Pertemuan Luna dengan Teja tidak lama, pria itu menekankan kalau setelah mereka menikah harus tinggal di rumah miliknya dan Luna tetap diberikan kesempatan untuk bekerja. Alasan Teja masih membujang menjadi pertanyaan yang dikemukakan Luna berkali-kali dan hanya dijawab Teja bahwa itu pilihan hidupnya.
Tentu saja Luna tidak puas dengan jawaban tersebut dan masih menanti jawaban sebenarnya. Gadis itu tidak menyerah, dia akan cari tahu sendiri kalau Teja tidak mau jujur.
Luna sudah tiba di rumah, memarkir motornya asal dan bergegas turun melihat mobil Amar sudah terparkir di carport.
“Eyang, Om Amar,” teriak Luna.
Indah yang berada menata menu makan malam menggelengkan kepala. “Jangan teriak Lun, eyang sedang istirahat. Om kamu di ruang kerja.”
“Eyang bener sudah pulang, emang beneran sudah sehat?” tanya Luna sambil menatap hidangan di atas meja. Terlihat menggugah selera, tapi dia sudah makan bersama Teja. Lebih tepatnya Luna makan sedangkan Teja menontonnya.
“Sehat atau tidak, Tante tidak bisa komentar. Karena di usianya, wajar kalau Eyang merasakan beberapa keluhan dan sebaiknya kita jangan membuat beliau banyak pikiran. Keputusan kamu menerima perjodohan dan segera menikah, sepertinya mengurangi beban pikiran Eyang.”
Luna menghela pelan, kemudian pamit ke kamarnya. Meskipun ingin sekali menemui Eyang dan bergurau seperti biasanya, tapi gadis itu menahan keinginannya dan membiarkan Eyang beristirahat.
“Kamu nggak ikut makan malam?”
“Sudah dong, bareng Kang Mas Teja,” teriak Luna yang sedang menaiki anak tangga menuju kamarnya.
“Kang Mas Teja,” gumam Indah.
Setelah membersihkan diri dan mengenakan piyama, lagi-lagi dengan gambar keropi. Luna berbaring di ranjang sambil memainkan ponselnya. Gadis itu mengirimkan pesan untuk Teja, berusaha membuka hati dan mencoba dekat. Karena mereka akan menikah, Luna merasa tidak ada salahnya kalau dia menjalin komunikasi dengan Kang Mas Teja.
Meskipun tidak mudah, sudah berkali-kali pesan dia ketik dan kembali dihapus.
“Lebay amat ya, kayak bocah alay baru jadian gitu. Kayaknya pesan aku harus yang anti mainstream, harus beda dari remaja yang lagi jatuh cinta. Masa kirim pesan tanya udah makan belum, jangan lupa minum ya. Makan nggak minum ‘kan seret.” Luna mengoceh sendiri.
“Oke, kirim ini saja,” ujar Luna lalu mengirim pesan singkat teruntuk Teja di luar sana. “Waktunya tidur. Besok kang mas pasti ngajak ketemu lagi.” Luna mensilent ponselnya dan meletakan di atas nakas kemudian memposisikan diri untuk tidur.
Sedangkan di tempat berbeda, Teja sedang berada di beranda kamar. Mengingat pertemuan dengan Luna sore tadi juga memikirkan hidupnya yang akan segera berubah. Beberapa hari ke depan dia akan menikah, dengan gadis yang baru dikenal dan tidak dia cintai.
Teja tidak menduga kalau Luna akan bertanya mengapa dia belum menikah, entah sengaja atau tidak Luna bahkan menyebutnya bujang lapuk. Siapa yang tidak ingin menikah, semua pria normal pasti ingin menikmati hidup bersama dengan orang yang dicintai dan menyalurkan kebutuhannya di tempat yang tepat. Namun, kekecewaan akan hubungannya dulu seakan membuat hati Teja beku.
Saat kuliah, Teja dikhianati oleh kekasih dan sahabatnya yang ternyata main di belakang. Bahkan sang kekasih sampai hamil. Cukup menohok, karena dikecewakan oleh dua orang yang begitu ia percaya.
Sampai akhirnya Teja menata hati dan menerima cinta lain. Hubungan mereka sehat, tidak ada pihak ketiga. Keduanya sudah merencanakan pernikahan yang indah, tapi takdir seakan tidak ingin Teja berbahagia. Sang kekasih mendapatkan musibah, dilecehkan hingga meninggalkan trauma. Teja dengan rasa cintanya berbesar hati menerima apapun keadaan wanita itu, tapi kenyataan tidak sesuai harapan. Wanita itu mengakhiri hidupnya, membuat hati Teja kembali terluka.
“Hahh.” Teja menghela pelan, mengingat kejadian yang sulit dilupakan, meski sudah berlalu lebih dari delapan tahun yang lalu.
Drt drt.
Ponselnya yang berada di atas meja kecil di sampingnya bergetar. Ternyata pesan dari Kaluna Zena, calon istrinya.
“Apa maksud pesan ini, gadis yang aneh,” gumam Teja setelah membaca pesan dari Luna. Bahkan pria itu membaca ulang khawatir dirinya salah.
[Pak Teja jangan mimpiin aku ya, karena hubungan kita belum sedekat itu]
“Untuk apa pula aku memimpikan dia.”
Teja pun menghubungi Luna, tapi tidak dijawab. Karena di ujung sana, Luna sudah tertidur.
...***...
“Pagi Eyang ku sayang,” sapa Luna dengan suara nyaringnya.
Amar saja sampai berdecak mendengar nada tinggi nan fals dari keponakannya. Eyang Surya hanya terkekeh, apalagi Luna memeluk dirinya dari belakang dan menggoyangkan tubuhnya.
“Sarapan dulu, bareng Eyang.”
“Nggak bisa Eyang, aku janji mau sarapan di tempat Bunda.”
“Pergilah, mumpung masih pagi. Dari pada nanti kejebak macet,” titah Surya. Luna pun pamit dan bergegas menuju kediaman Nuri.
Tidak begitu jauh, hanya lima belas menit menggunakan motor dari kediaman Eyang menuju kediaman Bundanya. Disambut hangat oleh Bunda, meskipun Ayah sambungnya sedang tidak ada di rumah. Nuri mengajak Luna sarapan dan sudah ada kedua anak Nuri atau adik sambung Luna di meja makan. Sempat bertegur sapa karena hubungan mereka pada dasarnya baik, tidak ada rasa sungkan apalagi iri.
“Bunda dengar Eyangmu sakit?”
“Hm, bahkan sempat opname lagi tapi sudah pulang kemarin sore,” sahut Luna. “Bun, ada yang ingin aku bicarakan,” ujar Luna pelan masih memegang sendoknya.
“Boleh, habiskan dulu sarapanmu.”
Nuri dan Luna sudah berada di ruang tamu, kedua anak Nuri lainnya sudah berangkat sekolah. Luna pun menyampaikan rencana pernikahannya yang akan digelar beberapa hari lagi. Tentu saja Nuri terkejut, meskipun sempat kecewa karena tidak dilibatkan dalam persiapan tapi dia perlu memastikan kalau Luna akan bahagia dengan keputusannya.
“Kamu yakin?”
Luna menganggukkan kepalanya. Ibu mana yang tidak khawatir, kalau putrinya menikah bukan karena cinta dan umur calon suaminya lebih dewasa bahkan jauh di atasnya.
“Luna, menikah itu bukan main-main.”
“Iya, aku memang serius Bun. Bukan pura-pura jadi istri dia jadi suami.”
“Maksud Bunda, kamu serius menerima pria itu. Kamu yakin kalian akan saling mencintai dan bahagia?”
“Kalau itu aku nggak bisa jawab Bun, tahu sendiri aku jomblo udah lama. Belum pernah merasakan benar-benar jatuh cinta. Sekalinya ada yang tertarik bahkan kirim salam, tukang ojek atau security komplek belakang. Padahal ya Bun, aku nggak jelek-jelek amat. Cocoklah jadi selebgram.”
“Luna … Bunda sedang tidak bercanda,” tegur Nuri karena Luna merepet tidak jelas. “Apa perlu Bunda bicara dengan Eyang Surya?”
“Eh, jangan Bun.” Luna tidak ingin ada yang mengganggu gugat keputusannya. Surya harus menyaksikan dirinya menikah, dia tidak ingin menyesal di kemudian hari karena tidak bisa memenuhi permintaan pria itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Luzi
Luna sama Arya yg i sebelah kayaknya beti2 mrka 😁😁😁
2024-03-06
1
Lilis Wn
luna kamu tuh gadis periang 🤗
2024-02-24
0
Sennja
wkwkkkk suka dg karakter luna😂😂gadis periang dan berisik😂
2024-02-18
1