MK - 05

"Kak, kau sudah tua, tubuhmu juga sudah lemah. Bukankah sudah saatnya kau menyerahkan jabatanmu itu pada orang yang masih kuat dan sehat, sepertiku?" tanya Alvin begitu gamblang pada Abdillah yang duduk bersandar di atas tempat tidur di mana sebuah selang oksigen melekat di bawah hidungnya.

"Maaf, Alvin. Aku tidak bisa. Aku sudah bernazar akan memberikan jabatanku ini pada Rafael," jawab Abdillah pelan.

"Tapi Rafael sudah mati, Kak ...."

"Jaga mulutmu! Rafael belum mati, aku yakin itu," ujar Abdillah cepat karena tak suka mendengar perkataan Alvin mengenai sang anak.

"Apa Kakak tidak melihat berita pagi tadi? Mobil Rafael ditemukan di bawah jurang dalam keadaan hangus. Untung saja daerah sekitar mobil itu hanya bebatuan sehingga apinya tidak merambat kemana-mana. Menurut analisisku, jika manusia ada di dalam sana, mustahil dia selamat," kata Alvin.

"Iya, karena itu hanya analisismu. Beda jauh dengan analisis Allah. Kau tidak akan bisa menjangkau perhitungan Allah," balas Abdillah membuat adik tirinya itu berdecak kesal.

"Lagi pula jika dia sudah meninggal, kenapa jasad Rafael tidak ditemukan, aku sangat yakin dia masih hidup dan suatu saat dia akan kembali," sambung pria paruh baya itu penuh keyakinan.

Alvin hanya diam dengan dada yang naik turun karena menahan emosi. Kini ia memutar badan lalu berjalan keluar dengan membawa wajah kesalnya tanpa pamit.

Abdillah hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan melihat perangai adik tirinya itu, lalu berkata pelan, "Inilah alasanku tak ingin memberimu tanggung jawab besar ini. Kau terlalu gelap mata jika menyangkut harta. Nasib ribuan pasien sedang kupertaruhkan jika aku menyerahkan jabatan ini padamu."

Pria itu kini menoleh ke arah sang asisten pribadi yang sejak tadi berada di ruangan itu menemanimya. "Ken, tolong kerahkan orang-orangmu untuk menyisir daerah tempat jatuhnya mobil Rafael. Cari putraku sampai dapat, jika perlu cari dia hingga ke pelosok desa! Aku yakin dia masih hidup."

"Siap, Tuan!" sahut Ken.

Sementara itu diluar kamar, Alvin berjalan pelan dengan keadaan hati yang buruk. Mulutnya tak henti mengumpat kakak tirinya dengan tangan yang mengepal kuat.

"Dasar tua bangka! Memangnya dia pikir umurnya akan panjang hingga Rafael kembali. Iya kalau Rafael masih hidup, kalau dimakan hewan buas dan mati? Ck, keras kepal, tidak berguna!" kata Alvin geram penuh penekanan.

Dari jauh, Alvin melihat seorang perawat berjalan ke arahnya dengan membawa sebuah nampan berisi obat-obatan yang akan diberikan kepada sang pemilik rumah sakit.

"Obat untuk Dokter Abdillah?" tanya pria itu memastikan.

"Iya, Dok," jawab sang perawat wanita.

"Tunggu sebentar."

🦋🦋🦋

Zean dan Syifa kini sedang berada di dalam mobil bersama keluarganya. Malam itu, usai mengucapkan ijab qabul dan dinyatakan sah oleh saksi, mereka langsung kembali ke kota.

Berbeda dengan pasangan pengantin baru pada umumnya yang disambut suka cita oleh keluarga, pernikahan mereka justru tidak bersambut baik. Terutama dari ibu dan kakak tiri Syifa. Jangankan menyalami Zean sebagai anggota keluarga baru, melihatnya saja, mereka enggan. Jika memang harus menatap, maka tatapan remeh dan bencilah yang mereka perlihatkan.

Hanya Gunawan saja yang menyambut Zean dengan baik dan hangat layaknya mertua dan menantu. Apalagi ketika mengingat pesan pria paruh baya itu kepadanya setelah ijab qabul membuat hati pria itu terenyuh.

'Nak, Syifa adalah putri kesayanganku. Sesungguhnya merelakannya kepadamu yang amnesia dan tidak mengetahui apa-apa tentang asal-usulmu adalah hal yang begitu sulit bagi seorang ayah. Namun, melihat cinta tulus di matamu dan putriku, rasanya aku tidak sanggup memisahkan kalian. Satu pesanku, jika nanti ingatanmu kembali, tetaplah bersamanya walau apa pun yang terjadi, sayangi dan cintai dia seperti saat ini.'

Zean menggigit bibirnya, hatinya benar-benar resah. Apakah keputusannya untuk menikahi Syifa sudah tepat? Jika saja ia mengingat semuanya, tentu hatinya bisa lebih tenang dibanding saat ini. Mungkin pandangan ibu mertua dan kakak iparnya juga tidak akan seburuk itu padanya.

Saat ini, Zean dan Syifa duduk berdua di jok paling belakang. Sepanjang perjalanan, keduanya hanya diam, tak ada pembicaraan karena mereka lebih fokus mendengar pembicaraan antara Gunawan dan Mega.

Akan tetapi, di tengah pembicaraan mereka, hati Zean kembali merasa tercubit kala mendengar perkataan sang ibu mertua yang seakan kembali menyindirnya.

"Aku harap Maisya juga bisa segera menemukan jodohnya. Yang tampan, kaya, pintar, asal-uslnya jelas, dan tidak hilang ingatan tentunya."

"Aamiiin. Semoga, Ma. Lagian Maisya juga tidak akan mau dinikahi sama pria yang nggak jelas. Apa gunanya tampan kalau ternyata seorang preman."

"Huss, kalian bisa diam? Nggak baik bicara seperti itu," kata Gunawan menegur.

Tangan Zean mengepal kuat di atas pahanya. Harga dirinya sebagai pria dan suami benar-benar teluka mendengar perkataan mereka. Namun, dua tangan hangat tiba-tiba menyelimuti kedua tangannya, walau tidak mampu menutupi semua karena ukurannya yang lebih kecil. Pria itu refleks menunduk, lalu beralih menatap sang pemilik tangan yang kini tersenyum manis kepadanya.

"Kamu jangan dengerin perkataan mereka, yah. Cukup dengar apa yang aku katakan," ucap Syifa lirih di sampingnya.

Zean hanya mengangguk pelan dengan tubuh yang kaku seolah membeku akibat sentuhan Syifa. Ia tidak tahu bagaimana dirinya di masa lalu, tapi ia merasa bahwa ini adalah sentuhan pertamanya bagi seorang wanita yang dianggap spesial.

Perjalanan memakan waktu hampir 12 jam menuju kota tempat tinggal Syifa yang sebenarnya. Untung saja, Gunawan membawa supir pribadi menemaninya, sehingga mereka bisa saling bertukar tempat ketika lelah dan kantuk melanda.

Pagi harinya, mereka tiba di sebuah rumah yang cukup mewah dengan didominasi warna putih dan taman subur yang menghiasi halamannya. Semua orang turun dari mobil termasuk Syifa yang membantu Zean dengan hati-hati.

"Selamat datang di rumah kami. Jangan kaget, rumah keluarga dokter, yah, memang seperti ini, mewah," ujar Maisya begitu arogan, tapi langsung mendapat teguran dari Gunawan.

Syifa menatap sinis ke arah kakak tirinya itu. Ia tahu jika sang kakak sengaja berkata demikian untuk menyindir sang suami. Ya, dari dulu, Syifa dan Maisya sangat sulit untuk akur. Keduanya selalu bersaing dalam segala hal, mulai dari hal kecil hingga hal besar.

"Ayo, masuk, Mas!" ajak Syifa, lalu mendorong kursi roda sang suami lebih dulu sebelum Maisya kembali mengeluarkan sindiran yang dapat menyakiti hatinya.

"Selamat datang di kamarku!" ucap Syifa ketika mereka telah tiba di kamar, dengan lukisan dinding abstrak serba putih menambah kesan mewah dari kamar itu.

Zean menelisik kamar yang cukup luas itu dengan beberapa foto terpajang di sana. Satu per satu ia perhatikan sambil tersenyum.

"Kenapa kamu tersenyum? Apa fotoku terlihat lucu?" tanya Syifa.

"Iya, lucu," balas Zean singkat tanpa basa-basi.

Puas melihat foto itu, Zean akhirnya berpindah posisi ke tempat tidur berukuran king size yang cukup empuk dan nyaman dibanding kasur yang berada di klinik Hadi.

"Bagaimana keadaan tangan dan kaki kananmu? Apa kamu merasa sudah bisa menggerakkannya? Ada gatal atau kesemutan?" tanya Syifa usai memposisikan dirinya duduk menghadap sang suami.

"Iya, aku sudah bisa menggerakkannya. Kesemutan tidak, hanya saja kadang terasa gatal," jawab Zean.

"Alhamdulillah. Besok aku akan membawamu ke rumah sakit agar langsung diperiksa oleh dokter spesialis ortopedi. Kemungkinan gipsmu sudah bisa dilepas besok, setelah itu kamu sudah bisa mengikuti fisioterapi agar persendianmu tidak kaku," kata Syifa menjelaskan.

Zean mengangguk pelan, lalu berkata, "Terima kasih."

"Untuk apa?" tanya wanita itu menatap ke arahnya yang terlihat begitu kaku.

"Untuk semuanya. Kamu mau menerimaku apa adanya," ucap Zean menatap wajah sang istri yang tampak sangat cantik. Ingin sekali rasanya ia menyentuh wajah itu dan memujinya, tapi menggerakkan lidah dan tangan saja rasanya sangat sulit dan berat.

Zean bisa melihat senyuman tulus dari sang istri. Hati pria itu berdesir manakala Syifa semakin mendekat, lalu memeluknya dengan hati-hati. Tak bisa ia pungkiri, jantungnya kini berdegup semakin kencang, hingga aliran darah terasa mengalir lebih cepat dari biasanya.

Sebuah pelukan sederhana yang mampu meredam segala rasa kesal dan gundah yang berkecamuk dalam dadanya sejak tadi. Namun sayang, belum puas ia merasakan hangatnya rengkuhan sang istri, Syifa langsung melepas dekapannya dan berdiri.

"Aku akan mengambilkan sarapan untukmu dulu agar kamu bisa langsung beristirahat. Kamu pasti lelah setelah melalui perjalanan panjang tadi." Syifa segera keluar dari kamarnya meninggalkan Zean sendiri.

Pria itu hanya bisa membuang napas kasar menatap pintu kamar yang telah tertutup. Padahal ia belum lapar, pelukan hangat yang lebih lama, itulah yang inginkan saat ini.

Zean memperbaiki duduknya dan bersandar di kepala ranjang. Pandangannya tak sengaja menangkap sebuah jas dokter yang digantung di depan lemari, lengkap dengan stetoskop yang sebagian keluar dari kantongnya.

"Apa Syifa juga seorang dokter?" tanyanya lirih dengan dahi yang berkerut.

"Aaww, ssst." Kepala Zean tiba-tiba terasa sakit. Suara roda di atas lantai dan hentakan kaki yang berlari dalam sebuah ruangan serba putih tiba-tiba membayangi pikirannya.

-Bersambung-

Jangan lupa like dan komen 🥰

Terpopuler

Comments

💞Amie🍂🍃

💞Amie🍂🍃

foto Shifa lucu

2023-11-22

0

Mustarika

Mustarika

klu ingatan zean kembali, jgan buat zean kasar ma istrinya thor kasian..

2023-10-06

1

Mia Roses

Mia Roses

Ingatan Zean mulai muncul sedikit2 ya

2023-10-02

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!