Di Kursi lainnya sambil membuka minuman kaleng miliknya. "Dia udah gak tertarik lagi."
Iya, Evan sudah menduganya.
"Dia cuman tertarik sama aku," kata Evan.
Memikirkan masalah Adrian dan Evan membuat Liana merasa buruk. Adrian selalu melimpahkan kebenciannya pada Evan. Tidak hanya kejadian 2 tahun lalu, tapi ketika Evan lahir ke dunia. Tidak ada yang bisa Evan lakukan kecuali menerima semua kebencian dari Adrian kakak tirinya.
Seharusnya Adrian dan Evan tidak begini. Dalam situasi sekarang, seharusnya Adrian dan Evan bisa akur dan melupakan kenyataan bahwa mereka adalah saudara tiri dan bisa bersama untuk membalas dendam kematian ayah mereka. Namun, harapan ini layaknya mengharapkan seseorang yang sudah meninggal, hidup kembali. Terdengar sangat mustahil sekali.
"Mmm ... aku punya ide. Gimana kalau kita lakuin sesuatu. Biarin Adrian ngelakuin hal yang sama. Kita cuma butuh 1 korban, supaya dia merasa puas? Kamu bisa milih cewek manapun lalu pura-pura pancing dia, gimana?"
"Liana, please jelasin informasi target selanjutnya. Biar aku bisa pikirin gimana caranya." Evan memotong perkataan Liana karena tidak ingin mendengar apapun lagi tentang kakak tirinya itu, sudah cukup hari ini.
Akhirnya Liana memilih menyerah. Dia mulai menjelaskan data seseorang yang akan menjadi objek balas dendam berikutnya. Hanya Liana yang tau informasi datanya, sementara Evan yang melakukannya.
*****
Keisya sedang melihat sebuah gambar di layar komputer, itu adalah hasil CT Scan hasil pemeriksaannya hari ini. Gambar itu menampakan bagian dalam kepalanya dan ada sebuah lingkaran sedang di sana.
"Ini tumor yang bisa menjadi ganas jika dibiarkan," jelas dokter wanita berjas putih sambil menunjuk lingkaran itu. Dia adalah dokter Mika, dokter ahli bedah saraf.
Keisya mengangguk, tampak tidak terkejut sama sekali. Sebelum ke Bogor Keisya sempat melakukan pemeriksaan di Jakarta bersama Ayahnya. Seingatnya dulu ukuran tumornya tidak sebesar itu.
"Karena letak dan ukurannya masih sangat memungkinkan, kita bisa menanganinya dengan opera..."
"Aku gak mau di operasi," sela Keisya cepat.
Ketika Keisya tumbuh remaja, dia menyaksikan bagaimana operasi semakin memperburuk kondisi ibunya yang juga memiliki penyakit yang sama. Operasi pada pasien kanker otak, selalu diikuti oleh terapi radiasi dan kemoterapi yang efek sampingnya mengerikan.
"Mmm ... kasih aja aku obat," kata Keisya sambil tersenyum tipis.
Lagi pula kedatangan Keisya ke rumah sakit bukan berharap sembuh, dia hanya memenuhi perintah ibu tirinya agar berhenti mengganggu.
Dengan sangat berat hati Mika menuliskan resep untuk obat sesuai permintaan Keisya. Meskipun tahu bahwa angka harapan sembuh sangat kecil jika hanya bergantung pada obat saja.
Saat keadaan cukup hening, tiba-tiba saja pintu ruangan itu terbuka. Dokter Mika dan Keisya yang terkejut langsung menoleh ke arah pintu dan melihat seseorang masuk dengan santainya lalu menutup pintunya kembali.
Terlihat benar-benar santai seolah masuk ke rumahnya sendiri. Membuat Keisya mengernyit melihatnya.
"Wah ... aku gak nyangka ketemu sama kamu di sini," celetuknya sambil menarik kursi di samping Keisya. "Tolong resep obat tidur," katanya pada dokter Mika.
Keisya menghela nafas kasar. Apa Evan memang selalu seperti ini di manapun kepada siapapun? Selalu berlaku sesukanya?
Di hari minggu yang cerah ini, kenapa dia harus bertemu dengan Evan Mahendra?!
"Mm, Evan, kamu bisa tunggu di luar? Saya masih ada pasien." Mika sedikit memberikan penekanan pada ucapannya. Ia menunjuk Keisya dengan matanya, lalu menunjuk pintu. Benar-benar isyarat agar Evan keluar dari sana.
"Tenang aja, aku kenal kok orang ini. Iya 'kan?" Evan merangkul bahu Keisya, menariknya mendekat, lalu menepuk-nepuk bahu Keisya berusaha memperlihatkan bahwa mereka akrab. Tetapi ekspresi Keisya terlihat mengatakan sebaliknya. Gadis itu jelas-jelas menunjukan rasa risih dan berusaha melepaskan tangan Evan.
Mika menyadari itu. Baiklah, jika dia tidak bisa mengusir Evan, Mika akan melakukan hal terbaik untuk membuat Keisya segera pergi dari laki-laki itu. "Ini resep obatnya. Kamu bisa hubungi saya kalau terjadi keluhan."
Keisya menerima resep obatnya lalu pergi. Setelah pintu kembali tertutup, Evan memperhatikan layar komputer yang masih menampakan hasil pemeriksaan itu.
"Ini kondisi cewek yang tadi itu? Kanker otak? Apa bakal mati?" tanyanya pada Mika sambil mengetuk layar komputer dua kali dengan jarinya.
Jika saja, Evan bukan orang yang menyelamatkan hidupnya, Mika pasti sudah menendangnya keluar dari sedari tadi.
"Hmm."
"Apa?" Evan tidak mengerti Mika menjawab pertanyaan yang mana.
"Kenapa seorang Evan Mahendra peduli?" tanya Mika sambil memberikan resep yang diminta Evan tadi.
"Mungkin aku bisa kasih pilihan terbaik ke dia. Mati langsung tanpa ngerasain sakit?" Evan tersenyum penuh arti. Lalu memasukan resep obatnya ke saku jaket lalu berdiri dan pergi.
Mika menyandarkan kepalanya di ke kursi, merasa lega karena akhirnya Evan pergi. Namun, tiba-tiba saja Mika terpikirkan ucapan terakhir Evan. Mika menatap pintu ruangannya yang tertutup, ia berharap Evan tidak melakukan apapun pada Keisya, pasien yang baru saja menemuinya hari ini.
Setelah keluar dari ruangan dokter Mika, Evan berjalan menuju apotek untuk menebus obatnya. Evan melihat gadis itu masih ada di sana melakukan hal yang sama. Diam-diam Evan berdiri mengantri di belakangnya.
"Total obatnya ada 3 jenis, putih ini untuk mengurangi pembengkakan di sekitar tumor. Obat ini bisa meredakan sakit kepala dan gejala lain seperti mual. Botol kuning, untuk mengatasi atau menurunkan kemungkinan kejang. Lalu, yang warna merah ini diminum setiap hari selama lima hari. Setelah itu istirahat selama 23 hari dan kembali lagi medical check up untuk ganti obat," jelas seorang apoteker itu sambil menunjuk masing-masing obat sesuai warna tabungnya.
Keisya memperhatikan ketiga tabung itu lalu mendorong tabung obat warna kuning dan merah. Hanya tabung obat berwarna putih yang dipilih. "Aku mau ambil yang ini saja."
Apoteker wanita itu terkejut mendengarnya. Ia berusaha menjelaskan bahwa dua obat lainnya sangat penting. Keisya menggeleng dan tetap pada keputusannya.
"Aku gak suka warna kuning dan yang ini ribet, jadi yang putih aja."
Akhirnya apoteker itu menyerah setelah mendengar alasan konyol Keisya. Transaksi selesai dengan cepat, Keisya segera melangkah pergi dari sana dengan satu tabung obat di plastik putih dalam genggamannya.
Dia terus berjalan lurus ke arah pintu keluar, sama sekali tidak melihat Evan yang ada di belakangnya dan mendengar dan mendengar semuanya sedari tadi.
Evan memperhatikan Keisya yang pergi dengan berjalan gontai. Evan menggelengkan kepalanya, tak habis pikir. Lalu maju selangkah untuk menyerahkan kertas resepnya pada apoteker.
"Obat tidur aja, ada tambahan lagi?"
Evan berpikir sejenak, lalu berkata, "Ada." Entah apa yang Evan rencanakan sampai dia berkata, "Semua obat yang ada di resep cewek tadi."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments
Anawahyu Fajrin
semangat Up Thor,,
2023-11-15
1