Saat berjalan keluar dari rumah sakit Keisya melewati ruang terbuka hijau, biasanya tempat itu digunakan pasien rawat inap untuk berjemur saat pagi sambil menikmati udara segar. Karena cuaca hari ini cukup cerah, ada beberapa pasien yang duduk di bangku putih ruang terbuka hijau itu, Keisya memperhatikan beberapa diantaranya.
Mereka tidak sendiri, ada setidaknya satu anggota keluarga yang merawat dan menemani. Dari sekedar memberinya sebuket bunga sebagai dukungan untuk segera sembuh, memapahnya berjalan, sampai mendorong kursi rodanya.
Dengan perasaan yang sedih, Keisya menyadari dia tidak memilikinya. Seseorang yang nantinya akan memperhatikan dan mendukungnya untuk sembuh. Ayahnya mungkin saja khawatir, tetapi tidak pernah benar-benar menghubunginya secara langsung. Selalu lewat ibu tirinya, cara yang Keisya tidak sukai.
Jadi berusaha keras melalui semua prosedur untuk sembuh? Ah, lagi pula kata sembuh terlalu mewah, Keisya tahu tidak pernah ada seseorang yang benar-benar sembuh dari penyakit kanker otak ini. Ia tidak pernah berharap sembuh juga, ia hanya ingin tidak merasa sakit semasa sisa hidupnya.
"Kenapa kamu gak ambil semua obatnya? Kamu sama sekali gak punya uang?" tanya seseorang yang tiba-tiba saja berdiri di sampingnya ketika Keisya berada di dekat trotoar jalan.
"Ssshh," Keisya merasa sangat lelah melihat laki-laki itu.
"Kenapa kamu kelihatan peduli banget sama aku sih?"
"Hmm, apa itu terbilang peduli?" tanya Evan dengan ekspresi berlebihan seolah baru saja menemukan hal baru. "Aku cuman mau bikin penawaran sama kamu."
"Maaf, aku sama sekali gak tertarik sama penawaran konyol kamu." Keisya berusaha tersenyum tulus sambil terus melangkah.
Evan hanya tersenyum. "Apa kamu bakalan mati?" tanyanya begitu saja tanpa perasaan.
Tapi, sepertinya pertanyaan seperti itu akan dianggap wajar jika Evan Mahendra yang menanyakannya.
Keisya menahan diri untuk tidak memukul makhluk menjengkelkan ini, dia berusaha untuk tetap tenang di cuaca yang cerah ini. Keisya tidak ingin merusak suasana hatinya dengan mengeluh tentang apa yang baru diucapkan Evan.
"Ya, aku bakalan mati," Keisya memaksakan senyum.
"Memangnya kenapa? Kamu mau bunuh aku?"
Evan mengangakan mulutnya pura-pura terkesan sebagai reaksi atas ucapan Keisya, "Apa kamu bisa baca isi pikiran aku?"
"Ya!" Sekarang Keisya mulai menunjukan sedikit rasa kesalnya.
"Kamu harus tau kalau aku punya penglihatan X-Ray dan bisa lihat paru-paru kamu sekarang." Keisya menunjuk dengan dua jarinya tepat pada bagian dada Evan, gadis itu ikut bermain.
Evan tertawa melihat bagaimana Keisya selalu membalas ucapannya dengan baik. Ia tidak pernah memiliki seseorang yang bisa diajak berbicara seperti saat ini.
"Ini kan hari minggu, kenapa kamu ada di sini dan ngikutin aku pula? Kenapa kamu gak jalan-jalan sama pacar kamu itu?" tanya Keisya yang sudah ingin membuat Evan enyah dari sampingnya sejak tadi. Menyebalkan.
"Mm ..." Evan melirik jam tangannya, merasa seperti baru saja diingatkan. "Rencananya aku mau pergi, kamu mau ikut gak?"
Tawaran yang sangat gila! Maksudnya Evan baru saja menawari Keisya untuk mengikuti dia berkencan? Keisya menggelengkan kepalanya. Sungguh di luar nalar. "Kamu mau lihat pipi aku ditampar Nadira?"
"Bukan Nadira sih," kata Evan dengan santai. "Tapi anak SMP yang masih polos dan lucu. Kamu mau lihat?"
Keisya mengibaskan sebelah tangannya. "Terserah." Siapapun itu. Keisya tidak tertarik sama sekali dengan kehidupan percintaan Evan. Bahkan jika laki-laki itu mengencani ribuan gadis dalam waktu yang sama.
"Keisya."
Untuk pertama kalinya Evan tiba-tiba saja menyebut nama Keisya, dan itu terdengar sedikit aneh. Evan sendiripun merasa sangat aneh saat mengatakannya.
"Jangan coba-coba panggil nama aku!" Keisya bergidik sedikit sambil mengangkat kedua bahunya mengekspresikan perasaannya dengan jelas. Jijik mungkin.
Evan masih tetap berjalan di sampingnya. Entah akan kemana tujuan laki-laki itu sebenarnya.
"Aku cuman mau bilang sama kamu, jangan lupa balikin jaket aku tanpa rusak sedikitpun. Kamu jangan kecentilan dengan kasih banyak parfum di jaket aku."
Mata Keisya melotot.
Hah, lagi pula siapa juga yang akan melakukan itu? Keisya ingin sekali mengumpat, tapi ia menahannya. "Baiklah tuan Evan Mahendra yang terhormat."
Setelah hampir dekat dengan halte bus, Evan menghentikan langkahnya. Lalu memutar badan untuk kembali ke rumah sakit, lebih tepatnya ke parkiran karena dia kemari mengendarai mobil.
Dengan senyuman aneh yang terukir di wajahnya saat Evan berjalan kembali ke parkiran rumah sakit, laki-laki itu bertanya-tanya, kenapa ya dia mengikuti gadis itu dari depan rumah sakit sampai sejauh ini?
*****
Keisya memulai pekerjaan paruh waktunya pada hari minggu. Setelah melakukan wawancara singkat dan diberikan penjelasan mengenai gambaran pekerjaannya, Keisya langsung saja diterima sebagai waitress merangkap kasir di Bubble Cafe.
"Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik. Jangan merasa canggung, panggil aja kakak ya, jangan panggil pak, anggap aja kayak teman kamu," kata Alex, kakak sulung Keyla sekaligus pemilik kafe tempatnya bekerja.
Keisya mengangguk sambil tersenyum lalu menjabat tangan Alex. Seperti ekspetasinya, Alex terlihat baik dari kesan pertamanya dan seperti ekspetasi Nurul, Alex juga sangat tampan dan tinggi yang ideal. Membuat wanita menjerit.
Selain Keisya, ada bu Lina pekerja full time, wanita berusia 41 tahun yang menjadi koki utama di dapur, asisten dapurnya, Mirna, sedang tidak masuk karena ada hal mendesak yang harus dia lakukan. Jadi posisinya diganti sementara oleh Keisya, membantu bu Lina hanya untuk hari ini saja.
Sementara Alex sendiri sebagai bartender, dan untuk kasir di back-up oleh Riska pekerja paruh waktu partner shift Keisya yang seharusnya tidak masuk hari ini.
Keadaan cafe saat itu cukup ramai karena hari minggu dan masih dalam masa grand opening, Keisya untungnya berhasil langsung beradaptasi dengan baik, dia sama sekali tidak kesulitan dengan pekerjaan ringan di dapur karena sering melakukannya dulu untuk membantu ibunya.
"Ini pesanan untuk meja nomor 7, tinggal tambah minumannya aja di depan," kata bu Lina sambil menyerahkan nampan berisi sepiring roti bakar, nasi goreng dan sosis goreng. Keisya menerima nampan itu dan mengantarnya ke depan.
Saat Keisya keluar dari pintu dapur, dia melihat ke sekeliling kafe, suasananya benar-benar ramai hingga semua meja di sana penuh. Lalu pandangannya berhenti saat melihat seseorang yang tidak asing sedang duduk di meja ujung bersama seorang gadis yang terlihat lebih muda di depannya. Mereka sama-sama memakai hoodie berwarna hijau muda.
"Ck, ternyata beneran dia jalan sama anak smp, dasar bocil," gumam Keisya saat melihat Evan yang secara kebetulan menjadikan kafe tempat Keisya bekerja sebagai tempat kencannya bersama bocil.
Evan Mahendra benar-benar mewujudkan perkataannya saat mereka bertemu di rumah sakit tadi. Evan benar-benar pergi hari ini bersama gadis lain, yang bocil. Keisya berharap Nadira datang dan melihat apa yang dilakukan laki-laki brengsek itu.
Tanpa ingin lama-lama melihatnya, Keisya kembali ke dapur untuk melanjutkan pekerjaannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments