..."Kalaupun perasaan ini tidak hilang, aku harap perasaan ini terbalaskan karena aku tidak ingin merasakan sakit kedua kalinya." ...
Seperti malam-malam sebelumnya, Nararya berdiri di depan jendela kostan. Pikirannya menerawang ke kejadian masa lalu yang menurut dia sangat kelam. Hatinya merasa sakit dan dia merasa hidupnya paling menderita.
Mata Nararya mengerjap, berharap dengan begitu perasaan sakitnya berkurang. Memang, Nararaya berasal dari keluarga yang berlimpah harta namun tidak dengan kasih sayang. Ia merasa hidupnya kurang dan bahkan ia merasa hidup sendiri, tak lebih seperti anak yang tak dianggap atau bahkan mungkin yang dibuang.
Nararya terlalu lemah kalau soal keluarga. Sebenarnya dia sendiri merasa berat harus berpisah dengan keluarganya namun ini lebih baik daripada dia harus berdiam di rumah tapi dengan perasaan sesak. Nararya akan pulang tapi tidak sekarang, nanti kalau keadaannya sudah berbeda. Walaupun ia sendiri tidak tahu kapan waktunya itu tiba.
Mengingat kedekatan keluarga Vallesia membuat dia tersenyum dalam hati. Senyum miris sebenarnya. Nararya merasa kalau hidupnya tidak adil. Tidak. Nararya tidak benci terhadap keluarga Vallesia karena lebih harmonis daripada keluarganya. Dia hanya merasa iri. Itu saja.
Sekelebet bayangan wajah Vallesia tadi yang memasang wajah bingung membuat sudut bibirnya terangkat. Lucu. Begitulah pikir Nararya. Apakah ia menyukai sosok Vallesia? Ah entahlah, Nararya belum berpikir sejauh itu.
Menurut Nararya, Vallesia itu berbeda. Gadis itu memiliki daya tarik tersendiri. Terlebih sikap lemotnya yang membuat Nararya gemas sendiri.
Dengan hadirnya Vallesia membuat Nararya lupa akan masalahnya. Dengan hadirnya Vallesia membuat hidupnya sedikit berwarna. Dan sekarang hatinya sudah tersimpan penuh di dalam hati Vallesia.
Bruk!
Terdengar suara benda jatuh. Nararya-pun buru-buru menoleh. Di dekat kasurnya, sebuah pigura jatuh. Kaki Nararya melangkah menghampiri pigura itu.
Diambilnya pigura tersebut dan seketika senyum kecut timbul di bibirnya. Di dalam pigura itu terdapat foto beranggotakan 3 orang. Itu adalah foto dirinya bersama kedua orang tuanya. Di sana Nararya masih berumur 8 tahun, dia terlihat sangat bahagia. Di dalam foto itu Nararya masih bisa tersenyum senang karena saat itu dia masih bisa dibohongi dengan alasan-alasan basi seperti "Mamah sama Papah kerja buat beliin kamu mainan," dan sekarang Nararya tidak akan percaya dengan alasan-alasan bulshit seperti itu.
Dulu, setiap weekend Nararya selalu menghabiskan waktunya bersama keluarga. Entah itu untuk bermain ke taman, mall atau hanya duduk di halaman rumah sebari ditemani canda tawa dari orang tuanya. Tapi sayang, itu dulu saat dirinya masih berusia 5 tahun. Dan sekarang itu hanya sebatas ... kenangan.
Kecewa? Sudah pasti. Bahkan sekarang dirinya merasa tak memiliki keluarga karena dia sudah terbiasa hidup sendiri. Tidak. Nararya tidak sendiri karena dirinya masih memiliki 3 sahabat yang selalu setia padanya. Terlebih sekarang Nararya sudah menemukan sosok baru ... Vallesia.
Egoiskah kalau Nararya ingin memiliki Vallesia sepenuhnya? Sepertinya tidak, karena semua orang berhak memiliki kebahagiaan. Dan kebahagiaan Nararya ada pada diri Vallesia.
Kalaupun Vallesia tidak memiliki perasaan terhadap Nararya. Nararya tidak akan marah karena dia masih bisa menjaga Vallesia dari jauh. Dan jangan lupakan akhirnya bahwa Nararya akan merasakan sakit kedua kalinya.
Setelah puas dengan bayangan Vallesia, mata Nararya kembali mengarah pada pigura di tangannya.
"Basi," gumamnya lalu memasukan pigura itu ke laci yang ada di samping kasurnya dan berniat tidak akan membukanya sebelum luka dihatinya mengering.
"Gue cuma mau dianggap ada. Itu saja," ujar Nararya sambil tersenyum kecut karena memang di rumahnya Nararya merasa tak dianggap dan diasingkan. Dan Nararya menganggap kalau kehadirannya hanya sebagai pajangan rumah.
Nararya selalu berharap kalau nanti setelah dia lulus SMA kehidupannya akan berubah, menjadi lebih baik pastinya. Dan membuat kedua orang tuanya sadar kalau seorang Nararya Aditama, laki-laki yang sudah menginjak usia dewasa itu masih membutuhkan kasih sayang serta dorongan dari orang tuanya.
Entah dorongan dari mana, tiba-tiba saja Nararya merindukan sosok Vallesia. Muka polosnya dan ekpresi kesalnya menjadi candu bagi Nararya.
"Lo manis tapi sayang lo kelewat bego," kata Nararya sambil terkekeh.
*******
Di kamarnya, Vallesia sedang merebahkan tubuhnya dengan pikiran yang terus-menerus mencari jawaban dari perkataan Nararya tadi siang.
Sebisa mungkin Vallesia mencoba untuk tidur, otaknya sudah pusing karena tak kunjung mendapatkan jawaban dari teka-teki yang diberikan Nararya.
Seharusnya Vallesia tak sepusing ini. Memangnya siapa Nararya sampai bisa meracuni otak Vallesia.
"Lo aneh tahu gak. Hidup lo kebanyakan teka-teki," ujar Vallesia sebari tangan memegangi kepalanya.
Satu detik
Dua detik
Tiga detik
Kantuk tak kunjung datang dan itu membuat Vallesia jengkel. Karena biasanya, jarum jam baru menunjukan pukul 8 malam, gadis berkacamata itu paati sudah berkelana ke alam mimpi tapi tidak untuk sekarang.
Entah kenapa, malam ini pikirannya dipenuhi oleh bayangan-bayangan Nararya. Kebersamaan mereka selama ini seakan menyita pikiran dan hatinya. Senang? Bahagia? Vallesia tak munafik, ia jelas merasakan semua itu. Tapi di balik semua itu, terselip rasa khawatir dan juga bingung. Ah entahlah, ini sulit untuk diartikan.
"Sana lo. Pergi jauh-jauh dari pikiran gue," kata Vallesia dengan kepala yang digeleng-gelengkan.
Merasa semakin jengkel, Vallesia-pun mulai mengguling-gulingkan badannya kebiasan dia kalau sudah jengkel.
Tak hanya itu, Vallesia juga merasa jengkel dengan sikap Ibunya yang kelewat senang dengan kehadiran Nararya sampai-sampai Vatma menceritakannya pada Frans dan berakhirlah dirinya menjadi bahan ejekan Ayahnya.
"Anak Papah udah menemukan kebahagian barunya ya," kata Frans ketika mereka sedang berkumpul di ruang keluarga dengan TV yang menyiarkan Ftv malam menemani mereka.
"Apa sih, Pah enggak kok," elak Vallesia.
"Arya so sweet loh, Pah sampai manggil Valles aja dengan sebutan Alles," ujar Vatma sampai membuat Frans melirik Vallesia dengan tatapan yang Vallesia yakini adalah tatapan menggoda.
"Itu panggilan biasa kok, Pah. Jangan dengerin mamah deh, Pah. Mamah itu penyebar hoax," kata Vallesia. Emosi Vallesia sudah menggunung dan siap meledak. Vallesia merutuki kebodohan Nararya yang dengan lancang memanggilnya dengan panggilan berbeda.
"Mamah bener kok, Pah. Tadi Dilla denger sendiri. Terus tadi Dilla lihat kalau kak Arya mukul kening kak Valles sambil senyum gituh."
Boom!
Kali ini Vallesia sukses dibuat kesal. Cepat-cepat dia bangkit dari duduknya dan memilih berdiam di kamar. Sedang di tempatnya, Vatma dan Frans hanya terkekeh melihat tingkah anak pertamanya.
Mengingat kejadian tadi di ruang keluarga membuat Vallesia semakin kesal dan berniat untuk mengubur Nararya hidup-hidup.
Vallesia berharap kalau perasaannya sekarang terhadap Nararya menghilang karena dia tidak ingin mengambil risiko kalau nantinya dia merasa dipermainkan oleh harapan. Kalaupun perasaan itu tidak kunjung hilang Vallesia berharap perasaannya terbalaskan karena dia tidak ingin merasakan sakit untuk kedua kalinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments