NovelToon NovelToon

Suamiku Bujang Lapuk

Bab 1 ~ Aku Bersedia

“Luna, kamu dipanggil Pak Arta!”

“Hah, gue? Sekarang?”

Astri mengangguk dengan senyum yang menampilkan deret giginya yang putih mirip iklan pasta gigi. Di tengah hari begini dan saat tanggal tua, masih ada manusia yang bisa tersenyum lebar dan itu hanya Astri.

“Kok nggak telpon ke line gue atau WA gue sih.” Luna mengeluh sambil mengacak mejanya mencari ponsel dan buku catatan.

“Mungkin sudah, tapi kamu nggak dengar karena pake itu,” tunjuk Astri pada headset yang masih bertengger di kepala Luna. “Coba saja cek ponsel kamu.”

“Hah, iyakah?”

Luna membuka laci meja dan tasnya mencari ponsel lalu  menepuk kening ternyata ada di kantong celananya dan betul ada dua panggilan terjawab dari Pak Arta selaku bosnya.

“Mampus! Mana udah sejam yang lalu” ujar Luna sambil ngacir dari ruangannya.

Kaluna Zena, sudah hampir tiga tahun ini menjadi karyawan sebuah perusahaan desain interior “SELOKA DESIGN”. Dengan posisi sebagai junior designer. Setiap project yang diterima perusahaan akan dipegang oleh seorang senior dan seorang atau beberapa junior tergantung dari besar kecilnya project.

Luna mengetuk pintu ruangan Pak Arta yang tidak tertutup rapat dan berharap slow responnya tidak membuat pemimpin sekaligus pemilik perusahaan marah lalu memecatnya, karena bosnya ini dikenal dengan orang yang sangat teliti dan mengutamakan kedisiplinan.

“Permisi Pak, boleh saya masuk?”

“Masuklah.” Pak Arta masih fokus dengan layar komputernya, menoleh sekilas sambil membenarkan letak kacamata.

“Bapak panggil saya?”

“Hm, duduk!”

Luna pun duduk dan menunggu arahan. Hanya suara klik mouse dan detak jam dinding serta tarikan nafasnya. Hampir lima menit, akhirnya Luna kembali bersuara.

“Maaf Pak, saya ….”

“Lain kali on call, apalagi kamu sedang di kantor.”

“Maaf pak, saya terlalu fokus dengan pekerjaan,” jawab Luna Lirih entah didengar atau tidak oleh Arta.

Pria itu mencari sesuatu di tumpukan map di atas mejanya dan menarik sebuah map lalu mengeluarkan lembaran dan meletakan di depan Luna.

“Ini project baru, tidak besar dan tidak juga kecil tapi sangat penting karena rekanan kita ini berencana menanamkan modalnya kalau hasil project ini memuaskan. Hanya desain interior sebuah apartemen dan café. Tiga hari lagi temui orangnya. Besok saya kabari siapa senior yang akan kamu dampingi. Jelas?”

“Jelas Pak.”

“Kalau saya lihat schedule project, kamu yang paling senggang diantara yang lain,” seru Pak Arta lagi. Luna hanya bisa mengiyakan dan sudah siap beranjak pergi saat Pak Arta menginterupsinya.

“Siapkan company profile dan lampiran gambar apartemen dan café hasil desain kita,” titahnya lagi dan lagi-lagi Luna hanya bisa manggut-manggut.

Sampai di kubikel, Luna mendapatkan panggilan di ponselnya.

“Hahh, rumah sakit mana?” teriaknya bahkan Astri sampai berdiri mendengar teriakan Luna.

“Oke, saya segera ke sana.”

“Lun, ada apa? Siapa yang sakit?”

“Eyang. Eyang aku masuk rumah sakit, aku izin ya,” ujar Luna yang bergegas meninggalkan kubikelnya.

Gadis itu memacu motornya cepat menuju rumah sakit. Selama ini Ia tinggal dan dibesarkan oleh Eyangnya, karena Ayah Luna -- Amir --  meninggal ketika ia berusia tiga tahun dan Bundanya menikah lagi beberapa bulan setelah itu.

Bukan berarti Luna tidak akur dengan keluarga Bundanya, hubungannya masih baik termasuk dengan Bapak sambungnya. Bahkan pasangan itu masih bertanggung jawab dengan memberikan uang saku untuknya sejak masih sekolah termasuk sampai saat ini.

Eyang Surya juga masih mampu sepenuhnya membiayai Luna, tapi tidak menolak bantuan dari Nuri -- bunda Kaluna Zena. Langkah kaki berlari di sepanjang koridor menimbulkan bunyi, karena kondisi Surya membuat Luna begitu cemas.

“Eyang, nggak boleh sakit,” ujar gadis itu dalam hati.

Tentu saja Luna sangat cemas karena bulan lalu Surya sempat kolaps akibat serangan jantung. Entah apa pemicunya, yang jelas tidak lama setelah ada tamu dan perdebatan dengan Om Amar putra Eyang Surya juga.

Brak.

“Eyang,” panggil Luna ketika memasuki kamar rawat inap di mana Eyangnya berada.

Om Amar yang berada di samping ranjang menoleh lalu bergeser membiarkan Luna mendekat.

“Eyang, apa yang sakit? Luna sudah di sini, Dokter bilang apa Om?” cecar Luna masih dengan nafas terengah dan tangannya menggenggam tangan Surya yang terkekeh lalu terbatuk. “Eyang,” panggil Luna lirih.  

“Om harus jawab yang mana dulu?”

“Ish, aku serius Om.”

“Eyang nggak apa-apa, tekanan tinggi lagi dan tadi agak sesak. Suster Ida dan Om kamu terlalu berlebihan langsung bawa Eyang ke sini.”

Luna menatap Amar, tatapan matanya seakan menanyakan kebenaran apa yang disampaikan Eyang Surya.

“Hm. Dokter bilang sudah stabil, makanya cepat turutin permintaan Eyang biar nggak jadi pikiran,” seru Om Amar membuat gadis itu terdiam lalu memandang Eyang Surya yang tersenyum.

Luna melihat ada yang aneh dengan Eyang Surya, seperti menahan sakit dan tidak seceria bahkan riang seperti biasa. Mungkin saja yang disampaikan Om Amar benar kalau ada beban pikiran Om Surya yaitu dirinya.

Tiba-tiba ia teringat permintaan eyang Surya beberapa hari lalu, tentang perjodohan.

“Eyang ada sahabat dan kami pernah merencanakan untuk berbesan, tapi anak-anak kami laki-laki semua. Perjodohan itu terpaksa kami batalkan dan kelahiran kamu kembali menguatkan rencana Eyang. Bukan tanpa alasan, Eyang hutang budi dengan sahabat eyang. Apa kamu bersedia menikah dengan putra bungsu sahabat Eyang?”

“Eyang, please deh. Ini tuh jaman udah modern, AI udah di mana-mana. Kok bisa Eyang masih berpikir tentang perjodohan. Kayak zaman Siti Nurbaya aja. Aku nggak mau ya, nikah karena perjodohan. Orang yang saling jatuh cinta aja bisa bubar jalan bahkan saling maki memaki di media sosial dan saling tuntut setelah mereka bercerai. Mana bisa aku harus hidup dengan pria yang bahkan tidak aku kenal.”

Raut wajah Eyang Surya kala itu memang terlihat sendu mendengar penuturan cucu kesayangannya.

“Eyang sekarang harus sehat dan lihat aku menikah, tapi dengan pria yang aku cintai tentu saja dengan konsep pernikahan impianku.”

Luna meneteskan air mata dan langsung dia usap. Mungkinkah kalimatnya kali itu menyakiti hati Eyang Surya dan membuat pria tua itu bersedih.

“Eyang,” panggil Luna yang sudah duduk di kursi tepat di samping ranjang pasien.

Eyang Surya menoleh.

“Eyang mau aku menikah?”

Eyang Surya mengerutkan dahinya yang sudah keriput, membuat Luna semakin sedih. Masih ia ingat betul betapa gagahnya Eyang Surya setiap hadir ke sekolah untuk mengambil raport lalu bahkan sampai  menghadiri wisuda sarjananya. Pria itu saat ini sudah terlihat begitu renta dan lemah. Gurat lelah di wajah dan kulit yang keriput menandakan usianya mungkin tidak akan lama lagi.

Rasanya Luna ingin menjerit membayangkan kalau Eyang Surya akhirnya pergi.

“Luna mau Eyang. Luna mau menikah dengan pria pilihan Eyang.”

“Benarkah?” tanya Eyang Surya memastikan keputusan cucu kesayangannya.

Kaluna mengangguk dengan penuh keyakinan dan tersenyum, walaupun air matanya sukses menetes dari pelupuk mata. Bukan air mata karena menyesal dengan keputusannya tapi air mata kesedihan mengingat ia belum bisa membahagiakan pria tua itu. 

Bab 2 ~ Pria Tua Bertubuh Gendut

“Luna, kamu yakin mau terima perjodohan temannya ayah?” tanya Amar lirih. Keduanya masih menemani Surya di rumah sakit. Eyang sedang istirahat, Amar dan Luna berada di sofa dan pembicaraan mereka lebih ke arah berbisik agar tidak membuat Surya terganggu lalu terjaga.

“Yakin Om. Demi kebahagiaan Eyang aku siap menikah. Kalau tunggu pria yang cocok denganku, entah kapan.”

“Luna, pria itu anak bungsu teman Ayah. Sama seperti Om, putra bungsu Ayah.” Amar bicara dengan memajukan tubuhnya agar apa yang dia ucapkan benar-benar didengar oleh Luna. Amar perlu memastikan lagi kalau Luna tidak akan berulah, dengan menolak ketika pria itu pertemuan keluarga diadakan dan bertemu pria yang akan menikah dengannya.

“Lalu?”

Amar berdecak, agak kesal karena Luna sering kali nge lag ketika diajak bicara termasuk kali ini.

“Kita tidak ada yang tahu siapa pria itu termasuk umurnya. Bagaimana kalau pria itu seumuran dengan Om?”

“Pria dewasa dengan perut buncit dan rambut sudah mulai memutih atau bahkan dia duda dengan anak hampir seusia kamu.”

Luna pun mengerjap pelan menyadari kebenaran dari setiap kalimat Amar. Dia sudah sangat yakin menerima keputusan perjodohan bahkan Surya sudah menghubungi sahabatnya dan besok akan datang. Selain untuk menjenguk Surya, juga membicarakan persiapan pelaksanaan pernikahan.

“Iya ya. Terus gimana dong Om? Masa aku yang unyu-unyu dan cantik jelita begini harus menikah dengan duda perut buncit dan tua. Om, aku nggak mau ah,” keluh Luna.

Amar kembali berdecak, kemudian berbaring di sofa panjang yang ia tempati. Sedangkan Luna masih merengek lirih sambil mengguncang tubuh Amar.

“Ssttt, jangan berisik nanti Ayah bangun.”

“Ya terus nasib aku gimana?”

“Terima aja, memang sudah takdir kamu punya suami pria tua dengan tubuh gendut dan perut buncit.”

“Om Amar!”

Luna masih bergumam mengeluhkan nasibnya, sedangkan Amar memejamkan mata sambil mengulas senyum. Pria itu memang senang menggoda keponakan yang juga dianggap sebagai anak sendiri. Apalagi kedua anak kandungnya laki-laki.

“Jangan berisik, Om mau tidur. Nanti kita gantian jaga.”

“Yang ada aku nggak akan bisa tidur. Masa depanku ini loh Om, terancam suram dan menyeramkan.”

Amar rasanya ingin terbahak mendengar keluhan dan kekhawatiran Luna, ia segera merubah posisi berbaring miring menghadap  sandaran sofa memunggungi Luna yang duduk di sofa tunggal.

“Ya Tuhan, rencana apalagi yang sudah engkau persiapkan untukku. Kalau pun jodohku tidak seganteng Al Ghazali, nggak seimut Lee Min Ho dan macho kayak Giorgino Abraham, paling nggak yang enak dilihat tiap bangun tidur dan nggak malu-maluin kalau dibawa kondangan dan jalan-jalan,” tutur Luna pelan.

...***...

“Kamu kok belum mandi juga sih. Siap-siap dulu sana, bentar lagi calon suami kamu datang.”

“Ah. Gini ajalah. Mau syukur nggak mau ya udah,” sahut Luna menolak perintah Tante Indah -- istri Om Amar.

“Ini anak, kalau dikasih ngeyel. Masa menyambut keluarga calon suami, kayak gini.”

Luna dengan rambut ikal yang agak berantakan dan masih mengenakan piyama gambar keropi hanya bisa mencebik karena ejekan dari Indah. Untuk apa pula ia harus dandan maksimal kalau hanya akan dipersunting pria tua dengan perut buncit. Lebih baik tampil apa adanya dan berharap calon suaminya nanti akan menolak perjodohan ini.

Hari ini Luna izin tidak ke kantor dan baru saja mengirimkan pesan untuk Pak Arta dan Astri, dengan alasan masih berada di rumah sakit. tidak mungkin juga dia mengatakan akan ada pertemuan keluarga karena akan menikah dengan proses perjodohan.

Kondisi Luna saat ini memang sedang jomblo dan kalau diingat memang belum pernah ada hubungan yang cukup serius dengan seorang laki-laki. Ia pernah ditembak oleh temannya saat masih SMA dan hanya bertahan seminggu, karena susah mengajak Luna keluar rumah untuk sekedar ke café atau nonton. Ada dua bodyguard yang harus dihadapi, siapa lagi kalau bukan Surya dan Amar.

“Ini penampilan alami aku Tante, cantik alami wanita yang kayak gini bukan yang bedaknya tebel dan kalau cuci muka nggak cukup dua kali bilas.”

“Kenapa sih?” tanya Amar yang baru keluar dari toilet.

“Lihat aja tuh, masa mau bertemu calon suami penampilannya kayak gitu.”

Amar hanya melirik sekilas kemudian menghampiri ranjang pasien karena Surya sudah terjaga.

“Luna mana?” tanya Surya.

“Ada tuh, udah nggak sabar mau ketemu calon suaminya,” canda Amar dan sukses membuat Luna semakin cemberut.

“Ayah makan dulu ya,” ujar Indah dengan mangkuk bubur di tangannya.

“Iya Ayah harus makan, sebentar lagi akan ada tamu spesial," ujar Surya bersemangat.

Amar agak meninggikan ujung ranjang untuk Surya bersandar. Luna memperhatikan pria tua yang sedang disuapi. Hatinya kembali sedih, ia ingat betul kalau sakit yang sibuk adalah Surya.

“Tante, biar aku aja,” ujar Luna beranjak dari sofa tempat dia bermuram durja.

Surya tersenyum melihat Luna mengambil alih mangkuk dari tangan Indah dan menyuapinya. Meskipun Amar terus berbisik mengingatkan jika sebentar lagi Luna akan bertemu dengan pria yang akan menjadi imamnya tidak lupa mengatakan kemungkinan pria itu bisa saja lebih tua dari dirinya dengan tubuh gendut dan perut buncit membuat Luna memicingkan mata dan menghela nafasnya. 

Bab 3 ~ Si Bujang Lapuk

Luna sempat membersihkan diri dan berganti pakaian yang dibawakan Indah. Meski hanya celana jeans dan kaos kebesaran, tapi lebih baik dibandingkan piyama tidur bergambar keropi. Rambut masih tidak tertata dengan baik, apalagi bedak atau lipstik yang dioles di wajah … tidak.

Indah dan Amar tidak sempat menilai penampilan keponakannya, karena sibuk mempersiapkan kedatangan sahabat Surya menjelang waktu makan siang. Bukan mempersiapkan hidangan atau apapun, tapi memastikan Surya bisa menerima tamu selain keluarga termasuk juga memastikan kesehatan pria itu.

Yang ditunggu pun akhirnya datang juga. Amar dan Indah menyambut kehadiran pria berumur hampir sama dengan Surya. Pria tua itu ditemani orang seorang pria tampan yang memapah langkah dan membantu duduk.

“Surya, kondisi sedang tidak baik,” seru Adam yang disambut kekehan oleh Surya.

Luna mendorong kursi roda Surya dan bergabung di sofa. Sempat melirik sekilas pria yang datang bersama Pak Adam -- sahabat Surya. “Ini siapanya pak Adam, ganteng amat. Perawat pribadi kali ya,” gumam Luna. Wanita itu sempat menatap ke pintu menunggu kehadiran pria yang akan dinikahkan dengannya.

Basa basi yang membosankan pun dimulai, Adam dan Surya mulai berbincang. Terkadang Amar ikut menimpali. Luna menunggu sambil memainkan kuku jemari tangannya. Indah sempat menyenggol kaki Luna agar tidak melakukan hal yang tidak sopan di depan para tamu.

Tanpa diduga saat Luna menatap ke depan, perawat Pak Adam sedang menatapnya. Membuat hati Luna kebat kebit. Bagaimana tidak, pria yang terlihat dewasa, tampan dengan tubuh lumayan tinggi dan gagah memperhatikannya. Gadis itu pun mengumpat dalam hati, karena tidak patuh pada tante Indah agar berpenampilan lebih baik.

“Mana cucumu yang akan menikah dengan putraku?”

“Oh, ada. Luna, Kaluna Zena,” panggil Surya.

“Iya, eyang.” Luna pun berpindah duduk dengan Indah agar lebih dekat dengan Surya.

“Wah, cucumu cantik. Putraku pasti bahagia menjadi suaminya.”

“Pak Adam please deh! Pasti gue cantiklah dan pantas jadi menantu Bapak, tapi anak Bapak nggak pantes jadi suami gue,” batin Luna.

“Ternyata Tuhan meridhoi rencana kita untuk berbesan, meskipun sempat terhalang karena anak-anak kita ternyata laki-laki,” seru Pak Adam.

“Mana putramu, biar berkenalan dengan Luna,” ujar Surya.

“Iya Pak Adam, keponakan saya ini sudah tidak sabar ingin bertemu calon suaminya,” ujar Amar sambil melirik Luna yang menatap sinis.

Adam terkekeh lalu menoleh ke samping. “Teja, perkenalkan dirimu.”

“Eh,” pekik Luna. “Tunggu, maksudnya anak Pak Adam … dia,” batin Luna sambil mengernyitkan dahi melirik pria di samping Pak Adam, lagi-lagi dia mengumpat karena terlalu percaya omongan Amar.

“Perkenalkan saya Teja  Dewangga, putra bungsu Pak Adam,” seru pria tampan yang Luna pikir adalah perawat pribadi Pak Adam.

“Teja ini putra bungsu saya dari istri kedua. Memang sudah dewasa dan lebih tua dari Nak Luna, tapi dia masih bujangan. Harapan saya sebelum menutup usia, bisa melihatnya menikah,” tutur Adam dan situasi pun hening.

“Pak ….” Teja menegur Adam. Sepertinya Teja tidak suka dengan ucapan Adam, sama seperti Luna yang tidak bisa membayangkan kalau surya akan meninggalkannya.

“Luna, perkenalkan dirimu,” titah Surya.

“Aku Luna, saat ini aku bekerja sebagai junior designer di salah satu perusahaan jasa design. Demi Eyang aku terima perjodohan ini, tapi tolong biarkan aku tetap bekerja,” tutur Luna.

“Bagaimana Teja, cantik bukan wanita pilihan Bapak?”

Teja berdehem setelah sejak tadi menatap Luna yang memperkenalkan diri. Entah karena terpesona atau merasa aneh dan menyesal menerima perjodohan itu karena penampilan Luna di luar ekspektasinya.

Obrolan pun berlanjut, termasuk juga memutuskan pernikahan akan diadakan minggu depan. Hanya akad nikah, untuk resepsi akan dibicarakan lain kali. Teja dan Luna pun diminta bertemu lagi untuk membicarakan persiapan dan mengakrabkan diri.

“Surya, kita harus sehat agar bisa menyaksikan pernikahan Luna dan Teja,” ujar Adam sebelum pamit undur diri.

Eyang Surya sudah kembali berbaring di ranjang, setelah Adam dan putranya pulang. Luna langsung mengambil bantal sofa dan memukulkan pada Amar, Indah hanya menggelengkan kepala melihat interaksi suami dan keponakannya.

“Om Amar sengaja bikin aku malu ya. Mana pria tua, gendut dan perut buncit, aku ‘kan malu kesan pertama bukan menggoda tapi jadi bencana. Ya emang nggak seimut Lee Min Ho, tapi kalau tahu calon suami aku tampannya kayak gitu harusnya aku pake baju yang lebih elegan bahkan mungkin panggil MUA buat make up.”

Amar lagi-lagi terkekeh, mendengar Luna yang mengoceh kesal. Teja Dewangga, pria yang akan dijodohkan dengan Luna, umurnya tiga puluh empat tahun. Pria itu putra dari istri kedua Adam.

“Justru dengan penampilan alami kamu begini, Teja jadi tahu seperti apa calon istrinya bukan cantik hasil make over,” tutur Amar. “Lagi pula Om memang belum pernah bertemu dengan pria itu, jadi gambaran yang Om sampaikan hanya perkiraan saja.”

“Jadi kamu terima Teja sebagai suami?” tanya Amar.

“Gimana sih, ini ‘kan perjodohan bukan lamaran jadi mana bisa ditolak. Bujang lapuk juga nggak apa, asal ganteng,” seru Luna sambil terkekeh.

...***...

Luna terbangun karena alarm ponselnya. Rasanya masih ingin berlama di bantalnya yang nyaman, tapi dia terpaksa harus bangun. Sengaja menyetel alarm lebih awal, karena sebelum ke kantor dia harus mengantarkan sarapan dan perlengkapan untuk dibawa ke rumah sakit.

Semalam Amar minta Luna dan Indah istirahat di rumah, ada dirinya dan sang putra menjaga Surya di rumah sakit.

“Hoam.” Luna menguap sambil menggaruk kepalanya lalu beranjak dari ranjang dan bergegas ke toilet.

Sudah berpakaian rapi meski hanya celana panjang dan blouse yang dilapisi jaket, Luna membaca pesan dari Arta yang menyampaikan kalau rekanan yang harus ditemui merubah menjadi minggu depan. Luna pun menghela nafas lega, karena dia belum mengerjakan bahan untuk disampaikan pada calon rekanan perusahaan.

“halo,” sahut Luna menjawab telepon dari Amar.

….

“Iya, ini mau jalan.”

….

“Oke.”

Gadis itu mengambil tas kerja  setelah mengakhiri panggilan telepon lalu keluar dari kamar. Saat menuruni anak tangga, Luna berteriak, “Tante Indah, mana yang harus aku bawa ke rumah sakit. Bik, mana sarapannya!”

“Luna, jangan teriak-teriak. Kamu mau menikah, coba lebih kalem jangan kayak lagi di hutan aja,” nasihat Indah yang baru saja keluar dari kamar membawa paper bag dan diserahkan pada Luna.

“Aku berangkat,” pamit Luna lalu mencium tangan Indah.

“Luna, jangan lupa hubungi Bundamu. Om Amar sudah pernah sampaikan tentang rencana perjodohan, tapi beliau juga harus dengar langsung dari kamu. Pastikan Bundamu hadir saat akad ya.”

Luna hanya manggut-manggut. Sampai di motor, ponselnya bergetar. Ada pesan masuk dari nomor tidak dikenal.

[Sore ini kita bertemu di café X]

“Siapa sih, sok kenal banget,” gumam Luna dan membalas pesan dengan menanyakan siapa orang itu. Tidak lama ada pesan balasan.

[Teja Dewangga]

“Demi Dewa, ternyata calon suami gue.” Luna menyimpan kontak tersebut dan munculah foto Teja Dewangga calon suaminya.

“Gila, ganteng banget si bujang lapuk.” 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!