..."Rasa tertarik berubah menjadi rasa suka lalu berkembang menjadi rasa cinta."...
Lima menit lagi bel masuk akan segera berbunyi. Maka dari itu, Vallesia, gadis berkacamata dan Megan, gadis berambut poni itu berlarian untuk segera masuk ke area sekolah. Setelah berhasil melewati gerbang sekolah, mereka menghela napas lega dan berdiam sejenak untuk mengatur napasnya yang terengah-engah. Selang beberapa detik mereka malnjutkan jalannya untuk memasuki ruang kelas mereka.
Sampai di dalam kelas, mereka tak langsung duduk. Ada rasa kesal dan malas untuk diam di ruang kelas sejak kemarin. Karena mereka baru ingat kalau dari kemarin tempat duduk berpindah. Ekspresi ceria mereka berbah menjadi ekspresi masam, terutama ekspresi Vallesia yang bibirnya sudah maju kurang lebih 2 senti.
"Males," gerutu Vallesia.
"Sama," sahut Megan.
Bel masuk sudah berbunyi. Satu persatu siswa-siswi sudah berlarian masuk ke dalam kelas. Mereka semua sudah duduk di tempat masing-masing kecuali Vallesia dan juga Megan. Karena merasa malu, mau tak mau mereka harus duduk.
"Ya udahlah, mau gimana lagi," kata Vallesia pasrah.
Selama proses pembelajaran, Vallesia tak merasa nyaman karena suasana di sekitar dia sangat bising. Baik di depan maupun di belakang suasana sangat ramai. Anak laki-laki tak henti-hentinya bicara dan dalam pembicaraan mereka tak ada yang bermanfaat sedikitpun. Ada sebagian yang membicarakan tentang ukuran kumis Pak Boni yang saat ini sedang mengajar pelajaran Sejarah. Vallesia ingin sekali menegur mreka namun niat itu dia urungkan ketika dia menoleh ke belakang dan matanya malah langsung bertatapan dengan mata laki-laki dingin itu.
"Sialan," gumam Vallesia.
Mendengar perkataan Vallesia yang menurut Megan kasar itu, dengan cepat Megan melirik Vallesia dengan raut wajah bertanya. "Kenapa?"
Pertama, Vallesia mengatur napasnya yang saat ini sedang gusar. Lalu mulai memejamkan mata untuk menahan emosinya yang sudah menggebu-gebu. Dia tidak suka kalau konsentrasi belajarnya terganggu.
"Gue gak nyaman di sini, berisik," kata Vallesia.
Perlahan, tangan Megan mengusap tangan kanan Vallesia berniat untuk menenangkan temannya itu. Megan tahu kalau Vallesia tidak suka diganggu apalagi kalau belajarnya yang diganggu. Vallesia sangat mempentingkan nilainya beda dengan dirinya.
"Lo yang sabar ya. Nanti kita coba bicarain sama Bu Wiwin," ujar Megan.
"Percuma," balas Vallesia lalu mulai mencoba memfokuskan pikirannya pada penjelasan Pak Boni.
"Nararya, kalau kamu mau tidur mendingan gak usah sekolah,"
Mendengar seruan Pak Boni, semua tatapan anak kelas mengarah pada satu objek, Pak Boni. Tak kalah herannya, Vallesia pun mengalami hal yang sama. Nama itu sedikit asing di telinga Vallesia. Nararya? Siapa dia?
Kaki Pak Boni berjalan menghampiri deretan bangku Vallesia. Mata Vallesia memicing ketika Pak Boni berhenti di belakang bangkunya.
"Nararya!" panggil Pak Boni sambil menggebrak meja.
Vallesia dan Megan saling lirik lalu mata mereka menatap laki-laki yang kini tengah tertidur pulas dengan kepala yang tergeletak di atas meja.
"Jadi ..." kata Vallesia dan Megan bersamaan.
"BANGUN NARARYA!" teriak Pak Boni membat seisi kelas terperanjat kaget sedang Nararya hanya mengangkat kepalanya tanpa merasa bersalah sama sekali.
"Pergi ke toilet untuk cuci muka lalu balik lagi ke sini!" titah Pak Boni.
Tanpa mengucapkan apa pun, Nararya bangkit dari duduknya lalu mulai melangkah keluar dari kelas. Sedang di tempatnya, Vallesia dan Megan masih setia saling pandang.
"Gue baru ingat," seru Megan.
"Apa?" tanya Vallesia.
Megan diam sejenak. Berniat untuk mengingat sesuatu. Lalu setelah menemukan apa yang dia cari, Megan kembali menatap Vallesia. "Gue baru ingat kalau dia itu Nararya. Gue kan sempat satu kelompok sama dia waktu kelas sepuluh,"
Tatapan mata Vallesia menajam. Tangannya mengepal. Dia kira Megan akan ngasih informasi penting tapi ternyata hasilnya mengecewakan.
"Anjay lo," ujar Vallesia lalu memalingkan wajahnya dari hadapan Megan.
*******
Waktu paling dinantikan seluruh siswa-siswi adalah waktu istirahat dan tempat yang mereka idam-idamkan adalah kantin. Bagi sebagian siswa-siswi kantin adalah surga dunia walau masih ada sebagian yang memilih untuk pergi ke perpustakaan, namun itu khusus untuk siswa-siswi pandai dan memiliki obsesi tinggi untuk memeiliki nilai tinggi.
Namun lain halnya dengan Vallesia, walau dia tergolong pandai namun dia masih bisa menentukan kapan waktunya belajar, kapan waktunya bermain, kapan waktunya makan dan kapan waktunya tidur.
Karena cacing dalam perutnya sudah tidak bisa diajak damai, dengan tega Vallesia menyeret Megan keluar dari kelas berniat untuk membawa dia ke kantin. Selama dalam perjalanan, semua pasang mata tertuju pada meraka namun Vallesia menghiraukannya tapi beda halnya dengan Megan yang dengan susah payah menutup mukanya karena malu.
"Valles, lo gila ya?" tanya Megan di sela-sela perjalanan mereka.
"Gue gak gila. Gue lapar," balas Vallesia dan terus menyeret Megan tanpa memperdulikan protesan Megan.
Setelah sampai di kantin, Vallesia melapaskan Megan dari seretannya lalu matanya mengamati isi kantin berniat untuk mencari penjual yang kosong namun sayang, semua penjual sedang diserbu manusia kelaparan.
"Lo gila. Lo malu-maluin tahu gak," protes Megan sambil memukul pinggang Vallesia.
"Sakit bego. Lo gak tahu apa kalau pinggang gue kemarin abis dicium bola voly," kata Vallesia sebari menahan tangan Megan yang akan terus memukul pinggangnya.
"Gue gak peduli,"
Merasa kesal, Vallesia pun membalikan badannya menjadi menghadap ke arah pintu keluar kantin. Rasa laparnya sudah hilang lagian kantinnya terlalu penuh dan Vallesia tidak suka antri.
"Ke mana woi?" tanya Megan setengah berteriak.
"Ke mana aja yang penting gak ketemu lo," balas Vallesia lalu mulai melangkah pergi meninggalkan kantin dan membiarkan Megan mematung di tengah padatnya kantin.
"Udah nyeret-nyeret gue ke sini dan sekarang malah ditinggal. Bagus," dumel Megan.
Vallesia berjalan santai menyusuri loridor sekolah. Entah dia mau ke mana, dia sendiri tidak tahu yang jelas dia ingin berjalan-jalan sendiri tanpa ada yang menganggunya. Dia mengikuti saja ke mana kakinya berjalan asal jangan ke kuburan.
Tiba-tiba pikirannya mengarah pada satu orang. Nararya. Ah kenapa juga dia tiba-tiba mengingat orang itu. Kenal saja tidak tapi kenapa orang itu tiba-tiba masuk ke otaknya.
Dengan keras, Vallesia menggeleng-gelengkan kepalanya membuat semua orang yang melihatnya memandang dia aneh. Tapi kalau mereka menilai Vallesia gila, salahkan saja Nararya. Nararya lah penyebabnya.
Tapi tunggu ... kenapa Nararya lagi. Ada apa sebenarnya dengan Vallesia ini. Jelas-jelas dia tidak mengenal Nararya. Pernah bicara saja tidak. Tapi jujur, semenjak Vallesia bertatapan dengan Nararya hatinya mendadak menghangat bayangan wajah Nararya selalu saja berkeliaran di otaknya.
"Ah gila," racau Vallesia lalu mempercepat langkahnya.
Ketika sampai di ambang pintu kelas langkahnya terhenti. Tubuh Vallesia tak sengaja menabrak seseorang. Kepalanya dia angkat dan seketika matanya langsung bertemu dengan mata milik ...
"Sorry, Nararya," ujar Vallesia pelan, sangat pelan.
Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Nararya melanjutkan jalannya sedang di tempatnya Vallesia hanya bisa menggeretu sebal.
"Itu anak diciptain mulut buat apaan sih?"
Tak ingin membuat hati semakin kesal dan tak ingin mempermalukan dirinya sendiri, Vallesia pun mulai melangkahkah kakinya memasuki kelas namun baru saja dia melangkahkan satu kaki jalannya terhenti karena matanya tak sengaja menemukan headphone warna biru yang tergeletak di atas lantai.
"Bawa gak ya?" tanya Vallesia pada dirinya sendiri.
Karena penasaran, Vallesia pun mengambil headphone tersebut dan di sana terdapat tulisan yang kalau dibaca menjadi "Swag Partner".
"Punya siapa?" gumam Vallesia. "Tanya teman-teman aja mungkin mereka tahu," lanjutnya.
Baru saja Vallesia akan bertanya dengan cara berteriak, namun bel tanda istirahat telah habis berbunyi alhasil Vallesia hanya bisa manyun.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments