Apa yang sebenarnya baru saja dia lakukan? Menghajar Adrian?
Hingga saat ini, ia selalu menerima apa yang dikatakan Adrian kepadanya. Tidak peduli berapa kali Adrian mengatakan hal-hal buruk tentang dirinya atau ibunya, Evan selalu diam. Pasalnya Evan sadar sepenuhnya bahwa ia berhutang budi pada ibunya yang membuat hidup Adrian semakin terpuruk.
Evan juga masih mengingat dengan jelas kesalahan bersamanya dua tahun lalu saat dia merenggut satu-satunya hal yang dimiliki Adrian. Evan masih merasa buruk untuk itu hingga mendengar namanya saja Evan masih merasa tidak nyaman.
Jadi kenapa hari ini dia benar-benar marah sampai menghajar Adrian?
Adrian masih termenung, pecahan kaca bercampur darahnya berserakan di dekat tempat duduknya.
Sesampainya di apartemen sore tadi, Evan masih panik dan merusak banyak barang di dalam rumah.
Tangan Evan tidak sengaja terluka saat memecahkan jendela kamar mandi.
Suara seseorang menekan kata sandi pintunya terdengar di ruangan apartemen Evan yang sangat hening. Evan tahu seseorang baru saja datang, seseorang yang memang dia panggil ke sana untuk mengurus lukanya, dokter Mika.
Evan akhirnya bangkit dan berjalan menuju ruang duduk. Mika yang baru saja tiba di apartemen Evan itu terkejut begitu melihat banyak jejak darah yang menetes di lantai.
Mika menyimpan peralatan medisnya di meja dan segera menangani luka Evan.
"Maaf aku baru ke sini malem karena ada operasi," kata Mika karena Evan menghubunginya sekitar waktu sore tadi.
"Mm."
"Kalau aku boleh tau, kamu kenapa?" tanya Mika dengan hati-hati, mengambil tangan Evan untuk melihat seberapa parah lukanya. Wajah Evan terlihat pucat, entah berapa banyak laki-laki itu sudah kehilangan darah.
"Aku ngehajar Adrian," jawab Evan dengan tatapan kosong. Mika yang mengetahui sedikit bagaimana hubungan Evan dan kakak tirinya itu tentu saja terkejut. Dia tahu bagaimana Evan menahannya selama ini. Evan tidak pernah melawan karena rasa bersalahnya yang besar.
Baru Mika mengerti kenapa apartemen ini terlihat berantakan dengan jejak darah Evan dimana-mana. Laki-laki itu melampiaskan emosinya pada benda-benda mati yang kini sudah hancur berantakan. Oleh Evan yang dengan sengaja membuat dirinya terluka untuk menghukum dirinya sendiri.
"Kamu tau kenapa aku berani hajar Adrian?" Evan bertanya pada Mika dengan putus asa. "Gue sendiri gak tahu."
Mika yang sedang membersihkan tangan Evan dari darah dan serpihan kaca berusaha menanggapi. "Kenapa? Dia pasti mengusik kamu duluan?"
Evan mengangguk. "Dan biasanya aku selalu bisa nahan, aku gak pernah berusaha membela diri. Ini bukan pertama kalinya dia sengaja bilang tentang nyokap aku ke orang lain."
Hal serupa pernah terjadi. Dulu ketika Evan berumur lima belas tahun, Adrian datang ke sekolahnya. Seperti yang terjadi hari ini Adrian sengaja bertemu dengan teman-temannya, memperkenalkan diri sebagai kakaknya, untuk mempermalukannya. Saat itu Evan tidak pernah melawan meskipun akibat dari perkataan Adrian membuatnya dikucilkan. Evan tidak pernah berani melawan Adrian dan membiarkan dirinya sendirian.
Hanya saja, hari ini, kenapa?
"Apa rasa bersalah yang besar bisa berubah jadi kebencian?" tanya Evan lagi pada Mika masih berusaha mencari alasan kenapa dia sampai harus lepas kendali hari ini.
"Kalau kamu benci sama Adrian kenapa kamu bikin diri kamu sendiri terluka setelah hajar dia? Bukannya kamu harus puas? Karena kamu gini artinya kamu masih merasa bersalah," Mika mengutarakan pendapatnya. "Kamu inget Adrian bilang apa sebelum kamu hajar dia?"
Evan menggeleng. "Dia gak ngomong sama aku, dia ngomong sama Keisya yang--" perkataan Evan terhenti saat mengingat detik-detik sebelum pada akhirnya dia menghajar Adrian.
Mika cukup terkejut saat mendengar Evan menyebut Keisya.
"Keisya Amora?" pekik Mika dengan cukup keras.
"Ya. Aku lihat Adrian nampar dia." Suara Evan hampir tercekat saat mengatakannya."
"Apa kamu hajar Adrian setelah kamu lihat itu?" Mika hanya mengatakan dugaannya. Meskipun Evan tidak menjawabnya, dari raut wajah Evan perlihatkan sepertinya itu benar. Mika masih merasa tidak percaya, bagaimana dia harus mencerna ini.
"Apa kamu mau bilang kalau aku baru aja hajar Adrian karena cewek itu?" Evan tertawa hambar, rasanya mustahil. Bagaimana dia bisa lepas dari pertahanannya selama ini hanya karena Keisya Amora?
Mika yang melihat itu merasa yakin. Akan sulit bagi seseorang seperti Evan untuk menyadarinya, tapi Mika cukup yakin bahwa akhirnya ada seseorang yang kemungkinan besar sudah menggerakkan perasaan Evan.
"Evan, kamu tau apa yang bakal terjadi kalau akhirnya kamu jatuh cinta sama orang lain?" tanya Mika dengan hati-hati, yang mengetahui apa kesalahan Evan dua tahun lalu itu. Kesalahan yang membuat Adrian semakin membenci Evan. "Apa yang bakal Adrian lakuin kalau sampai kamu punya orang yang kamu cintai?"
Evan menatap Mika dengan datar. "Apa kamu khawatir sama cewek itu? Dengan atau tanpa aku terlibat, dia emang bakal mati, dan aku gak peduli."
******
Keisya berjalan di koridor sekolah pagi ini sambil terus memperhatikan luka di sudut bibirnya lewat pantulan cermin kecil. Keisya memeriksa berulang kali memastikan lukanya tidak terlalu terlihat.
Saat dia melewati ruang guru, tanpa sengaja Keisya bertemu dengan Riski yang baru saja keluar dari sana sambil membawa setumpuk buku. Keisya dengan sigap memasukan cerminnya ke saku dan mengambil beberapa buku dari Riski untuk di bawanya.
"Mau di bawa kemana?" tanya Keisya setelah setengah buku yang di ambil dari Riski berada di tangannya.
"Ke kelas," jawab Riski yang sedikit kebingungan saat Keisya mengangguk dengan tumpukan buku yang sudah ada di dalam pelukannya.
"Soal kejadian kemarin ..." Keisya dan Riski mengatakan itu bersamaan, mereka tertawa. Lalu Riski mempersilahkan Keisya berbicara lebih dulu.
"Aku gak bermaksud nuduh lo buruk. Aku cukup yakin kamu gak akan ngelakuin ini. Tapi aku tetep mau bilang, apa kamu bisa lupain aja kejadian kemarin? Anggap aja kita gak denger apa-apa, jangan bilang ke siapapun, dan jangan bahas hal itu di depan Evan," Keisya berbicara dengan panjang lebar, Keisya harap Riski menangkap apa maksudnya.
Riski mengangguk, dia memang tidak berniat mengatakan apapun tentang itu.
"Itu aja, kamu mau bilang apa?" Keisya memberikan kesempatan Riski untuk berbicara.
Riski terlihat sedikit kebingungan untuk mengatakannya. "Waktu aku sampai di rumah, aku merasa buruk. Aku gak seberani kamu dan gak bisa lakuin apapun kemarin. Dari awal orang itu datang aku merasa gak enak dia ada di sana. Entah kenapa. Aku merasa takut. "Maaf aku udah jadi pengecut." Riski terlihat malu.
Keisya terkejut mendengar perkataan Riski. Keisya menggelengkan kepalanya dengan kuat. "Kamu nganterin aku kemarin dan kamu beliin aku obat luka ini di apotek. Apa yang kamu lakuin lebih dari cukup."
Riski akhirnya mengangguk dan sedikit merasa lega setelah mendengar perkataan Keisya.
Hari itu saat di kelas Evan terlihat jelas menghindar. Bahkan seolah enggan menatap Keisya, memang sih biasanya juga tidak. Tapi kali ini ada alasannya, dan itu bukan alasan yang baik. Saat Keisya mengajaknya berdiskusi mengenai pelajaran yang mengharuskan di kerjakan berkelompok dengan teman sebangku, Evan hanya menjawab ya atau terserah.
Keisya merasa kesal jika Evan mengatakan hal yang kasar dan bersikap arogan. Namun Keisya lebih merasa kesal jika Evan seperti ini. Ingin sekali dia bertanya apakah penyebabnya adalah perkataan Adrian kemarin? Tetapi Keisya menahan diri untuk tidak mengungkit kejadian itu. Evan pasti masih merasa buruk tentang itu.
"Besok Riski ada ada keperluan jadi dia gak bisa take photo. Kamu mau keluar sama aku besok? Aku libur, dan aku masih punya hutang sama kamu," kata Keisya saat menghampiri Evan yang baru saja selesai dengan hukuman larinya sepulang sekolah.
Laki-laki itu terlihat sangat berkeringat dan kelelahan. Napasnya terdengar tidak beraturan. "Oke."
Ketika Evan mengangkat botol minumnya, Keisya kembali melihat tangan Evan yang diperban. Sesuatu yang mengusiknya sejak pagi tadi. "Tangan kamu kenapa?" akhirnya Keisya bertanya.
Evan melihat tangannya sendiri. "Aku pecahin kaca."
"Kenapa?" Keisya bertanya lagi.
"Gak kedengaran? Aku pecahin kaca," ulang Evan lagi dengan sedikit kesal.
Keisya menghela nafas, bukannya Keisya tidak mendengar. "Maksud aku kenapa kamu pecahin kaca dan bikin tangan kamu sendiri terluka?"
Evan terdiam, lalu dia berdiri sambil meletakan tasnya di punggung. "Bukan urusan kamu."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments