"Di sini aku utamakan pasien...aku bukan di rumah. Katakan ada apa? Aku sangat sibuk." sahut Utari tak mau kalah dari gertakan Duryudana.
"Mas mau tanya mengapa semua kartu kredit kena blokir?"
"Oh itu...apa mas tak tahu kalau perusahaan sedang lakukan pembersihan? Aku sudah dapat laporan dari bagian keuangan kalau banyak kartu kredit terpakai over limit. Pemegang saham lagi cek ke mana larinya uang yang keluar dari kartu kredit. Tiap bulan kantor harus tutupi kartu kredit sampai milyaran maka semua kartu kredit dibekukan."
"Kamu ini bagaimana sih? Kita ini pemegang saham terbanyak mengapa mesti tunduk pada mereka pemegang saham setitik debu. Kamu harus buka blokiran kartu kredit mas. Mas perlu dana untuk buka investasi baru. Tidak banyak..cuma butuh tiga milyar."
"Aku tak punya kuasa karena ada beberapa dewan direktur sudah komplain kehilangan banyak dana segar hanya untuk tutupi kartu kredit. Apa mas yang hambur uang itu?"
"Tari...aku ini suamimu! Kau dengar mereka atau aku? Aku CEO wajar gunakan uang kita. Mereka bisa apa bila aku mau pakai uang?"
"Untuk apa uang sebanyak itu? Bulan lalu mas baru saja tarik yang dari tabungan sebanyak satu milyar. Sekarang minta tiga milyar. Apa mas pikir itu uang monopoli boleh dijadikan mainan? Perusahaan itu banyak pemilik saham. Bukan punya kita pribadi." Utari meninggikan nada suara kesal pada keangkuhan Duryudana.
"Mas kan sedang buka usaha baru. Butuh biaya cukup banyak. Kalau tak bisa buka blokiran kau kasih ATM tabungan. Mas akan tarik dari situ. Tiga milyar takkan buat kita miskin."
Kalau Utari berada di depan suaminya pasti akan tendang laki itu masuk parit. Begitu gampang katakan uang tiga milyar tak ada artinya. Mungkin di dalam pikiran Duryudana uang itu bisa dimasukkan ke dalam mesin fotocopy dan cetak semaunya. Apa otak lelaki itu sudah kena petir sehingga korslet tak bisa digunakan untuk berpikir waras.
"Maaf mas... uang tabungan aku akan gunakan untuk perluas minimarket kita. Itu tak bisa diganggu lagi. Itupun uang pribadi aku. Soal uang di perusahaan kita tak bisa ambil satu sen pun sebelum semua jelas. Mas tunda dulu investasi sampai kantor kasih kabar."
"Ya ampun sayang...mas sudah terlanjur janji mau kerjasama sama teman. Apa kamu mau bikin malu suamimu?"
"Katakan pada temanmu kalau itu bukan uang mas jadi tak usah banyak menuntut." ucap Utari mulai geram pada ketololan suaminya. Duryudana pikir Utari perempuan bodoh tak tahu apa-apa. Seenaknya dia main belakang memanjakan wanita lain gunakan semua fasilitas kantor.
"Hei apa maksudmu?"
"Apa maksudku mas lebih jelas. Aku tutup dulu...masih ada pasien." Utari keraskan hati tak beri kesempatan pada Duryudana ambil hartanya untuk menyenangkan wanita lain. Tanpa menunggu jawaban suaminya Utari menyimpan telepon ke saku balik kontrol pasien yang baru dia tangani. Selanjutnya adalah rekom pasien untuk diperiksa oleh dokter spesialis setalah dapat hasil laboratorium.
Utari mencari tempat untuk menenangkan pikiran. Sebenarnya Utari mau menangis meratapi nasib sialnya punya suami kurang ajar. Duryudana sama sekali tak tahu diri lupa dari mana asal.
Kursi CEO membuatnya lupa daratan sehingga semena-mena pada Utari yang pilih jadi dokter untuk penuhi panggilan jiwa ketimbang meneruskan perusahaan orang tuanya. Utari percaya pada suaminya maka serahkan perusahaan dikelola oleh Duryudana. Siapa sangka setelah empat tahun menikah Duryudana mulai main hati. Laki itu pikir Utari buta tak bisa lihat apa yang terjadi di sekeliling.
Ponsel Utari kembali berdering. Tak usah lihat Utari tahu siapa yang telepon. Pasti lakinya belum puas teror dia sebelum hasratnya terpenuhi. Utari tak boleh lemah hati biarkan kondisi makin runyam. Dia mesti tegas pada Duryudana supaya tak dianggap wanita tolol.
Utari tahu kalau dia tak jawab ponselnya bakal meledak asyik berdering. Laki tak tahu malu macam Duryudana tak perlu dikasih hati. Selalu menganggap diri sangat penting bisa berbuat semena-mena tanpa mengingat siapa dirinya.
"Halo..ada apa lagi?" bentak Utari mulai kasar.
"Sayang...kau mau lihat suamimu dipermalukan tak tepat janji? Mau tarok di mana muka kita bila ingkar janji. Pinjam dulu ATM kamu. Setelah kamu dapat cuti kita liburan d Paris. Kita honeymoon lagi." rayu Duryudana biar hati Utari melunak.
Andaikata Utari tidak menangkap perselingkuhan Duryudana mungkin sekarang dia adalah wanita yang paling bahagia. Menikmati bulan madu kesekian kali merupakan impian semua pasangan suami istri. Sayang sekali Duryudana telah menodai ikatan janji suci yang mereka ucapkan bersama empat tahun lalu.
"Mas...sudah berapa kali kubilang tak bisa. Bukankah mas punya ATM sendiri. Pakai dulu uang mas."
"ATM mas kosong...mas benar-benar lagi investasi besar-besaran. Untuk masa depan kita berdua."
"Kosong? Ke mana gaji mas selama ini? Bukankah gaji mas di perusahaan lumayan gede? Semua masuk kantong mas. Apa mas pernah ngasih uang belanja? Biaya hidup semua aku yang tanggung. Jadi mas ke mana kan uang segitu banyak? Apa mas piara binatang pengerat uang?" Utari sudah tidak sabar sehingga berkata kasar.
"Utari jaga mulutmu! Kau ragu pada kesetiaan mas? Kau tahu cinta mas hanya padamu. Tak ada wanita lain dalam hidup mas."
"Oya? Apa ini jujur dari hatimu? Berani angkat sumpah Atas Al Qur'an?" tantang Utari tak sabar mau telanjangi kebusukan suaminya. Sebenarnya Utari sudah sangat geram pada kelakuan Duryudana tapi dia tahan sampai waktu tepat tendang laki itu dari rumah.
"Mas jujur sayang padamu...untuk apa sumpah segalanya. Mas ke rumah sakit ambil ATM ya! Mas harus buru-buru ke kota B ditunggu rekan bisnis."
"Tak bisa mas...biar aku jumpa rekan bisnismu. Aku akan minta pengertian."
"Ya Tuhan...kau ini gimana sih? Sejak kapan ikut campur urusan bisnis. Ya sudah biar mas tangani sendiri. Malam ini mas tak pulang. Oya...apa kode brankas kenapa berubah?"
"Kok mas tahu sudah berubah? Emang mas lihat apa di dalam?"
"Oh tidak...mas iseng doang! Mas kan ada simpan cincin batu akik dari Aceh. Mas mau ambil kasih ke rekan bisnis sebagai hadiah. Berapa kode sandi baru?"
"Wah aku juga lupa mas! Tapi ada kucatat di buku notes dekat meja kerja aku."
"Ya sudah...mas cari nanti. Kau balik kerja saja. Kalau pulang malam hati-hati ya!"
Utari malas jawab. Tanpa ampun Utari matikan ponsel untuk sementara waktu. Utari yakin suaminya bakal telepon lagi bila tak temukan kode baru yang telah dia ubah. Utari sengaja bikin nomor acak biar susah ditebak. Duryudana pasti bingung pecahkan sandi yang telah Utari rombak sejak ketahuan lakinya selingkuh dengan sekretaris. Utari tak tahu dari mana nyali suaminya berani main gila di belakangnya. Padahal dia bukan apa-apa bila tak dibantu oleh Utari. Mungkin sampai detik ini hanya seorang manager kecil di kantor.
Untuk sementara Utari membuang jauh-jauh sosok suami brengseknya itu. Dia masih harus fokus melayani pasien yang datang untuk berobat. Waktunya terlalu berharga dibuang ke badan manusia yang tak tahu malu.
Utari mengusap wajahnya berkali-kali untuk menenangkan diri agar tidak terpancing emosi. Dia tak boleh bad mood karena ini menyangkut nyawa manusia. Sedikit saja dia berbuat salah akan berakibat fatal. Utari kembali bergabung dengan rekan kerja lain setelah merasa yakin bisa melanjutkan pekerjaannya sebagai seorang dokter. Yang lain-lain akan diselesaikan pada waktu yang tepat.
Menjelang waktu makan siang Srikandi segera mencari sahabatnya untuk menepati janji traktir kawannya makan siang. Mereka terpisah cukup lama membuat rasa rindu masih menyesak dada. Utari seperti sudah tahu kalau Srikandi ada akan datang mencarinya. Dokter itu menunggu di sekitar IGD agar Srikandi mudah mencarinya. Ponsel masih dimatikan oleh Utari agar suaminya tidak bisa mengganggu waktunya bersama Srikandi.
Dari jauh Utari melihat kehadiran Srikandi melenggang mendekati dirinya. Utari harus mengakui kalau Srikandi tampak semakin matang dan bersinar sejak meninggalkan Arjuna. Mampukah Utari melakukan hal yang sama bila berpisah dengan suaminya sekarang. Lebih baik sakit sekarang ketimbang memendam rasa luka sepanjang masa.
Senyum manis bertengger di bibir Srikandi begitu melihat temannya masih memakai snelli kedokteran. Beberapa hari lagi Srikandi juga akan menggunakan pakaian itu bila mulai praktek di rumah sakit. Seindah apapun pakaian di dalam tetap saja tidak akan terekspos bila tertutup oleh snelli warna putih.
"Sudah bisa memanjakan cacing di perut?" canda Srikandi begitu mendekat.
"Siap Bu dokter... Tadi juga sudah ada orderan dari tuan cacing pingin makan steak setengah matang."
Srikandi mencibir ulah Utari yang atas namakan cacing padahal dia pengen makan steak kesukaan dia itu. Utari bukannya tidak sanggup membeli makanan itu karena dia cukup kaya untuk membeli berlusin makanan seperti itu. Cuma makan sendiri rasanya tak nikmat. Steak lezat itu terasa hambar tanpa citarasa.
Makan bersama orang yang tepat yang sederhana pun terasa lezat. Srikandi dan Utari adalah sahabat yang cukup dekat sebelum Srikandi meninggalkan tanah air mencari kehidupan baru. Srikandi beruntung bisa move on dari kesedihan dikhianati oleh Arjuna.
"Ok..aku baik hati penuhi orderan cacing nakal di perutmu. Kita makan di tempat biasa?"
Utari menggeleng, "Sudah ditutup karena persaingan bisnis."
Srikandi menatap serius kepada Utari. Steak langganan mereka dulu adalah steak terlezat yang pernah dirasakan oleh Srikandi. Rasanya tak ada yang bisa mengolah daging koki di restoran itu. Srikandi tidak bisa melupakan setiap potongan daging yang dilumuri dengan saus dan keju yang lumer di lidah. Sayang sekali makanan selezat itu menghilang dari peredaran.
"Kang Bima ke mana?" Srikandi teringat kepada koki peramah yang selalu melayani mereka dengan ramah.
"Kudengar dia sudah kerja jadi chef di hotel ternama. Cie..masih berkenang pada koki yang ganteng itu ya?"
Srikandi menarik hidung Utari yang tidak seberapa mancung dengan geram. Untunglah hidung Utari bukan hasil oplasan sehingga tidak berubah bentuk walaupun ditarik kasar oleh Srikandi.
"Sembarangan...kamu yang bawa jalan... aku sudah kurang kenal daerah-daerah sini karena banyak perubahan. Arah lalu lintas saja banyak yang berubah. Aku tak mungkin membawa kendaraan di sini lagi karena tak tahu sasaran yang tepat." ujar Srikandi sembari mengambil lengan Utari untuk meninggalkan IGD tempat dinas Utari.
Selanjutnya mereka akan sering bertemu karena bertugas di rumah sakit yang sama. Srikandi tentu saja sangat senang bisa bekerja sama dengan Utari yang merupakan teman sehati.
"Aku ganti pakaian dulu sayang. Masak aku harus berpakaian begini keluar dari rumah sakit. Atau kita makan di kantin rumah sakit saja untuk mengurangi pengeluaran."
Srikandi mengedit bahu tidak ada ide. Untuk sementara Srikandi tidak bisa berbuat apa-apa karena kurang mengenal lingkungan yang banyak berubah. Srikandi hanya bisa mengandalkan Utari menjadi guide buatnya.
"Kau masih ada jam piket?"
"Iya dong! Kan sampai jam dua nanti."
"Ke kantin..." Srikandi langsung ambil keputusan makan di kantin rumah sakit saja karena tak mau merepotkan Utari yang masih dalam posisi piket. Pulang pergi saja makan waktu cukup lama belum lagi mereka ngobrol menyatukan kenangan yang terbuang selama ini.
"Dasar pelit..." Utari merepet padahal di dalam hati sangat senang Srikandi memahami posisinya. Kalau Srikandi bersikeras makan di luar maka dia terpaksa mencuri waktu jam kerja untuk menemani temannya itu. Utari mana tega menolak permintaan teman setelah sekian lama berpisah.
Kini keduanya melenggang santai mencari tempat nyaman untuk mengisi perut. Makanan di kantin Rumah sakit tidaklah semewah makanan di luar karena menunya menurut ukuran kantong para ke dokter dan perawat. Tidak semua perawat mampu membeli makanan yang mahal untuk mengganjal perut karena gajinya tidaklah sebesar pegawai kantoran.
Utari yang pergi pilih makanan meminta Srikandi duduk manis menanti hidangan. Katanya Srikandi yang traktir namun Utari yang membayar. Makanan segitu tidak akan membuat Utari menjadi miskin karena kehidupan Utari termasuk berada di posisi atas. Wanita ini masih memiliki perusahaan peninggalan orang tuanya yang dikelola oleh Duryudana suaminya.
Srikandi bukannya tak tahu kalau temannya itu punya gudang duit. Malahan Srikandi yang tak punya apa-apa selain ilmu dalam kepala. Hanya itu bisa diandalkan untuk memanjakan seluruh cacing dalam usus. Sama dengan Utari, Srikandi juga tak punya keluarga jadi penopang hidup.
Utari datang lagi membawa satu nampan berisi makanan dan minuman. Nampan satu lagi tak bisa dia bawa dengan kedua tangan yang tak seberapa besar. Untuk pegang stetoskop mungkin masih bisa diandalkan. Tapi untuk kerja berat sangat diragukan.
"Perlu kubantu dokter Utari?" ujar Srikandi bermaksud ngejek.
Ejekan Srikandi dibalas cebikan bibir Utari. Utari mana mungkin minta Srikandi ke tempat food court ambil nampan satu lagi. Mau baik hati biarlah sampai tuntas. Melayani teman datang dari jauh akan bawa pahala.
Utari meletakkan nampan di atas meja lalu putar badan mengambil nampan tertinggal. Srikandi memandangi hasil tangkapan Utari berupa ikan asam manis, tempe goreng, tumis cap cay dan sepotong ayam semur. Makanan berat di perut walau bergizi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
Bivendra
bab sebelumnya nm suami utari sentani skrg jd duryudana
2023-10-14
1
玫瑰
kasihan mereka. Kedua-duanya jadi mangsa suami sendiri..
2023-10-11
1
indy
Ada Duryudana juga...
2023-10-11
1