Tentu saja ini bukan yang pertama kalinya, maka dari itu pekerjaan mereka selalu sempurna. Mereka selalu bekerja sama untuk hal seperti ini. Apalagi ini untuk mencapai keinginan balas dendam.
Evan dan Liana selalu bekerja sama selama 5 tahun lebih, yaitu bekerja sebagai pembunuh bayaran. Bedanya kali ini, mereka melakukan pembunuhan untuk membalaskan dendam mereka pada orang-orang yang membunuh keluarganya 15 tahun lalu.
"Hh ... akhirnya selesai, hari ini kerja kamu bagus banget, kamu pintar milih tempat yang cocok jadi aku juga gak banyak yang harus gue urus sana-sini," kata Liana seraya meregangkan otot-otot tangannya yang lumayan kaku. Lalu meneguk minuman kaleng yang tadi di atas meja.
"Kerjaan aku emang selalu bagus dan sempurna, meskipun aku cuman tau sedikit informasi korban yang aku bunuh." Dengan bangganya Evan memuji dirinya sendiri.
Mereka mempunyai perjanjian dalam misi balas dendam ini, hanya Liana yang benar-benar tahu sasaran balas dendamnya. Liana tidak mengizinkan Evan untuk mengetahui latar belakang para korban, termasuk juga nama perusahaan yang terkait. Ada sebuah alasan, yang sangat Liana rahasiakan dari Evan.
Liana hanya memberi informasi terkait Identitas pribadi seperti nama, usia dan apa saja rutinitas korban sehari-hari. Evan sama sekali tidak mengetahui ada berapa orang yang harus dia bunuh dalam misi ini, dan Evan juga tidak tahu siapa korban yang akan dibunuh. Benar-benar yang tahu hanyalah Liana.
Liana selalu terlihat muram setiap kali Evan menyinggung hal itu. Sebenarnya Evan juga tidak terlalu peduli dengan ketidaktahuannya mengenai identitas para korban. Evan berbicara begitu tanpa maksud ingin menggalinya lebih dalam.
“Aku mau mandi dulu,” kata Evan seraya berdiri lalu membuka jaketnya. Sesuatu terjatuh dari saku Evan saat dia menyimpan jaketnya dengan asal.
Liana yang melihat itu langsung mengambil benda yang terjatuh dari saku Evan.
“Obat tidur ini … untuk misi kali ini, kan?” kata Liana sambil menunjukan tabung obat yang Liana yakin kalau isinya adalah obat tidur. Tetapi yang membuat Liana bingung adalah ada dua tabung obat lain yang terlihat tidak familiar, tabung obat berwarna kuning dan merah. “Terus ini obat apa?”
Sebuah senyuman aneh terukir di sudut bibir Evan saat menerima kedua tabung obat yang membuat Liana sangat penasaran. “Iya, kenapa obat ini ada di dalam saku aku? Kenapa aku beli obat ini ya?”
Tadi siang saat di apotek rumah sakit, apotekernya sempat menanyakan apa yang akan Evan beli lagi, dan Evan mengatakan bahwa dia membeli obat yang ada di resep Keisya yang tidak gadis itu ambil. Sebenarnya Evan bingung juga saat itu, kenapa dia melakukannya? Sampai sekarang pun Evan juga belum menemukan jawaban dari tindakan tiba-tibanya itu.
“Aku udah gak waras lagi.” Lalu Evan melempar kedua tabung obat itu ke tempat sampah yang ada di dapur, lalu melepas hoodie hijau mudanya untuk dimasukan ke sebuah tungku api untuk dibakar nanti.
******
Seorang gadis yang sempat membuatnya melakukan hal yang tidak waras sudah datang pagi ini, dengan sebuah paper bag ditangannya. Evan menduga isinya adalah jaket yang dia pinjami pekan lalu.
Namun, Evan merasa aneh saat melihat ekspresi gadis itu. Keisya tampak terlihat kalut, marah, menyimpan paper bag nya di meja dengan sedikit kasar, dan tiba-tiba saja merampas air pods dari telinganya tanpa permisi.
"Kamu, ikut aku sekarang .”
Evan mengikutinya karena penasaran, Keisya tiba-tiba membawanya ke belakang sekolah yang pagi itu lumayan sepi.
Saat berhenti, Evan bisa melihat dari belakang bahu Keisya naik turun beberapa kali. Seperti seseorang yang sedang gugup dan berusaha menenangkan diri.
Lalu Keisya berbalik dan melontarkan pertanyaan yang Evan tidak mengerti.
“Kenapa kamu ada di sini?”
“Bukannya kamu yang ngajak aku ke sini, apaan sih?”
Bertanya balik adalah salah satu strategi dasar untuk menghindar dari jebakan kata. Jika seseorang mendapat pertanyaan yang tidak sama sekali dimengerti, maka jangan pernah sekali-kali menjawabnya. Sedikit saja kesalahan maka akan membuat kita membocorkan sesuatu yang diinginkan orang yang bertanya.
“Maksud aku, bukan itu,” kata Keisya terlihat sangat frustasi sebelum melanjutkan pembicaraannya. “Bukannya sekarang kamu ada di pemakaman ya? Kenapa kamu bisa ada di sekolah?”
“Ha, pemakaman siapa? Kenapa?”
Untuk kedua kalinya Evan malah bertanya balik. Tindakan yang sangat tepat dilakukannya. Ia juga memperhatikan Keisya tanpa merasa takut sedikit pun, berusaha membaca apa yang akan gadis itu inginkan darinya.
“Kemarin aku lihat kamu di kafe.”
Oh, rupanya itu, sekarang Evan paham situasi saat ini. Karena polisi sudah mengetahuinya dengan cepat, maka tidak dipungkiri lagi media berita juga pasti sudah menayangkan liputannya langsung kemarin malam. Dipastikan, Keisya tahu korban dibunuh dari siaran berita itu. Karena gadis itu hanya menyebutkan kafe sebagai keterangan tempatnya, anggap saja bahwa Keisya melihatnya secara tidak sengaja saat berada di kafe.
Evan sama sekali tidak sadar bahwa Keisya ada di tempat bermainnya kemarin. Maka dari itu Evan perlu memastikan, seberapa banyak yang dia tahu, selain dari kafe saja. “Wah, kamu ternyata ngikutin aku ya? Kenapa pas aku ajak kamu gak mau?”
“Aku lihat kamu sama bocil cewek. Cewek yang malam tadi ada di berita sebagai korban pembunuhan, kamu kan yang bunuh bocil itu?”
Tepat seperti dugaan Evan. Apa yang dikatakan Keisya sudah cukup menjawab apa yang menjadi keresahannya. Dari jawaban itu Evan tahu kalau Keisya hanya melihatnya bersama korban di kafe, dan melihat tentang pembunuhannya di berita. Menarik.
Apa yang dilakukan Keisya itu hanya berupa tuduhan tanpa bukti karena dia sama sekali tidak melihat aksi pembunuhannya langsung, seperti yang pernah dilakukannya saat dia melakukan pembunuhan balas dendam pertamanya di Minimarket.
Keisya menuduhnya, hanya karena melihat Evan ada di tempat kejadian. Sebatas itu. Suatu hal yang tidak akan cukup berarti untuk membuat seorang Evan Mahendra ketar-ketir. Meski pun begitu, Evan akan lebih mengawasi Keisya setelah ini. Jika suatu saat Keisya melakukan hal yang bisa mengancamnya, Evan tentu saja harus menyingkirkannya.
“Apa mungkin karena tumor yang di otak kamu bikin kamu berkhayal tinggi?” Evan memutuskan akan bermain dengan tenang.
“Waktu kejadian pembunuhan di minimarket, dengan nyali tinggi kamu berani nuduh aku dan sekarang kamu nuduh aku lagi?” Evan maju selangkah membuat Keisya merasa terintimidasi. Namun, gadis itu rupanya masih berusaha menyembunyikan rasa ketakutannya.
“Intinya itu, kenapa kamu selalu terkait? Kamu selalu ada di tempat pembunuhan di minimarket dan juga kemarin—“
“EVAN!”
Teriakan seseorang menyelamatkan Evan dari pertanyaan Keisya yang terdengar menyudutkannya. Evan melihat ke sumber suara dan melihat Nadira ada di sana, terlihat sangat emosi. Evan tersenyum tidak menyangka bahwa pacarnya saat ini berguna juga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments