Utari acung jempol setuju dengan niat Srikandi. Karir tak boleh putus hanya karena benci pada makhluk ciptaan Tuhan yang tak punya moral. Srikandi yang waras mesti tegar walau bakal ada pemandangan kumuh.
"Aku cinta padamu sayang! Sebagai wanita kuat kau pasti bisa. Jangan sampai kau siakan nama Srikandi kamu. Ok? Aku kembali piket dulu ya say...jumpa siang nanti!" Utari berlari kecil keluar dari ruang praktek Srikandi. Sebelum pergi Utari masih sempat beri tanda cinta ala Korea. Saranghaeyo.
Srikandi tersenyum menanggapi kelucuan Utari. Utari tentu saja sangat mengenal Kunti dan Arjuna karena berasal dari satu fakultas yang sama walau pun beda generasi. Srikandi, Utari dan Kunti 1 almamater sedangkan Arjuna adalah senior mereka. Usia Kunti dan Arjuna hampir sama namun tingkatan mereka jauh beda. Kunti malah satu tingkatan dengan Utari dan Srikandi yang usianya jauh di bawah.
Srikandi lebih duluan di wisuda meninggalkan Utari dan Kunti. Kunti hampir saja mahasiswi abadi fakultas kedokteran. Kuliah hampir 10 tahun namun tidak lulus lulus juga. Dari sini bisa nilai kalau otak Kunti dipenuhi oleh karatan. Sudah karatan kotor pula.
Srikandi buang jauh kedua sosok yang jadi mimpi buruk dia. Tak ada guna membuang tenaga dan pikiran hanya memikirkan hal tak penting. Srikandi harus memikirkan karirnya yang masih panjang sehingga memberi pelayanan kepada mereka yang membutuhkan jasanya.
Setelah puas memantau tempat kerjanya Srikandi bersiap untuk pulang ke rumah yang dia kontrak untuk setahun ke depan. Srikandi tidak berniat membeli rumah di sini karena dia hanya bertugas selama setahun. Dan lagi dia juga tidak mempunyai banyak uang untuk membeli rumah yang harganya pasti mencapai miliaran. Di negeri Paman Sam sana Srikandi sudah mempunyai tempat berteduh walau bukan rumah mewah. Yang penting layak serta tidak kena panas matahari dan basah hujan. Kehidupan Srikandi sudah terjamin walaupun bukan dari golongan atas.
Sebelum meninggalkan Rumah sakit Srikandi teringat pada janjinya untuk traktir Utari makan siang. Srikandi mengurungkan niatnya untuk segera pulang ke rumah kontrakan demi menjaga perasaan temannya. Srikandi juga belum puas melepaskan rasa rindu kepada Utari maka Srikandi memilih mempelajari seluruh lokasi rumah sakit ini.
Srikandi berjalan sendirian tanpa ditemani oleh siapapun karena dia telah terpisah dengan dokter Alam dan dokter Baladewa. Srikandi juga tidak tahu kemana perginya kedua dokter senior itu. Bisa jadi sedang berbincang dengan direktur rumah sakit ataupun sedang mempelajari struktur rumah sakit ini seperti dirinya.
Rumah sakit ini cukup bersih serta terawat. Semua pegawai dan perawat ramah menandakan bekerja di sini telah mendapat pelatihan cukup ketat. Rumah sakit ini sudah bisa dipromosikan naik ke akreditas lebih tinggi. Sekarang hanya melihat peralatan serta pelayanan para dokter kepada pasien. Itu juga akan diperhitungkan jika ingin mengajukan Rumah sakit menjadi Rumah sakit internasional. Srikandi mengagumi dekorasi rumah sakit ini banyak mengalami perubahan. Banyak bagian telah dirombak ikuti perubahan zaman. Rata-rata diubah jadi kaca agar tampak lebih bercahaya dan bersih. Srikandi suka akan kebersihan menjadi senang bekerjasama dengan pihak yang hargai kebersihan.
"Bu dokter..." panggilan seseorang memecahkan konsentrasi Srikandi menyelidiki setiap sudut rumah sakit ini.
Srikandi merasa panggilan itu dituju padanya menghentikan langkah mencari sumber suara. Srikandi tidak akan abaikan setiap panggilan selama berada di rumah sakit. Setiap panggilan merupakan permintaan bila ingat berada di mana.
Srikandi menebar senyum lebar begitu tahu siapa yang iseng memanggilnya. Srikandi menunjukkan kedewasaan hadapi anak baru yang akan segera dilantik bila lepas masa choas.
"Kalian??? Gimana? Sudah temukan tutor kalian?" tanya Srikandi seramah mungkin.
Ketiga calon dokter muda itu cengar-cengir masih malu ketemu Srikandi yang sempat disangka setara mereka. Dikira amatiran nyatanya suhu.
"Kami mau Bu dokter jadi tutor kami!" kata Maesa malu kucing.
"Oh...ayok kita cari teman nyaman untuk diskusi! Aku bukan tolak kalian namun aku ingin tahu apa misi kalian jadi dokter. Kita duduk di luar saja ya! Tak enak dilihat orang kita orang baru kumpul bersama. Nanti dipikir kita sedang diskusi jelekkan rumah sakit." Srikandi tidak tunggu jawaban anak muda itu melangkah pergi cari tempat santai untuk buka mata dokter muda itu.
Cari tutor bukan lihat penampilan melainkan lihat misi apa yang akan mereka inginkan setelah lulus. Ini akan jadi bekal mereka untuk maju jadi spesialis. Tutor cukup penting jadi penentu masa depan seorang dokter muda. Mereka ingin melanjut menjadi spesialis apa maka yang harus dimulai dari sekarang mengikuti dokter yang berkecimpung dengan rencana mereka.
Maesa, Salya dan Wirata saling berpandangan lantas bergegas kejar langkah Srikandi sebelum hilang jejak. Rumah sakit ini cukup luas. Untuk cari orang butuh waktu baru bisa jumpa. Mereka harus segera mengajar Srikandi bila tidak mau ketinggalan jejak.
Srikandi mengajak ketika pemuda itu ke taman di luar tempat favorit Srikandi menghabiskan waktu di masa choas dulu. Bila pikiran suntuk Srikandi akan duduk di bawah pohon besar yang rindang untuk mendinginkan kepala. Pohon itu masih tumbuh subur berdiri tegak memberi pemandangan hijau kepada orang yang lalu lalang di rumah sakit ini.
Kalau dulu tempat duduknya terbuat dari kayu berbentuk bangku-bangku pendek tetapi sekarang telah dibuat tempat duduk dari batu keramik melingkari sekeliling pohon. Kelihatannya lebih indah memberi rasa adem bagi yang bernaung di bawah pohon yang usianya tidak mudah lagi.
Srikandi duduk di bawah pohon tanpa menunggu kehadiran ketiga pemuda yang sedang mengejarnya itu. Srikandi dengan senang hati terima ketiga pemuda itu bila memang cocok dengan jalan pikiran dia. Srikandi dulu juga pernah rasakan jadi murid mencari ilmu di rumah sakit ini. Srikandi beruntung dapat tutor sebaik Arjuna. Selangkah demi selangkah Arjuna bimbing Srikandi menjadi dokter bisa dipercaya. Sayang Srikandi ambil jurusan berbeda dengan sang tutor karena Srikandi benci pada laki maka sengaja membelok cari jurusan lain.
Srikandi akan beri yang terbaik kepada junior bila memang mau jadi anak asuh Srikandi. Tak ada guna sok killer bawahi anak baru. Sikap kaku justru akan membuat para junior terbebani. Srikandi akan terapkan pendekatan persahabatan buat ketiga pemuda itu.
Ketiga anak itu sampai juga di depan Srikandi. Mereka tahu diri tak berani ikutan duduk sejajar dengan dokter senior mata cantik itu. Bila tutornya cantik pikiran jadi segar menyebabkan ketiga anak ini mau pilih Srikandi.
Ketiganya berbaris sejajar persis di depan Srikandi siap mendengar arahan dokter cantik penyegar mata. Srikandi merasa lucu melihat ketiga pemuda itu seperti anak pelajar yang menunggu hukuman.
"Ayok duduk adik-adik! Kalian lebih tinggi dari aku membuat aku merasa di intimidasi oleh karena."
Serentak mereka ambil tempat berusaha duduk paling dekat Srikandi. Mengendus bau parfum Srikandi saja sudah bikin mabuk kepayang. Semua serba lembut seperti orangnya.
"Apa Bu dokter sudah siap terima kami?" tanya Salya penuh harapan.
"Apa kalian yakin bisa bekerjasama dengan aku? Aku orangnya disiplin. Tepat waktu tak suka pembangkang. Satu lagi.. Aku tak pernah beri toleransi bila ada yang buat kesalahan. Tak ada negosiasi bila salah." Srikandi paparkan tingkat kesulitan bila mau minta dia jadi tutor.
Salya menelan ludah kena pukulan mental. Belum apa-apa Srikandi sudah tunjukkan kalau dia adalah tutor galak bunyi judes. Tapi dilihat dari profil Srikandi jauh dari kesan otoriter. Bisa saja Srikandi sedang test mental ketiganya.
"Aku siap Bu dokter." Maesa sahut tanpa ragu. Tutor tegas dia butuhkan agar selalu ingatkan dia untuk lebih rajin dan teliti dalam menyelesaikan tahap akhir menuju gelar kedokteran.
Wirata dan Salya bimbang untuk jawab. Mereka berdua agak lelet kadang suka molor waktu. Apalagi Salya paling malas bangun pagi. Gimana kalau Srikandi minta mereka datang lebih cepat? Jamin pasti tak bisa on time. Betapa memalukan bila kena teguran dari dokter cantik itu.
Srikandi menoleh ke arah Wirata dan Salya yang pilih bungkam. Sejuta keraguan bersarang dalam dada sekarang ini. Mau sok hebat lalu setiap kena teguran atau mundur teratur cari tutor lengah kayak dia.
"Aku ikut Bu Srikandi...aku juga mau jadi internis untuk selamatkan nyawa banyak orang." Wirata bulatkan hati terima semua persyaratan Srikandi.
"Ini yang aku suka. Walau baru mau jadi dokter sudah impian untuk lebih maju. Dokter apapun tugasnya tetap satu. Menyelamatkan nyawa orang. Kita tak boleh bedakan miskin dan kaya. Buat seorang itu dokter nyawa manusia sama, tak ada golongan."
Ketiga anak muda itu manggut-manggut sehati dengan wejangan Srikandi. Baru saja hendak berguru sudah dapat nasehat pertebal jiwa seorang dokter. Wirata dan Maesa menilai mereka telah bertemu guru tepat.
Salya tak berani maju takut malu. Dia akan obrak-abrik rumah sakit cari guru lain. Malu kalau setiap hari harus kena marah. Wajah gantengnya luntur kehilangan warna cerah. Salya tak mau ambil resiko dipermalukan oleh dokter yang dia puja pada pandangan pertama.
Srikandi sedikitpun tak singgung Salya yang telah menciut. Kalah sebelum perang. Biarlah Salya cari guru yang mampu beri rasa aman supaya bisa lebih dia nyaman bisa bertugas tanpa paksaan.
"Kalian pergi cari pak Wardana laporkan kalau kalian mau di tutori aku. Kapan aku praktek aku akan bawa kalian. Setiap ada masalah kita diskusi bersama. Jangan segan bertanya walaupun tengah malam. Kalian pasti akan ditempatkan sebagai dokter jaga jadi tak usah ragu bila menemukan kesulitan tangani pasien."
Wirata dan Maesa mau bersorak telah menemukan dokter idaman. Mana ada tutor bersedia diganggu tengah malam. Mungkin hanya Srikandi bersedia membimbing sepenuh hati.
Salya tersentak, hatinya mulai bimbang. Siap malu tapi dapat pencerahan setiap saat. Pilih dokter lain yang belum tentu mau terima pengaduan tengah malam. Salya kini dirundung dilema berat. Ikut jejak Maesa dan Wirata atau cari tutor lain.
Salya belum sempat memilih namun Maesa dan Wirata sudah bangkit pamitan pada Srikandi untuk buat laporan mereka sudah ketemu tutor mereka. Mereka harus gercep sebelum dokter muda lain rebut bangku mereka. Banyak kemungkinan bisa terjadi. Siapa tahu mendadak muncul dokter muda dari fakultas lain ikut choas di sini. Bangku mereka bisa digeser kapan saja.
"Terimakasih Bu Srikandi...kami akan buat laporan! Permisi.." seru Maesa semangat tanpa menunggu Salya membuat keputusan angkat Srikandi jadi tutor atau cari yang lain. Kedua temannya sudah kabur duluan mau buat laporan. Tinggal Salya lunglai hilang gairah.
Sewaktu datang dia yang paling semangat. Giliran dapat syarat berat kontan loyo dibayar tunai. Salya tampak ngak niat amat jadilah dokter disayangi pasien. Salya pentingkan nikmat dunia ketimbang lulus dengan nilai memuaskan.
Srikandi tersenyum melirik ke arah Salya yang kusut. Untung belum sekusut benang dimainkan kucing nakal. Bergumpal susah diurai.
"Tak nyusul teman?" tanya Srikandi tetap lembut walau tahu Salya mungkin tak ikut jejak teman pilih di jadi tutor.
"Iya Bu...permisi!" Salya bangkit selemas tali rafia.
"Siapa pun yang kamu pilih tetap semangat. Ingat tujuan kamu kuliah! Cukup itu kamu ingat." Srikandi beri nasehat sebelum Salya ayun langkah.
Salya tertegun sejenak lantas angguk mantap akan maju ke depan selesaikan masa choas secepatnya.
"Terimakasih dok!" sahut Salya mulai riang lagi. Salya sudah mantap maju bersama kedua sahabatnya menantang semua penyakit para pasien yang datang berobat. Salya akan tebar bendera permusuhan kepada seluruh bibit penyakit. Dia siap menjadi dokter muda idola pasien.
Srikandi tertawa kecil ingat masa lalu. Dulu dia juga punya sejuta keraguan pada kemampuan sendiri. Arjuna dengan sabar mengikis perasaan itu dari lubuk hati Srikandi. Boleh dibilang Arjuna sangat berjasa dalam membentuk Srikandi menjadi seorang dokter yang baik. Srikandi tidak akan melupakan jasa Arjuna membantunya maju sampai menjadi dokter spesialis yang dicintai oleh pasien.
Srikandi masih enggan meninggalkan tempat penuh kenangan ini. Wanita ini masih betah duduk lebih lama di tempat untuk mengenang masa lalu yang indah. Yang indah tetap menjadi kenangan untuk disimpan dalam album hati. Kenangan buruk cukup menjadi penghuni tong sampah.
Utari yang sedang melayani pasien di ruang IGD mendadak mendapat telepon dari seseorang. Utari tak bisa langsung menyambut panggilan masuk karena harus mengutamakan pasien. Utari terpaksa mengabaikan panggilan masuk demi melayani pasien yang sedang datang berobat. Ini sudah menjadi kewajiban seorang dokter mengutamakan keselamatan pasien dengan menunda masalah pribadi.
Setelah memeriksa pasien dan memberi instruksi kepada perawan untuk melakukan tindakan barulah Utari mencari tempat sepi untuk melihat siapa yang melakukan panggilan masuk. Utari menghela nafas seolah tahu apa yang bakal terjadi bila dia angkat telepon. Maunya Utari mengabaikan panggilan masuk itu namun dia tidak bisa melakukannya. Utari tetap harus bermain cantik agar bisa menjebak suaminya masuk perangkap.
Dengan ogahan Utari menelepon balik ada orang yang melakukan panggilan tak terjawab.
"Halo...ada apa mas? Aku lagi sibuk sama pasien." Utari berkata ketus kurang senang kesibukan diganggu oleh suaminya.
"Aduh Tari...kamu ini bagaimana sih? Pasien penting atau suami?"
Utari mengerut kening kurang paham maksud Duryudana suaminya itu. Seorang dokter harus utamakan nyawa pasien. Ini artinya lebih penting dari urusan pribadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
玫瑰
Ingatkan Kunti itu gelaran..rupanya nama betul ...hahaha
2023-10-11
1