Luna terbaring lemah di atas ranjangnya, bibi menemukan gadis itu tergeletak di depan pintu toilet. Teja duduk di tepi ranjang menyentuh dahi Luna yang terasa hangat. Merasa bersalah karena ulahnya kemarin bahkan menjanjikan akan menjemput gadis itu, nyatanya dia lupa dan mendadak pergi.
Sebenarnya Teja tidak ingin memenuhi permintaan Juli, tapi karena alasan kemanusiaan ia akhirnya datang ke rumah sakit mengurus kamar perawatan. Meskipun Juli menahan Teja agar menemaninya di rumah sakit, tentu saja pria itu menolak.
“Bukan aku yang harus menemanimu, tapi Ayah dari anak dari anakmu dan itu bukan aku. Aku harap ini terakhir kalinya kamu menghubungiku bukan urusan pekerjaan.”
“Maaf Teja, tidak ada kerabatku di Jakarta dan aku tidak bisa mengandalkan Mas Arya.”
“Juli, itu bukan urusanku.”
Teja menghela nafasnya, mengingat kebodohan yang dia lakukan semalam. Sikap apa yang akan ditunjukan oleh Luna setelah dia bangun nanti.
“Ini Pak.”
Teja menerima waslap dan mangkuk untuk mengompres dahi Luna.
“Bawakan teh hangat dan buatkan bubur,” titah Teja pada Bibi.
Pria itu dengan telaten mengurus istrinya yang sakit karena ulah dirinya. Luna sempat meracau karena demam dan Teja memaksa Luna bangun untuk disuapi bubur lalu minum obat. Menjelang siang, demam Luna sudah turun bahkan bibir gadis itu tidak sepucat tadi pagi.
Luna mengeerang dan menggeliatkan tubuhnya, membuat Teja yang duduk di sofa menoleh lalu meletakan ponselnya di atas nakas dan duduk di tepi ranjang. Menyeka keringat yang ada di wajah dan leher istrinya.
Perlahan Luna mengerjapkan matanya.
“Sudah lebih baik atau kita ke dokter saja?”
Luna menghela nafasnya, emosi mengingat kejadian semalam. Alih-alih memandang wajah Suteja, Luna memilih berbaring miring memunggungi suaminya.
“Luna, aku serius. Kita ke rumah sakit atau klinik, demam kamu cukup tinggi.”
“Nggak usah, nanti saya bisa berangkat sendiri. Pak Teja urus aja masalah Bapak, nggak usah ngurusin saya.”
“Kalau kamu marah karena kemarin melupakan janji menjemput kamu, maaf karena ada hal darurat dan ponsel aku tertinggal.”
“Terserah! Bapak keluar deh, saya mau istirahat.”
Teja menghela pelan, ia akhirnya mengalah dan keluar dari kamar itu. hari ini Teja sengaja tidak berangkat, hanya mengurus dan mengawasi usaha lewat telpon. Kondisi Luna membuatnya khawatir dan sekarang gadis itu malah memintanya pergi.
Menjelang malam, Luna keluar dari kamarnya. Teja yang berada di sofa ruang TV menoleh lalu menghampiri. Menanyakan kondisi gadis itu dan kebutuhannya. Lagi-lagi Luna hanya cuek.
...***...
“Tetap di rumah, kondisimu belum pulih,” titah Teja pagi ini. “Nanti siang aku pulang, kalau kondisimu belum membaik kita ke dokter.”
Luna yang baru bangun hanya berdehem mendengar penuturan Teja.
“Kalau sibuk nggak usah maksain Pak, saya bisa ke dokter sama Bibi.”
“Kamu itu istri saya Luna, jadi ….”
“Oh, istri ya. Saya pikir Pak Teja lupa udah punya istri.”
“Luna dewasalah, aku sudah minta maaf.”
Luna melirik sinis pada pria itu, meyakinkan apa yang baru saja ia dengar. Mulut Teja ternyata lebih tajam dari tatapannya. Sebelumnya ia disebut mirip pel4cur dan sekarang dikatakan belum dewasa. Belum sempat Luna mengeluarkan uneg-unegnya, Teja sudah menyela.
“Kamu boleh lanjut benci dan marah, tapi nanti setelah kamu sembuh. Sekarang patuh saja, atau ….”
“Atau apa?” Luna menantang Teja. Pria itu menelan saliva karena wajah mereka sangat dekat, bahkan hawa panas tubuh Luna begitu terasa dan bibir yang kadang mencebik, cemberut atau terbahak itu terlihat begitu menggoda.
Entah karena dia adalah pria dewasa dan normal serta kemarahan Luna malah membuat sesuatu dalam diri Teja bergelora
“Jangan pancing aku.”
“Siapa juga yang mancing. Sana pergi, temui saja perempuan bapak.”
Teja mengernyitkan dahinya mendengar kata perempuan dari mulut Luna.
“Perempuan?”
“Nggak usah pura-pura pintar. Perempuan yang ada di café waktu itu, pacar Pak Teja ‘kan? Kenapa nggak nikah aja sama dia.”
Teja tersenyum membuat Luna semakin emosi.
“Kamu cemburu?”
“Eh. Ngapain juga aku cemburu.”
Luna kembali berbaring membelakangi Teja, ia semakin kesal karena merasa terpojok. Terasa pergerakan di atas ranjang dan tangan mengusap kepalanya. Gadis itu berbalik, ternyata Teja yang ikut berbaring padahal pria itu sudah rapi dengan setelan kerjanya.
“Pak Teja ….”
“Ssttt.”
Teja dan Luna berbaring berhadapan.
“Wanita yang kamu lihat dicafe adalah mantanku, tapi urusan hati dengannya berakhir bertahun-tahun yang lalu. Aku minta maaf karena semalam melupakan janjiku karena wanita itu juga, atas dasar kemanusiaan. Dia minta tolong karena tiba-tiba anaknya koleps.”
“Jadi ceritanya CLBK?”
“CLBK?” tanya Teja heran.
“Cinta Lama Belum Kelar.”
“Astaga, singkatan apa itu? Cintaku dengan Juli sudah kelar. Aku sangat menjunjung tinggi kesetiaan, termasuk sekarang. Kita memang belum ada rasa, tapi jangan sampai ada pengkhianatan. Kalaupun kita menyerah dan harus berpisah, bukan karena saling mengkhianati.”
“Tapi Juli, eh Tante Juli itu kayaknya masih ngarep dengan Pak Teja.”
“Aku akui untuk hal itu, tapi tidak denganku.”
Pasangan itu terdiam dan saling tatap. Luna akhirnya menjerit karena dahinya disentil oleh Teja.
“Pasti kamu membayangkan hal mesum. Istirahat, nanti sore kita ke dokter,” ujar Teja lalu meninggalkan kamar Luna.
“Dasar Suteja, bujang lapuk,” teriak Luna sambil melemparkan bantalnya yang berakhir teronggok di lantai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Alanna Th
lk" memang lemah; mau aja dmanfaatin! Smp istri nyaris celaka. Aq stuju Luna cuekin teja
2024-11-30
0
Lilis Wn
mau mauan aja terlibat lg sama si juli 🙄
2024-02-25
0
Adi Burdadi
👎👎👎
2023-11-27
1