Suamiku Bujang Lapuk
“Luna, kamu dipanggil Pak Arta!”
“Hah, gue? Sekarang?”
Astri mengangguk dengan senyum yang menampilkan deret giginya yang putih mirip iklan pasta gigi. Di tengah hari begini dan saat tanggal tua, masih ada manusia yang bisa tersenyum lebar dan itu hanya Astri.
“Kok nggak telpon ke line gue atau WA gue sih.” Luna mengeluh sambil mengacak mejanya mencari ponsel dan buku catatan.
“Mungkin sudah, tapi kamu nggak dengar karena pake itu,” tunjuk Astri pada headset yang masih bertengger di kepala Luna. “Coba saja cek ponsel kamu.”
“Hah, iyakah?”
Luna membuka laci meja dan tasnya mencari ponsel lalu menepuk kening ternyata ada di kantong celananya dan betul ada dua panggilan terjawab dari Pak Arta selaku bosnya.
“Mampus! Mana udah sejam yang lalu” ujar Luna sambil ngacir dari ruangannya.
Kaluna Zena, sudah hampir tiga tahun ini menjadi karyawan sebuah perusahaan desain interior “SELOKA DESIGN”. Dengan posisi sebagai junior designer. Setiap project yang diterima perusahaan akan dipegang oleh seorang senior dan seorang atau beberapa junior tergantung dari besar kecilnya project.
Luna mengetuk pintu ruangan Pak Arta yang tidak tertutup rapat dan berharap slow responnya tidak membuat pemimpin sekaligus pemilik perusahaan marah lalu memecatnya, karena bosnya ini dikenal dengan orang yang sangat teliti dan mengutamakan kedisiplinan.
“Permisi Pak, boleh saya masuk?”
“Masuklah.” Pak Arta masih fokus dengan layar komputernya, menoleh sekilas sambil membenarkan letak kacamata.
“Bapak panggil saya?”
“Hm, duduk!”
Luna pun duduk dan menunggu arahan. Hanya suara klik mouse dan detak jam dinding serta tarikan nafasnya. Hampir lima menit, akhirnya Luna kembali bersuara.
“Maaf Pak, saya ….”
“Lain kali on call, apalagi kamu sedang di kantor.”
“Maaf pak, saya terlalu fokus dengan pekerjaan,” jawab Luna Lirih entah didengar atau tidak oleh Arta.
Pria itu mencari sesuatu di tumpukan map di atas mejanya dan menarik sebuah map lalu mengeluarkan lembaran dan meletakan di depan Luna.
“Ini project baru, tidak besar dan tidak juga kecil tapi sangat penting karena rekanan kita ini berencana menanamkan modalnya kalau hasil project ini memuaskan. Hanya desain interior sebuah apartemen dan café. Tiga hari lagi temui orangnya. Besok saya kabari siapa senior yang akan kamu dampingi. Jelas?”
“Jelas Pak.”
“Kalau saya lihat schedule project, kamu yang paling senggang diantara yang lain,” seru Pak Arta lagi. Luna hanya bisa mengiyakan dan sudah siap beranjak pergi saat Pak Arta menginterupsinya.
“Siapkan company profile dan lampiran gambar apartemen dan café hasil desain kita,” titahnya lagi dan lagi-lagi Luna hanya bisa manggut-manggut.
Sampai di kubikel, Luna mendapatkan panggilan di ponselnya.
“Hahh, rumah sakit mana?” teriaknya bahkan Astri sampai berdiri mendengar teriakan Luna.
“Oke, saya segera ke sana.”
“Lun, ada apa? Siapa yang sakit?”
“Eyang. Eyang aku masuk rumah sakit, aku izin ya,” ujar Luna yang bergegas meninggalkan kubikelnya.
Gadis itu memacu motornya cepat menuju rumah sakit. Selama ini Ia tinggal dan dibesarkan oleh Eyangnya, karena Ayah Luna -- Amir -- meninggal ketika ia berusia tiga tahun dan Bundanya menikah lagi beberapa bulan setelah itu.
Bukan berarti Luna tidak akur dengan keluarga Bundanya, hubungannya masih baik termasuk dengan Bapak sambungnya. Bahkan pasangan itu masih bertanggung jawab dengan memberikan uang saku untuknya sejak masih sekolah termasuk sampai saat ini.
Eyang Surya juga masih mampu sepenuhnya membiayai Luna, tapi tidak menolak bantuan dari Nuri -- bunda Kaluna Zena. Langkah kaki berlari di sepanjang koridor menimbulkan bunyi, karena kondisi Surya membuat Luna begitu cemas.
“Eyang, nggak boleh sakit,” ujar gadis itu dalam hati.
Tentu saja Luna sangat cemas karena bulan lalu Surya sempat kolaps akibat serangan jantung. Entah apa pemicunya, yang jelas tidak lama setelah ada tamu dan perdebatan dengan Om Amar putra Eyang Surya juga.
Brak.
“Eyang,” panggil Luna ketika memasuki kamar rawat inap di mana Eyangnya berada.
Om Amar yang berada di samping ranjang menoleh lalu bergeser membiarkan Luna mendekat.
“Eyang, apa yang sakit? Luna sudah di sini, Dokter bilang apa Om?” cecar Luna masih dengan nafas terengah dan tangannya menggenggam tangan Surya yang terkekeh lalu terbatuk. “Eyang,” panggil Luna lirih.
“Om harus jawab yang mana dulu?”
“Ish, aku serius Om.”
“Eyang nggak apa-apa, tekanan tinggi lagi dan tadi agak sesak. Suster Ida dan Om kamu terlalu berlebihan langsung bawa Eyang ke sini.”
Luna menatap Amar, tatapan matanya seakan menanyakan kebenaran apa yang disampaikan Eyang Surya.
“Hm. Dokter bilang sudah stabil, makanya cepat turutin permintaan Eyang biar nggak jadi pikiran,” seru Om Amar membuat gadis itu terdiam lalu memandang Eyang Surya yang tersenyum.
Luna melihat ada yang aneh dengan Eyang Surya, seperti menahan sakit dan tidak seceria bahkan riang seperti biasa. Mungkin saja yang disampaikan Om Amar benar kalau ada beban pikiran Om Surya yaitu dirinya.
Tiba-tiba ia teringat permintaan eyang Surya beberapa hari lalu, tentang perjodohan.
“Eyang ada sahabat dan kami pernah merencanakan untuk berbesan, tapi anak-anak kami laki-laki semua. Perjodohan itu terpaksa kami batalkan dan kelahiran kamu kembali menguatkan rencana Eyang. Bukan tanpa alasan, Eyang hutang budi dengan sahabat eyang. Apa kamu bersedia menikah dengan putra bungsu sahabat Eyang?”
“Eyang, please deh. Ini tuh jaman udah modern, AI udah di mana-mana. Kok bisa Eyang masih berpikir tentang perjodohan. Kayak zaman Siti Nurbaya aja. Aku nggak mau ya, nikah karena perjodohan. Orang yang saling jatuh cinta aja bisa bubar jalan bahkan saling maki memaki di media sosial dan saling tuntut setelah mereka bercerai. Mana bisa aku harus hidup dengan pria yang bahkan tidak aku kenal.”
Raut wajah Eyang Surya kala itu memang terlihat sendu mendengar penuturan cucu kesayangannya.
“Eyang sekarang harus sehat dan lihat aku menikah, tapi dengan pria yang aku cintai tentu saja dengan konsep pernikahan impianku.”
Luna meneteskan air mata dan langsung dia usap. Mungkinkah kalimatnya kali itu menyakiti hati Eyang Surya dan membuat pria tua itu bersedih.
“Eyang,” panggil Luna yang sudah duduk di kursi tepat di samping ranjang pasien.
Eyang Surya menoleh.
“Eyang mau aku menikah?”
Eyang Surya mengerutkan dahinya yang sudah keriput, membuat Luna semakin sedih. Masih ia ingat betul betapa gagahnya Eyang Surya setiap hadir ke sekolah untuk mengambil raport lalu bahkan sampai menghadiri wisuda sarjananya. Pria itu saat ini sudah terlihat begitu renta dan lemah. Gurat lelah di wajah dan kulit yang keriput menandakan usianya mungkin tidak akan lama lagi.
Rasanya Luna ingin menjerit membayangkan kalau Eyang Surya akhirnya pergi.
“Luna mau Eyang. Luna mau menikah dengan pria pilihan Eyang.”
“Benarkah?” tanya Eyang Surya memastikan keputusan cucu kesayangannya.
Kaluna mengangguk dengan penuh keyakinan dan tersenyum, walaupun air matanya sukses menetes dari pelupuk mata. Bukan air mata karena menyesal dengan keputusannya tapi air mata kesedihan mengingat ia belum bisa membahagiakan pria tua itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Mebang Huyang M
salam sehat dan selalu mendapatkan segala kemudahan dari yg Kuasa buat thor.
2024-03-16
0
Lilis Wn
dr Arya lalu ke gentala trus ke Sadewa .. sekarang aku disini sambil nunggu part Sadewa ❤️❤️ aku kecanduan sama tulisanmu Thor 🤩
2024-02-24
1
Fayra
mampir baca krn ud tamat dan partnya sedikit🙏
2024-01-19
2