..."Bahagia yang sesungguhnya adalah ketika kita dianggap ada oleh orang terdekat."...
"Lo janji ya gak akan ngomong macem-macem," kata Vallesia dengan mata yang terus menatap Nararya dengan tatapan tak dapat diartikan.
Nararya hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Kalau nyokap gue nanya lo siapanya gue, lo harus jawab temen."
Nararya kembali mengangguk.
"Awas lo kalau bohong."
"Berisik!" tegas Nararya, matanya langsung menatap mata Vallesia dengan tatapan andalannya. Dingin.
"Jadi masuk gak? Kalau enggak, gue mau balik. Buang-buang waktu aja."
Memang mereka sudah berada di depan gerbang rumah Vallesia sejak 20 menit yang lalu namun mereka belum masuk karena Vallesia yang ngoceh sedari tadi.
Nararya dengan aura dinginnya sedang duduk di atas motornya sedang Vallesia berdiri di pinggir motor Nararya.
Saat bel pulang sekolah berbunyi Nararya langsung menghampiri Vallesia dan tanpa permisi Nararya langsung menyeret Vallesia keluar kelas dan membawanya ke depan gerbang sekolah.
Tanpa penjelasan apapun, Nararya berjalan meninggalkan Vallesia sendiri sedangkan dirinya berjalan ke samping sekolah untuk mengambil motor yang dia simpan di dekat warung Bi Iyem.
Merasa dipermainkan, Vallesia sudah ingin berjalan untuk pulang namun langkah dia kalah cepat karena Nararya sudah terlebih dahulu datang dan menyuruh Vallesia untuk ikut tanpa penjelasan sedikitpun. Dan berakhirlah mereka di sini. Depan rumah Vallesia.
Sebentar mereka saling tatap. Nararya dengan tatapan dinginnya seakan sedang menindas Vallesia sedangkan Vallesia dengan tatapan takutnya karena merasa ditindas oleh Nararya.
"Iya-iya jadi. Sabar kali ah," ujar Vallesia lalu berjalan menghampiri pintu gerbang dan membukanya sedikit agar motor Nararya bisa masuk.
Setelah motor Nararya terparkir sebagaimana mestinya, Vallesia kembali menutup pintu gerbangnya dan menyuruh Nararya untuk ikut masuk.
Di ruang TV, tampak Vatma dan Vadilla sedang duduk bersebelahan. Vatma dengan tatapan lurus ke depan memperhatikan siaran TV yang menyuguhkan berita sedangkan Vadilla yang asyik dengan game pou di ponsel Vatma.
"Mah," kata Vallesia lembut.
Mendengar suara anaknya, Vatma-pun langsung berdiri lalu berjalan menghampiri anaknya.
Dengan sopan, Vallesia menyalami tangan Ibunya dengan lembut. Nararya, yang berdiri di belakang Vallesia langsung mengikuti apa yang baru saja dilakukan Vallesia.
Melihat orang asing yang datang bersama Vallesia, mata Vatma-pun langsung menyelidik penampilan laki-laki yang dibawa Vallesia.
Beruntung, penampilan Nararya sekarang tidak terlalu buruk. Baju yang biasanya dikeluarkan namun kali ini dibiarkan dimasukkan karena perintah Vallesia. Hanya saja yang menarik perhatian Vatma adalah warna rambut Nararya yang berwarna merah transparan.
Vatma tidak menyimpulkan kalau laki-laki yang sekarang berada di hadapannya adalah laki-laki berandalan. Karena Vatma tahu bahwa semua yang terlihat dari luar belum tentu benar. Lagian Vatma memaklumi kelakuan Nararya karena itu masih di batas wajar.
"Dia, Nararya, Mah," kata Vallesia mengenalkan Nararya ke hadapan Ibunya. "Kalau gituh Valles mau ganti baju dulu," lanjutnya lalu berjalan menaiki anak tangga.
Vatma tersenyum. Entah karena apa, yang jelas sekarang hatinya mendadak bahagia.
Pandangan mata Vatma beralih pada sosok Nararya. "Kita makan siang dulu yuk, nak ... aduh Tante panggilnya apa ya biar lebih akrab?"
"Arya aja, Tan," jawab Nararya.
"Oh, Arya. Kita makan dulu yuk!" ajak Vatma sebari menarik tangan Nararya untuk ikut ke ruang makan.
Tepat di belakang Vatma, Vadilla berlari mengejar Vatma lalu langsung memeluk tangan Vatma.
"Dilla ikut, Mah," rengek Vadilla.
"Tanpa Dilla mintapun Dilla pasti diajak kok. Mukanya jangan dijelekin gituh, gak enak dilihat," ujar Vatma lalu menggendong Vadilla dan mendudukannya di salah satu kursi makan.
"Ayo, Arya duduk!" kata Vatma yang dibalas anggukan oleh Nararya dan sejurus kemudian Nararya-pun langsung duduk di kursi makan yang berada di hadapan Vadilla.
Setelah Nararya duduk, Vatma dengan semangat yang menggebu-gebu menuangkan nasi serta lauk pauk berupa Ayam goreng ke atas piring dan memberikannya pada Nararya.
Dengan senyuman yang terbit di bibirnya Nararya menerima piring itu dengan senang hati. Senyuman itu sangat tipis dan sangat singkat bahkan Vatma-pun tak melihatnya.
Entah kenapa, saat ini hati Nararya mendadak hangat. Hati yang biasanya dingin dan berupa es batu kini berubah menjadi hangat. Muka yang biasanya berekspresi datar dan sorot mata yang menajam kini ekspresi itu berubah menjadi damai dan sorot matanyapun berubah menjadi menyejukan.
"Mah, Dilla mau ayam," ujar Vadilla.
"Tapi Dilla harus makan yang banyak ya biar tambah pinter," balas Vatma sambil menyimpan satu buah Ayam goreng ke atas piring Vadilla.
Vadilla mengangguk mantap. Ayam goreng adalah menu favoritnya sudah dipastikan dia akan banyak. "Tapi mau disuapin sama mamah. Boleh ya?"
Seulas senyum terbit di bibir Vatma. Dia senang karena anak-anaknya tumbuh menjadi anak yang baik dan pintar. Tak perlu segudang prestasi. Melihat anaknya tumbuh menjadi anak yang baik dan bisa menghargai orang lain saja sudah membuat Vatma bahagia.
"Oke," balas Vatma lalu tangannya dengan lihai memindahkan nasi dari piring ke dalam mulut Vadilla.
Di tempatnya, Nararya dengan fokus memperhatikan interaksi antara Ibu dan anak itu. Hati Nararya mendadak sesak. Sudah lama dia tidak mendapat perhatian dari keluarganya apalagi Ibunya. Semua perhatian itu sudah menjadi kenangan. Iri? Sudah jelas Nararya iri. Siapapun pasti ingin mendapatkan perhatian lebih dari keluarganya walaupun usia Nararya sudah bisa dibilang dewasa namun tidak salah bukan kalau Nararya mengharapkan sebuah perhatian.
Dalam hati Nararya tersenyum, lebih tepatnya senyuman miris. Jika biasanya dia selalu menampakan tampang kuat namun sekarang Nararya menampakan tampang lemah karena memang kelemahan Nararya hanya satu yaitu 'keluarga' tidak ada yang tahu kecuali ketiga sahabatnya.
"Arya!" panggilan itu menyadarkan Nararya dari lamunannya. Sebiasa mungkin dia mengembalikan ekspresinya menjadi biasa.
"Kenapa ngelamun?" tanya Vatma.
"Enggak kok," balas Nararya.
Pandangan Vatma teralih ke arah piring Nararya. Nasi dan ayamnya masih utuh, tak tersentuh sama sekali.
"Kok gak dimakan? Gak suka? Apa gak enak?" tanya Vatma.
Dengan cepat Nararya menggeleng. Dia tidak ingin kalau Vatma salah paham. "Bukan gitu Tante, saya hanya lagi nunggu, Alles," jawab Nararya berbohong.
Mata Vatma melotot. Apa dia tidak salah dengar? Baru kali ini ada orang yang memanggil Vallesia dengan sebutan lain. Bahkan dulu, orang lama yang ada di kehidupan Vallesia memanggil Vallesia dengan sebutan Valles, sama seperti keluarganya.
"Alles?" ulang Vatma.
Naraya gelagapan. Sudah dipastikan hal ini akan terjadi. Salah dia sendiri, tidak seharusnya dia memanggil Vallesia dengan sebutan seperti ini saat berada di hadapan keluarga Vallesia karena itu akan menimbulkan banyak pertanyaan.
"Iya, Alles. Saya memanggil dia dengan sebutan Alles, agar mudah,"
Vatma hanya mengangguk. Dia tidak ingin memojokan Nararya. Kasihan. Begitulah alasan Vatma.
"Valles pasti lama. Sudah, kamu makan saja dulu,"
Nararya tak membantah. Dia langsung menyantap makanan yang ada di hadapannya dengan lahap dan dengan pikiran yang melayang entah ke mana.
Dalam hati, Nararya berterima kasih pada Vallesia karena sudah mengajaknya masuk ke dalam keluarga yang hangat sehingga dia bisa merasakan kembali apa itu keluarga.
Setelah makanannya habis. Nararya langsung meneguk air yang ada di sampingnya. Kepalanya dia angkat, dan dia langsung melihat pandangan Vatma yang terus melihat ke arahnya.
"Eumm .. Tan!" panggil Nararya.
"Tante minta maaf ya, kalau kelakuan Vallesia sedikit kasar. Karena semenjak kejadian itu dia sedikit sensitif terhadapan laki-laki."
Nararya diam, terlebih dahulu dia mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Vatma. Karena tidak mau keadaan semakin kaku, ide konyol melintas di otaknya.
"Iya, Alles itu galak banget. Dulu tangan saya aja hampir dia patahin terus perut saya juga dia tendang. Untung saya kuat."
Mendengar penjelasan Nararya barusan membuat Vatma membulatkan matanya. Sebenarnya bukan hal yang aneh tentang Vallesia yang menghajar laki-laki namun tetap saja Vatma tak habis pikir. Mau sampai kapan anaknya itu tenggelam akan masa lalu.
"Waduh, tante minta maaf atas nama Vallesia."
"Gak apa-apa kok, Tan," jawab Nararya.
Terdengar suara langkah kaki yang mendekati mereka. Dan tampaklah Vallesia yang berdiri di samping Nararya dengan setelan rumahan. Hotspand hitam dan baju kaos lengan pendek warna pink.
"Ih, kok makannya gak nungguin Valles dulu sih. Jahat deh," gerutu Vallesia. Jika di sekolah dia akan bersikap jutek dan terkenal kasar maka kalau di rumah dia akan bersikap manis dan maja. Seperti sekarang.
Munafik kalau Nararya mengaku tidak terpesona dengan sikap Vallesia sekarang. Karena faktanya dia sudah terpesona terhadap Vallesia, entah sejak kapan karena perasaan itu tumbuh secara tiba-tiba.
"Kamu makan aja ditemani, Arya. Mamah mau cuci piring," kata Vatma lalu bangkit dari duduknya sebari membereskan piring kotor. "Ayo, Dilla bantuan mamah," lanjutnya.
Setelah Vatma dan Vadilla pergi, Vallesia langsung duduk di samping Nararya. Entah kenapa suasana mendadak canggung sekarang.
Dengan perasaan yang bercampur aduk, Vallesia mulai menuangkan nasi beserta ayam goreng ke atas piringnya.
Di sisi lain, Nararya terus memperhatikan gelagat Vallesia. "Manis," batinnya.
Cepat-cepat Nararya mengeleng. Entah kenapa, setiap dirinya berhadapan dengan Vallesia, hatinya selalu senang dan bibirnya ingin sekali untuk senyum namun selalu dia tahan. Munafik memang.
"Lo kenapa sih?" tanya Vallesia karena merasa ada yang aneh dengan tingkah Nararya.
"Gak," jawab Nararya.
Tak ingin memikirkan tingkah Nararya yang menurut dia aneh, Vallesia-pun memilih untuk menyantap makannya.
"Lo beruntung," kata Nararya.
"Hah?" Vallesia yang saat itu sedang menikmati makannya mendadak menghentikan makannya karena merasa aneh dengan apa yang dikatakan Nararya barusan.
"Selagi lo masih memiliki alasan untuk hidup jangan sampai lo sia-siain itu. Karena tak selamanya keberuntungan berpihak pada semua orang," ujar Nararya dengan tatapan yang lurus menatap mata indah milik Vallesia.
"Maksudnya?" Vallesia yang memang memiliki otak yang agak lemot hanya bisa melongo dan itu sukses membuat Nararya tersenyum dalam hati.
"Bahagia yang sesungguhnya adalah ketika kita dianggap ada oleh orang terdekat. Dan gue harap lo bersyukur karena bisa menempati posisi itu."
Sekali lagi Nararya kembali melontarkan kalimat yang sukses membuat Vallesia berpikir keras karena memang Vallesia tipe orang yang tidak mengerti dengan kode.
"Gue gak ngerti. Sumpah," ujar Vallesia dengan tangan membentuk huruf V.
Nararya tahu kalau Vallesia tidak akan mengerti. Dia sengaja melontarkan kalimat yang memiliki arti tersirat karena dia tidak ingin kalau Vallesia mengetahui maksud ucapannya secara langsung. Dia tidak ingin terlihat menyedihkan di hadapan orang lain. Itu alasan sebenarnya.
"Dasar bego," ucap Nararya sebari tangan yang menoyor jidat Vallesia.
"Aduh," ringis Vallesia seraya tangan yang mengelus-elus jidatnya.
"Eh, mau ke mana?" tanya Vallesia ketika melihat Nararya bangkit dari duduknya.
"Balik," balas Nararya tanpa menghentikan langkahnya.
"Jelasin dulu maksud ucapan lo apa," teriak Vallesia.
"Pikir aja sendiri. Bye, bego," balas Nararya sambil melambaikan tanganya.
Tiba-tiba Nararya berhenti. Dia baru ingat satu hal. "Sampaikan salam gue sama nyokap lo,"
Setelah mengatakan itu Nararya benar-benar pergi dan meninggalkan kebingungan di pikiran Vallesia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments