Tangannya gemetaran dan tenggorokannya tiba-tiba saja tercekat saat pikiran mengerikan terlintas di kepalanya.
Saat terjadi pembunuhan di minimarket, bukankah Evan juga berada di sana?
Malam itu, Keisya tidak bisa memejamkan matanya. Dia hanya duduk di depan televisi yang menyala dengan pikiran-pikiran buruk yang terus terlintas di kepalanya.
Apa yang harus Keisya lakukan? Bagaimana jika pikiran buruk itu benar?
*****
Hari ini Keisya berusaha datang lebih awal, berharap di dalam kelas hanya ada laki-laki itu saja seperti tempo hari. Namun, ternyata di dalam kelas sudah ada beberapa siswa lain yang datang. Mungkin karena hari ini tidak turun hujan, jadi siswa yang datang lebih awal lumayan banyak.
Evan sudah ada di sana, sedang duduk di kursinya sambil memainkan gadgetnya dan mendengarkan musik lewat airpods.
Keisya menyimpan paperbag berisi jaket milik Evan, lalu mengambil air pods di telinga Evan tanpa permisi.
"Kamu, ikut aku sekarang," kata Keisya lalu berjalan keluar kelas.
Evan menuruti perintah Keisya keluar kelas karena penasaran. Keisya berjalan mengarah ke area belakang sekolah yang pagi ini cukup sepi.
Setelah memastikan bahwa di tempat ini hanya ada mereka berdua, Keisya menghentikan langkahnya. Dia tampak menghela nafas berkali-kali berusaha untuk menenangkan diri.
Entah hal yang dilakukannya ini konyol atau tidak, tapi Keisya butuh jawaban.
Saat Keisya berbalik, Evan sudah berada di depannya. Evan tampak sedang menunggu apa yang akan dilakukan Keisya, apa tujuan gadis itu membawanya ke tempat yang sepi pagi ini.
"Kenapa kamu ada di sini?"
Sejujurnya Evan tidak mengerti dengan pertanyaan konyol yang gadis itu lontarkan. "Bukannya kamu yang ngajak aku ke sini, apaan sih?"
"Maksud aku, bukan itu." Keisya tampak berpikir dulu, kemudian melanjutkan. "Bukannya sekarang kamu ada di pemakaman ya? Kenapa kamu ada di sekolah?"
"Ha, pemakaman siapa? Kenapa?" Evan malah bertanya balik.
Keisya memperhatikan raut wajah Evan. Sama sekali tidak ada emosi, tidak terlihat panik atau terpojok. Laki-laki itu terlihat sangat tenang seperti biasanya.
"Kemarin aku lihat kamu di kafe."
"Wah, lo ternyata ngikutin aku ya?" kata Evan dengan santai, "Kenapa pas aku ajak kamu gak mau?"
Mata Keisya mengerjap beberapa kali. Bagaimana bisa Evan terlihat sangat tenang seperti ini?
"Aku lihat kamu sama bocil cewek. Cewek yang malam tadi ada di berita sebagai korban pembunuhan, kamu kan yang bunuh bocil itu?"
Keisya terlihat hampir yakin, dengan hati-hati Keisya mengamati raut wajah Evan. Laki-laki itu tentu akan terkejut jika apa yang dikatakannya itu benar sesuai fakta. Tetapi tidak. Evan masih kelihatan tenang, bahkan terlalu tenang.
"Apa mungkin karena tumor yang di otak kamu bikin kamu berkhayal tinggi?" Evan mengetuk-ngetuk kepalanya. "Waktu kejadian pembunuhan di minimarket, dengan nyali tinggi kamu berani nuduh aku dan sekarang kamu nuduh aku lagi?"
Evan maju selangkah membuat Keisya merasa terintimidasi. Namun, gadis itu tidak akan mundur. Dia sudah terlanjur mempertaruhkan hidupnya sendiri sekarang.
"Intinya itu, kenapa kamu selalu terkait? Kamu selalu ada di tempat pembunuhan di minimarket dan juga kemarin."
"EVAN!" teriakan seorang gadis membuat Keisya menghentikan perkataannya. Dua orang itu menoleh ke sumber suara. Ternyata gadis itu adalah Nadira, yang terlihat sangat marah saat memergoki mereka bersama.
Gina melangkah mendekat lalu dengan kasar mendorong tubuh Keisya ke pohon. "Kamu ngapain berduaan sama Evan di sini? Kamu mau godain dia?!"
Keisya meringis merasa kesakitan pada punggungnya. Lalu Keisya melihat Nadira yang benar-benar terlihat sangat marah.
"Aku bakal kasih tau kamu sesuatu, ini semua untuk hidup kamu juga." kata Keisya dengan bersungguh-sungguh. Keisya melempar tatapan sinis pada Evan.
"Cowok ini," Keisya menunjuk Evan dengan jarinya. "Kemarin, dia--"
"Kita pacaran, sejak kemarin." Evan memotong perkataan Keisya dengan cepat membuat kedua gadis itu syok mendengarnya.
Dengan senyuman yang tampak di wajah, Evan membuat tangan Keisya yang semula menunjuknya menjadi ber genggaman dengan tangannya. "Aku udah cukup main-mainnya sama kamu. Sekarang aku maunya setia, sama Keisya," jelas Evan dengan santai seolah itu obrolan yang wajar dalam situasi ini.
Nadira tampak masih tidak terima dengan ucapan Evan. "Evan, kamu gak usah bohong deh, kam--"
"Aku sama sekali gak bohong, kamu mau lihat buktinya?"
Setelah memotong ucapan Nadira, Evan membuat Keisya jadi berhadapan dengannya. Lalu melepaskan genggaman tangan mereka. Kedua tangan besarnya menangkup wajah mungil Keisya. Evan sedikit menunduk untuk mendekatkan wajahnya pada Keisya, kemudian tanpa aba-aba mencium bibir mungil Keisya, tanpa memejamkan mata dan menahannya selama beberapa detik.
Kemudian Evan kembali berdiri tegak sambil tersenyum puas melihat ekspresi Nadira yang syok. "Kita udah pacaran."
*****
Satu hari sebelumnya ...
Waktu menunjukan pukul 23.40, saat Evan pulang ke apartemennya. Lampu di dalam apartemen sudah menyala, pertanda ada seseorang di dalam. Evan sama sekali tidak terkejut, karena ini hal yang biasa baginya. Intinya bukan hantu yaa. Hanya ada dua orang yang mengetahui kata sandi apartemennya, dokter Mika yang merupakan dokter pribadinya yang datang jika ada keadaan darurat dan seseorang yang bekerja dengannya selalu, Liana Marks.
Karena malam ini Evan tidak terluka dan tidak membutuhkan dokter, jadi Evan sudah menduga bahwa yang ada di dalam apartemennya sekarang adalah Liana.
Dengan santai Evan berjalan gontai menuju ruang duduknya. Tepat seperti dugaannya, Liana ada di sana dengan dengan 2 buah komputer berlayar besar yang menyala di depannya.
"Udah kamu urus semuanya?"
Liana mengangguk dengan mata yang berusaha fokus pada pekerjaannya. "Aku cuman lagi pastiin gak ada yang terlewatkan sedikitpun. Ternyata polisi tahu lebih cepat dari yang aku duga. Kamu gak pura-pura amnesia tentang hadiahnya bukan?
Evan yang baru saja duduk langsung mengetuk kepala Liana sekali sambil tersenyum. "Kamu malah lebih khawatir tentang hadiahnya daripada khawatir tentang polisi?"
Liana juga ikut tersenyum. "Kenapa aku harus khawatir sama polisi?" Liana sangat yakin bahwa pekerjaannya selalu rapi dan mulus. Dia tidak akan melewatkan apapun dan Liana juga percaya bahwa melakukan hal yang sama. Saling menjaga agar tetap aman.
Malam ini Evan dan Liana baru saja bekerja sama melakukan aksi balas dendam yang kedua, yaitu membunuh gadis remaja berusia 14 tahu, Amara Role. Korban kedua ini adalah cucu direktur utama dari sebuah perusahaan target balas dendam mereka.
Liana yang memiliki kemampuan mengetahui segala hal dan pandai meretas bertanggung jawab dalam pengumpulan data mengenai korban, serta menyingkirkan bukti rekaman CCTV.
Sementara tugas Evan adalah bereaksi langsung di lapangan, mendekati korban, melakukan pembunuhan, dan juga menyingkirkan bukti di tempat kejadian.
JANGAN LUPA KOMEN YAA GUYS♥️♥️♥️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments
AtiVeD²¹
waduh ... main nyosor aja
2023-11-09
1