Alvian baru saja kembali ke kantor polisi. Dia langsung menuju ruangan tempat pengelola barang bukti untuk mengambil dua kotak penyimpanan barang dari dua kasus pembunuhan yang terjadi baru-baru ini.
"Kamu nemuin sesuatu di TKP 1?" rekannya yang kebetulan ada di sana mendekatinya.
Alvian menghiraukannya, dia membuka kedua kotak itu lalu mengambil sebuah kalung dengan bentuk yang sama dari masing-masing kotak.
"Ga, apa informasi tentang kalung ini udah di bocorin ke media?"
"Hah, mana mungkin. Bukannya kita sepakat untuk nutupin ini sampai kita tangkap pelakunya?" balasan Rangga yang terlihat sedikit panik. "Tim kita akan kena masalah kalau sampai ini bocor."
Tepat sekali! Tidak ada yang tahu tentang kalung ini selain detektif. Apa Keisya benar-benar asal menebak atau dia menemukan hal lain?
Alvian kembali memperhatikan kalung itu secara bergantian. Alasan yang membuatnya yakin bahwa kedua kasus itu memiliki pelaku yang sama, selain tusukan di punggung korban, ternyata sang pelaku meninggalkan kalung yang sama persis untuk para korbannya.
Kalung itu berwarna perak dengan liontin bulat dengan model yang sama. Milik korban pertama terdapat angka "31" di liontin bulat itu, sedangkan di kalung milik korban kedua tertulis "VI".
Dalam kasus pertama Alvian berpikir bahwa kalung itu, mungkin sedari awal milik korban. Namun, ketika dia menangani kasus lain dan menemui kalung yang serupa, Alvian langsung menyadari bahwa itu adalah hadiah yang ditinggalkan pembunuhnya. Alvian mengonfirmasi pada pihak keluarga korban, benar, korban tidak pernah memiliki kalung itu sebelumnya.
"Yang ini, apa ini VI huruf V dan I. Atau VI itu angka yang berarti 6?" tanya Rangga sambil menunjuk kalung milik korban kasus kedua.
*****
"Ini hadiah untuk yang kamu lakuin karena udah dapetin foto-foto itu." Evan meletakan sebuah paper bag berukuran lumayan besar di meja ruang duduk apartemen Liana. Sebuah hadiah karena Liana sudah membantunya menemukan foto kencan Nadira diluar sekolah.
Liana yang baru saja keluar dari kamar mandi memakai baju handuk langsung terlihat antusias saat mengenali merk paperbag itu. Isinya tas sepatu dari desainer ternama.
"Kamu tau banget apa yang aku mau," kata Liana sambil mengacak rambut Evan.
"Kamu kenapa gak pake baju dulu!" Evan merasa risih saat Liana mendekatinya hanya dengan menggunakan handuk itu.
"Memangnya kenapa? Disini kan cuma ada bocil," kata Liana dengan santai sambil berjalan menuju kamarnya.
"Bocil? Umur aku udah dua puluh satu tahun!" protes Evan dengan kedua alis yang berkerut.
Liana hanya menganggukkan kepalanya berkali-kali lalu masuk ke kamarnya. "Ya, ya. Manusia dua puluh satu tahun yang masih pergi ke sekolah," kata Liana dengan sarkastik.
Setelah Liana selesai berpakaian, dia kembali ke ruang duduk dan melihat Evan sudah berada di sana dengan dua kotak pizza serta beberapa minuman kaleng.
"Wah, kamu merasa sangat berterima kasih banget kali ini ya?"
Liana duduk di samping Evan lalu mengambil sepotong pizza yang masih terasa hangat. Sepertinya baru datang ketika Liana sedang di kamar.
"Aku lapar banget," jelas Evan singkat. Tadi dia memeriksa kulkas Liana dan tidak menemukan apapun yang bisa dimakan. Maka dari itu, dia berinisiatif memesan makanan.
"Apa yang kamu lakuin sama foto cewek itu?" Liana sedikit penasaran. Dia tahu Evan selalu bermain-main dengan banyak gadis. Entah di sekolah atau luar sekolah dan tidak ada satupun yang dijalaninya dengan serius.
"Kamu berniat untuk pake perasaan sama dia? Jadi itu alasan kamu?"
"Aku pake foto-foto itu untuk mutusin hubungan," jelas Evan sambil menyantap pizza.
"Demi putusin hubungan kamu yang gak jelas, kamu bikin aku kerja?"
Evan menggeleng. "Bukan cuma itu." Alasan utama Evan adalah bukan untuk memutuskan hubungan dengan Nadira. Tetapi, untuk membuktikan pada semua orang yang ada di sekolah bahwa sebenarnya Nadira lebih buruk, dan untuk membuat gadis itu berhenti mengganggu Keisya.
Jadi intinya, Evan melakukan semua itu untuk membantu Keisya?
"Terus apa?" Liana sangat penasaran.
Benarkah? Liana tiba-tiba saja sangat penasaran apa tepatnya yang dilakukan dirinya sendiri. Apa dia benar-benar melakukan semua hal itu untuk Keisya?
"Pokoknya ada." Evan tidak ingin membahasnya karena dia sendiri tidak tahu.
"Ck, kamu tau kan apa yang bakalan terjadi kalau kamu mulai melibatkan perasaan?" Liana memperingatkan sesuatu yang selalu Evan ingat.
"Dan soal misi ini, apa aku bisa ngeluhin sesuatu?" tanya Evan mengalihkan pembicaraan. "Kenapa secara khusus kamu selalu minta aku untuk bunuh korban dengan tusukan di punggung? Kamu tau kan kalau itu sedikit menyulitkan? Kenapa kamu gak pernah minta yang lebih mudah? Di perut atau leher misalnya."
Sekarang giliran Liana yang enggan untuk menjawab. "Kamu tau gak artinya ditusuk dari belakang?"
"Pengkhianatan? Kamu mau bilang kalau ada orang yang lakuin itu?"
Liana mengangguk tanpa menatap Evan. "Dalang dari semuanya yang terjadi dulu."
"Dari perusahaan Marks Agency" Evan menebak dengan mudah. "Kenapa kamu gak langsung nyuruh aku ngebunuh pengkhianatnya? Kamu bisa kasih tau aku siapa orangnya."
"Bukan secara langsung dari perusahaan," Liana berkata dengan hati-hati. Bagaimana pun Liana berjanji kalau dia tidak akan mengungkap hal ini pada Evan. "Kamu gak akan berurusan sama orang itu. Lakuin aja tugas aku."
Tugas Evan hanya sebatas membunuh keluarga atau orang yang berharga bagi orang-orang yang merencanakan penyerangan pada insiden 31 Desember 2006 itu. Sasaran Liana adalah ingin membuat mereka hidup untuk melihat keluarga yang dicintainya mati secara mengerikan, tepat seperti apa yang dilakukan mereka pada Liana, Evan dan Adrian dulu. Rasa sakit yang dirasakan akan lebih menyakitkan.
"Siapa yang bakal ngurus si pengkhianat itu? Adrian?" pertanyaan Evan membuat Liana terdiam. "Kenapa bukan aku aja?"
Evan merasa tidak adil karena dia tidak diberitahu. Dan kenapa Liana malah menyerahkan sasaran utama balas dendamnya pada Adrian?
Tentu saja semua itu karena Liana memiliki alasan yang sangat kuat. Alasan kenapa Evan tidak diberikan bagian untuk itu? Kenapa Evan tidak diberi banyak informasi mengenai target mereka, karena Liana merasa Evan tidak akan sanggup mengetahui kenyataan kalau ternyata ibunya sendiri, Elena Rosalina hang menjadi dalang utama dari penyerangan itu.
*****
Keisya tidak yakin dengan apa yang sedang dilakukannya dalam waktu sepagi ini. Ketika jam masih menunjukan pukul 06.20 Keisya sudah berada di sekolah dengan sebuah cokelat panas dan paperbag di tangannya. Gadis itu berdiri di dekat parkiran, menunggu seseorang.
Padahal Keisya bisa menunggu di kelas dengan lebih nyaman, tidak perlu kedinginan juga. Kenapa melakukannya di sini? Tidak tahu. Selagi memikirkan itu, seseorang yang ditunggunya akhirnya datang, memakai jaket abu dan baru saja keluar dari sebuah mobil yang kali ini berwarna hitam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments