga akhirnya Bunda Kanaya mendekat dan menepuk bahu putranya itu.
"Sabar ... kalian kurang waktu bersama, berdua. Bonding orang tua dan anak itu penting, sementara kalian terpisah jauh dan begitu lama dalam tiga tahun terakhir. Jangan patah semangat. Suatu hari nanti hubunganmu dan Thania akan membaik," kata Bunda Kanaya.
"Apakah bisa, Bun?"
"Pasti bisa. Kalian hanya kurang waktu bersama. Kurang dekat saja. Percayalah, suatu saat nanti kamu dan Thania akan memiliki hubungan yang jauh lebih baik."
Rangga terdiam. Semoga saja apa yang disampaikan bundanya benar adanya. Sebab, sebagai seorang papa, dia juga menginginkan hubungan yang dekat dengan putri semata wayangnya sendiri.
"Besok kita ke rumah Mas Aksara dan istrinya yah? Kamu belum kenalan sama istrinya Mas Aksara," ajak Bunda Kanaya.
"Iya, Bun. Mas Aksa sudah punya baby juga kan?"
"Benar, Mas Aksara sudah memiliki anak. Dua, Rangga. Dengan selisih kurang dari dua tahun," jawab Bunda Kanaya.
"Apakah itu tak terhitung dekat? Harusnya bisa menjaga jarak persalinan," balas Rangga.
"Banyak hal-hal terjadi dalam hidup, di luar perencanaan kita. Jadi, memang begitu adanya. Kendati demikianlah, Mas Aksara dan Kak Syilla menikmati peran mereka sebagai orang tua. Keluarga mereka harmonis," balas Bunda Kanaya.
Mendengarkan bahwa keluarga kakaknya harmonis, Rangga tertunduk. Sebab, kata harmonis terasa sangat jauh dari dirinya. Tidak ada malahan. Siapa yang menyangka, pria berusia 23 tahun, sudah menjadi single parents untuk putri yang berusia hampir lima tahun? Sungguh ironis bukan? Terlihat jelas kata harmonis tidak ada dalam kamus Airlangga.
"Sudah, jangan mikir yang macam-macam. Sekarang, kamu sudah di Jakarta. Istirahatlah dulu, dan besok kita akan ke rumah Mas Aksara."
Airlangga akhirnya memilih masuk ke dalam kamarnya. Suasana kamar yang tak berubah sejak dia berangkat pergi ke Australia. Semua masih berada di tempatnya. Hanya saja kamar miliknya itu terkoneksi dengan kamar putrinya, Thania.
...🍀🍀🍀...
Keesokan Harinya ....
Menjelang siang hari, Bunda Kanaya mengajak Rangga dan Thania ke rumah Aksara, putra sulungnya. Sekaligus mengenalkan Rangga dengan kakak iparnya dan keponakannya yang sudah lahir. Selain itu, sewaktu Aksara menikah, Airlangga masih berada di Melbourne sehingga dia belum mengenal istri kakak kandungnya. Rangga datang tidak dengan tangan kosong. Ada beberapa hadiah dari Australia yang dia belikan untuk keponakannya.
"Jadi, anak-anaknya Mas Aksa, satu hampir dua tahun dan satunya masih bayi yah, Bun?"
"Benar, Rangga. Selisihnya sangat sedikit. Nanti kalau mereka sudah tumbuh besar bisa dikira kembar," balas Bunda Kanaya.
"Nia nanti mau main sama Ara yah, Oma," sahut Thania yang duduk di belakang.
Oma Kanaya pun menganggukkan kepalanya. "Tentu saja boleh. Ara itu kakak kecil kamu, Nia. Seharusnya kamu memanggilnya Kakak."
"Kan gedean Nia, Oma. Nia sudah sekolah loh, kalau Ara masih kecil," balas Thania.
Oma Kanaya dan Airlangga tersenyum. Benar yang disampaikan Bunda Kanaya, seharusnya Thania memanggil Ara dengan sebutan kakak. Akan tetapi, karena Thania lebih tua, sehingga Thania memanggil kedua putri Unclenya dengan langsung memanggil namanya.
Setelah berkendara beberapa saat lamanya, sekarang mereka sudah tiba di kediaman Aksara. Airlangga mengamati rumah dengan konsep Mediterania dan banyak kaca di sana. Terlihat jelas bahwa ilmu yang dimiliki Aksara sebagai seorang arsitek benar-benar diterapkan dalam rumah yang mereka tempati. Warna putih yang mendominasi bangunan juga membuat rumah itu tampak bersih.
"Rumahnya Mas Aksa bagus banget," kata Airlangga.
"Dia bilang membangun rumah ini dengan cinta. Untuk istri dan anak-anaknya," balas Bunda Kanaya.
Rangga menghela napas. Dalam benaknya dia berpikir bahwa kakaknya benar-benar memiliki kehidupan yang seimbang. Karir yang baik di perusahaan Bundanya, istri dan anak-anak. Semua yang indah dan seimbang seolah dimiliki oleh Aksara. Semuanya begitu berkebalikan dengan dirinya.
"Assalamualaikum, permisi ...."
"Waalaikumsalam," sahut seseorang dari dalam rumah.
Tampak seorang wanita cantik yang membukakan pintu untuk Bunda Kanaya, Rangga, dan Thania. Di sana Thania pun segera menyapa Ontynya yang membukakan pintu.
"Onty Syilla ... Nia datang," katanya.
"Sini, masuk ... senengnya Nia datang ke rumah Onty."
Setelah itu, Arsyilla kembali berbicara. "Silakan masuk, Bunda."
Bunda Kanaya masuk ke dalam rumah dan diikuti oleh Rangga. Sekarang, mereka duduk di ruang tamu. Dari arah anak tangga, Aksara turun dengan menggendong bayi Anna yang baru berusia kurang lebih dua bulan.
"Aksara," sapa Bunda Kanaya.
"Bunda ...."
"Mas Aksa," sapa Rangga.
Begitu dingin kakak dan adik itu. Terlebih Aksara yang biasanya hangat, Tiba-tiba menjadi dingin. Tentu sebagai kakak dan adik, pastilah hubungannya tidak akan sedingin ini bukan? Di sisi lain, Thania juga mendekat ke Aksara.
"Daddy, Nia kangen," katanya.
Seolah terlihat Thania ingin dipangku oleh Daddynya itu. Melihat Aksara yang sedang menggendong bayinya, Rangga kemudian memanggil Thania.
"Thania, sini sama Papa saja. Itu Uncle Aksara baru gendong baby. Sini, Thania ...."
"No, gak mau. Nia mau sama Daddy," balas Thania.
Melihat keponakannya, kemudian Aksara menyerahkan baby Anna ke dalam gendongan Arsyilla. Kemudian dia memangku Thania.
"Sini, sudah dipangku, Daddy. Thania datang ke sini kok enggak menelpon Daddy dulu?"
"Iyahh ... diajakin Oma kok, Daddy."
Cukup lama Thania mengobrol dengan Daddy Aksara. Rangga hanya bisa melihatnya saja. Oma Kanaya kemudian memanggil Thania lagi.
"Sini, Nia ... Papa juga mau gendong atau memangku kamu loh."
"Enggak, Oma. Nia mau ikut Daddy aja. Gak suka ikut Papa."
Arsyilla yang melihat semua itu terdiam. Akan tetapi, dia merasa ada sesuatu yang salah di sini. Bagaimana bisa Thania terlihat tidak dekat sama sekali dengan Papanya? Padahal seharusnya anak perempuan akan menganggap Papa sebagai cinta pertamanya, tapi di sini ada tabir pemisah antara Thania dan Rangga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Susanty
kira² ada masalah masa lalu apa yah yang bikin Rangga jadi duda 🤔🤔
2024-01-05
0
Afternoon Honey
⭐
2023-11-10
1
Nurhayati
Hanya butuh proses 😊
2023-10-21
1