"Tenang aja, kamu gak perlu khawatir," kata Evan."Aku baik-baik aja. Bahkan ketika ayahku dibunuh dan ibuku juga pergi."
Keisya kembali melihat Evan, sedikit terkejut juga kasihan karena Evan tiba-tiba membahas hal yang menyedihkan.
Tetapi yang Keisya lihat pada diri Evan adalah tidak ada kesedihan dalam nada suara ataupun wajahnya. Seakan semuanya terlihat baik-baik saja.
******
Saat berjalan menuju gerbang untuk pulang bersama kedua temannya, Keisya sesekali memikirkan perkataan Evan yang terakhir. Kisahnya lebih tragis dari kisah Keisya, ayahnya dibunuh dan ibunya juga pergi, miris.
Perasaan Keisya semakin tidak karuan memikirkan itu.
"Kamu kenapa? Ada yang ketinggalan?" Keyla tiba-tiba bertanya.
"Hah?" Keisya tersentak. Lalu menggeleng. "Ah enggak kok, ayo!"
"Mmm ... Keisya, kamu mau kerja paruh waktu gak?" Keyla tiba-tiba bertanya.
"Aku lagi sibuk les."
"Perasaan Aku gak nanya sama kamu deh," balas Keyla. Sebenarnya bertanya khusus pada Keisya, namun yang menjawab lebih dulu Nurul.
Kerja paruh waktu adalah salah satu hal yang belum pernah Keisya lakukan tapi terdengar seperti menarik. Itu bisa saja menjadi kesibukan baru di sela-sela waktu luangnya.
"Boleh, kapan?"
"Kamu bisa mulai besok hari minggu kalau mau, tempatnya di kafe kakak aku. Nah, untuk seterusnya karena kamu masih sekolah, kamu cuma masuk hari selasa-kamis dan sabtu, minggunya gantian sama partner shift. Gimana? Kamu mau gak?" Penawaran Keyla langsung mendapat anggukan setuju dari Keisya.
"Kak Alex udah buka kafe? Terus restonya gimana?" tanya Nurul yang sudah kenal lebih lama dengan Keyla, tahu juga tentang beberapa bisnis yang dikelola keluarga sahabatnya itu.
"Ibu aku udah ngambil alih, alasannya karena udah mau pensiun dan sering sakit kalau gak kerja. Jadi Kak Alex kasih restonya biar dikelola sama ibu."
Nurul mengangguk. "Kak Alex itu ganteng loh Keisya." Nurul menyenggol bahu Keisya dengan maksud menggoda alias menjadi Mak Comblang.
Keisya menanggapinya dengan tersenyum. "Aku harap baik juga ya sebagai bos, paket komplit."
******
Evan tersenyum miring ketika melihat sebuah mobil berwarna merah yang tidak asing terparkir di seberang jalan depan sekolahnya. Ternyata itu alasannya diwanti-wanti jangan membawa mobil itu ke sekolah.
Setelah lampu hijau menyala, Evan segera melangkahkan kaki menghampiri mobil merah itu lalu membukanya. Seorang gadis berambut pirang panjang lurus dengan celana pendek sudah duduk di sana.
"Kamu pikir aku kesini buat jemput murid yang udah tua ini? Kamu lah yang nyetir!" kata gadis pirang itu sambil bersedekap dada.
Evan menggelengkan kepalanya tak habis pikir, kemudian dia berputar dan membuka pintu mobil dari kursi pengemudi. Evan melempar tasnya ke belakang, setelah itu membuka seragam sekolahnya tanpa canggung sedikitpun, meninggalkan kaos putih polos di badannya.
"Oke nona Liana Marks, kemana tujuan kita sekarang?"
"Ke tempat kamu," kata gadis yang dipanggil Liana itu. Evan mengangguk, mulai menjalankan mobilnya.
"Kamu masih suka jadi anak sekolahan? Mau sampai kapan? Betah banget perasaan." Sindir Liana yang mengetahui usia Evan dan siapa Evan sebenarnya. "Kamu udah ngulang 3 kali tahun terakhir SMA. Artinya kamu udah tua 3 tahun dari usia normal anak SMA.
Liana memperhatikan seragam putih abu yang dikenakan Evan. Merasa heran karena tidak ada yang menyadari kalau yang memakai seragam itu adalah seorang laki-laki berumur 21 tahun.
"Tapi wajahku masih tetap awet muda kan?" kata Evan dengan bangganya sambil melajukan mobil.
Liana hanya tersenyum miring, benar sekali. Wajah Evan sangatlah mendukung perannya sebagai anak SMA.
"Jadi kamu bakal cari sekolah baru lagi tahun depan?" Liana menggelengkan kepala setelah mengatakan pertanyaan itu.
"Mmm ... aku pikir-pikir apa aku ganti peran lagi, jadi anak kuliahan mungkin?" Evan kelihatan sangat serius meminta pendapat dari Liana, namun sayangnya Liana sudah tidak menanggapi perkataan Evan. Gadis pirang itu terlihat sangat sibuk memainkan ponselnya. "Tapi menurut aku jadi anak SMA lebih simple."
Evan Mahendra bukan remaja biasa, bukan juga remaja luar biasa. Evan bukan benar-benar siswa SMA. Apa yang dilakukannya saat ini adalah sebuah penyamaran untuk melindungi identitasnya.
"Sampai sekarang polisi kesusahan menemukan bukti yang menunjukan pelakunya. Hhh." Liana tertawa saat membaca berita di ponselnya.
Evan sangat puas mendengar berita itu.
"Kerja bagus juga kamu," puji Liana lalu mematikan ponselnya, menyandarkan dirinya lalu menatap jendela kaca mobil di sebelahnya. "Mereka yang mulai, kita cuma lakuin hal sama atas perbuatan mereka sendiri."
Evan melirik Liana sesaat, sorot mata Liana tampak berbeda.
"Kamu kenapa membela diri? Merasa bersalah?" tanya Evan saat mendengar nada suara Liana yang lirih, seperti sedang menenangkan diri.
"Aku? Merasa bersalah?" Liana tertawa sinis sambil mengusap matanya yang sedikit berair. "Aku cuma merasa puas banget. Mulai saat ini satu persatu dari mereka akan merasakan bagaimana kehilangan anggota keluarganya sendiri."
Setelah Liana mengatakan itu, tampak matanya berapi-api. Ingatan mengenai masa lalu kembali terlintas di memorinya, saat menjadi korban pembunuhan tepatnya tanggal 31 Desember.
Dan apa yang mereka lakukan saat ini adalah balas dendam mereka.
******
31 Desember 2006
Di sebuah rumah liburan tepatnya di pembakaran ruangan terbuka, dua pria dan seorang wanita sedang asik sedang membakar daging ayam, sosis dan jagung. Dua pria itu adalah Arthur Marks dan Arnold Mahendra, sebagai kakak adik sekaligus ceo-direktur yang tengah menunggu pergantian tahun. Sambil menunggu pergantian tahun mereka juga merayakan kesuksesan perusahaan yang mereka rintis bersama, Green Larry Agency, yang baru saja mendapat kontrak besar.
Saat sedang mengoles mentega ke beberapa jagung di atas pemanggangan, tiba-tiba saja pandangan Arthur tertuju pada keponakannya, Evan kecil yang sedang menangis depan tenda tak jauh dari sana. Di samping Evan ada anak bungsunya, Liana, yang terlihat sedang kesulitan menenangkan Evan.
"Istri kamu Elena belum kembali juga?" tanya Arthur pada Arnold. Meski Arthur tidak tahu dengan pasti masalah apa yang ada di antara pasangan suami-istri itu, tapi Arthur tahu bahwa Elena pergi dari rumah Arnold. Meninggalkan suami dan anak-anaknya.
"Dia gak akan kembali sampai kapanpun," jawab Arnold dengan raut wajah sedih serta nada bicaranya yang terdengar lirih. Ayah dengan dua anak laki-laki itu menatap putra bungsunya, Evan, yang sering kali menangis sejak Elena pergi dari rumah. "Kita akan cerai."
"Cerai? Serius?" pekik Arthur tak habis pikir.
Arnold mengangguk lalu memaksakan senyumnya. Itu adalah pilihan terbaik untuk keluarganya juga kakaknya.
Selama 3 bulan terakhir sebelum Elena pergi meninggalkan rumah serta suami dan anak-anaknya, Arnold dan Elena sering kali bertengkar dengan permasalahan yang sama. Elena selalu meminta Arnold menjadi CEO di perusahaan Green Larry Agency. Namun, posisi jabatan itu tidak mudah ditukar dan Arnold juga sangat menyayangi kakaknya Arthur. Arnold tidak keberatan jika yang memimpin perusahaan adalah Arthur meski dia sendiri menjadi Direktur Utama. Entah mengapa wanita seperti Elena tidak sependapat dengan suaminya dan sangat terobsesi untuk membuat Arnold menjadi CEO.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments