..."Kamu yang terlalu baik atau aku yang terlalu berharap?" ...
Tepat pukul 06 lewat 5 menit pagi, Vallesia sudah berada di sekolah. Dia harus rela meninggalkan sarapannya karena dia kesal kepada Ibu dan Ayahnya yang terus mengejeknya karena semalam mereka melihat Vallesia pulang diantar oleh Nararya.
Vallesia mendengus sebal karena suasana sekolah masih sepi. Dia sudah seperti orang gila, mondar-mandir sendiri di koridor sekolah.
"Nyebelin anjir," gerutu Vallesia.
Memang, mengumpat, menggerutu ataupun marah-marah tidak akan mengubah segalanya. Setidaknya itu membantu Vallesia untuk mengurangi rasa kesalnya. Kenapa dia harus dipertemukan dengan seseorang yang menyebalkan seperti Nararya? Dan yang terutama, kenapa sikap Nararya bisa sangat manis terhadap Vallesia? Jadi, salahkah Vallesia kalau dia merasa dirinya sangat special bagi Nararya?
Puas dengan marah-marahnya, Vallesia langsung melanjutkan jalannya sebari bersenandung ria. Sekolah masih sepi jadi dia berniat untuk tidur sebentar di dalam kelas.
Di tengah jalan, langkah Vallesia terhenti. Ada seseorang yang menghadangnya ... Vano. Sekarang dia tidak sendiri, ada kedua temannya yang setia mengikuti Vano ke manapun dia berjalan.
Vano tersenyum sinis, dan Vallesia hanya menatap Vano dengan tatapan mengancam. Vallesia tahu kalau kondisi sekarang sangat berbahaya bagi dirinya tapi Vallesia tidak tahu harus bagaimana. Kabur? Memang itu bukan ide yang buruk, hanya saja dia tidak ingin dianggap lemah oleh Vano dan teman-temannya.
Dulu, yang Vallesia hadapi hanya Vano namun sekarang Vano membawa kedua temannya dan Vallesia yakin dia akan kalah.
"Hai, kita ketemu lagi ya," kata Vano sambil mencolek dagu Vallesia.
"Minggir!" tegas Vallesia sebari menghempaskan tangan Vano.
Vano tertawa dan Vallesia tahu itu adalah tawa ejekan. Vano melirik kedua temannya dan lalu menyuruh mereka untuk memegang Vallesia dengan isyarat lirikan mata.
"Lepasin gue!" ronta Vallesia sebari berusaha melepaskan kedua tangannya yang dicengkram.
"Mimpi," ujar Vano lalu berjalan mendekat dan tangannya membelai rambut Vallesia lembut.
"Brengsek," umpat Vallesia. "Dasar laki-laki bejad," lanjutnya.
"Gak usah so jual mahal. Mau berapa, gue bayar kontan?"
Sekarang emosi Vallesia sudah mencapai puncaknya. Dia tidak terima harga dirinya diinjak-injak. Dia tidak murahan dan dia tidak akan tergiur dengan uang walaupun dia dibayar mahal.
Setetes demi setetes cairan bening keluar dari mata Vallesia. Kali ini Vallesia tidak bisa menahan air matanya. Tak apa jika Vallesia dianggap lemah karena sekarang yang dia harap adalah ada orang yang menolong dia. Dan tiba-tiba saja satu nama muncul. Nararya.
"Dia nangis, Van. Cengeng dia," kata salah satu teman Vano yang sekarang sedang menahan tangan kiri Vallesia.
"Belum diapa-apain aja udah nangis. Gimana nanti kalau udah dibawa ke kamar," ujar Vano.
Mata Vallesia membulat. Dia tidak menyangka Vano sebejad ini. Vallesia tahu kalau Vano nakal tapi dia tidak tahu kalau Vano sejahat ini. Sungguh Vallesia sangat tidak menyangka.
"Bangsat,"
Tiba-tiba saja satu tendangan berhasil membuat Vano jatuh. Darah segar langsung keluar dari sudut bibir Vano.
"Anjing," tegas Vano lalu mulai menyerang Nararya. Namun dengan mudah Nararya menangkis serangan Vano dan berakhir dengan Vano yang limbung.
Tak terima karena temannya dibuat ambruk, kedua teman Vano langsung melepaskan cengkraman tangannya di tangan Vallesia dan langsung berlari maju menyerang Nararya. Hasilnya sama. Nararya yang menang.
"Cabut," ujar Vano memberi komando pada kedua temannya dan merekapun langsung berlari meninggalkan Vallesia dan Nararya.
Pandangan Nararya beralih pada gadis yang saat ini sedang berdiri sambil bersandar pada tembok. Bibirnya pucat. Matanya merah. Rambutnya berantakan. Sakit. Entah kenapa hati Nararya jadi terasa sakit melihat kondisi Vallesia seperti ini. Dia tidak suka ada yang mengganggu Vallesia.
Perlahan, kakinya melangkah menghampiri Vallesia. Hatinya menyuruh dia untuk membawa Vallesia ke dalam pelukannya namun dia ragu. Tapi, tanpa Nararya duga gerakan itu didahului oleh Vallesia. Vallesia memeluk Nararya dengan erat dengan isakan yang tak henti-henti.
Ragu. Nararya membalas pelukan Vallesia dengan pelan-pelan. Tangannya perlahan mengelus rambut Vallesia berusaha untuk menenangkan Vallesia.
"Gak usah nangis," kata Nararya lembut.
Lama mereka berdiri dan Nararya berinisiatif untuk mengajak Vallesia ke suatu tempat. Dengan hati-hati Nararya menuntun Vallesia untuk berjalan. Tidak ada penolakan dari Vallesia seperti biasa. Kali ini Vallesia diam dan seperti pasrah akan dibawa ke manapun.
Langkah mereka terhenti ketika mereka sudah sampai di rooftop sekolah. Tempat ini menjadi tempat favorit Nararya untuk menenangkan pikiran. Udara yang sejuk dan suasana yang tenang membuat hati Nararya selalu damai.
Nararya kembali menuntun Vallesia dan membawanya duduk di salah satu bangkun yang berada di sana.
"Udah kali nangisnya, tambah jelek lo," kata Nararya.
Mendengar ledekan Nararya, cepat-cepat Vallesia mengangkat kepalanya yang dia simpan di balik dada Nararya. Dia sendiri bingung kenapa dia dengan lancangnya memeluk Nararya karena biasanya disentuh laki-laki saja Vallesia enggan. Ah sekarang Vallesia benar-benar gila.
"Ngeselin lo," ujar Vallesia lalu membuang mukanya dari hadapan Nararya. Malu.
Vallesia mengutuk dirinya sendiri. Kalau kayak gini caranya bisa-bisa dia akan menjadi bahan ejekan Nararya.
Di sisi lain, Nararya tersenyum. Tingkah konyol dan sikap begonya Vallesia menjadi kebahagian bagi Nararya. Jujur, Nararya tidak bisa mengungkapkan perasaan apa yang sedang dirinya rasakan. Yang jelas dia merasa bahagia.
"So buang muka. Tadi aja main meluk-meluk," ucap Nararya setengah menggoda.
Pipi Vallesia memanas. Apa yang dia takutkan beneran terjadi. Sekarang dia harus bagaimana? Mengelak? Vallesia rasa itu tidak mungkin karena kejadian itu memang terjadi. Kabur? Tidak. Itu hal yang sangat gila karena akhirnya Nararya pasti akan tertawa dan semakin menggoda Vallesia. Satu-satunya jalan yaitu menghadapi Nararya dan bersikap seperti biasa. Ketus.
"Tadi itu reflek," balas Vallesia tanpa menoleh sedikitpun ke arah Nararya.
"Reflek tapi nyaman. Iya kan?" goda Nararya.
Keahlian Nararya itu ada dua, yaitu membuat Vallesia bingung dengan teka-tekinya dan membuat Vallesia malu dengan godaannya. Benar-benar menyebalkan.
"Najis lo," umpat Vallesia sebari mendorong tubuh Nararya.
"Ditolongin bukannya bilang terima kasih malah marah-marah. Sarap lo,"
"Iya-iya. Makasih," ujar Vallesia.
"Tapi ini tidak gratis,"
Perkataan Nararya barusan membuat Vallesia bingung. Cepat-cepat Vallesia membalikan tubuhnya dan memberanikan diri untuk menatap mata Nararya.
"Maksudnya?" tanya Vallesia.
"Mulai sekarang lo satu bangku sama gue," jawab Nararya.
"Hah?" pekik Vallesia tak mengerti dengan ucapan Nararya.
Sekali lagi Nararya tersenyum melihat respon kaget Vallesia. Cantik. Begitulah pikir Nararya saat ini.
Pandangan mata Nararya beralih pada jam tangan yang melingkar di tangannya. Nararya bangkit dari duduknya lalu menjulurkan tangannya ke hadapan Vallesia.
"Ayo sebentar lagi bel masuk akan berbunyi!"
"Tapi ... "
Belum sempat Vallesia melanjutkan kalimatnya, Nararya sudah lebih dulu menarik tangan Vallesia agar ikut berdiri.
"Bisa gak begonya dikondisikan?" ujar Nararya yang berhasil membuat Vallesia geram.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments