Keesokan harinya, Pangeran Pertama, Zhu Jiao mengunjungi mereka, membawa setumpuk obat herbal untuk Tianyu.
"Setelah menikah, obat kuat adalah yang paling penting," cerocos Jiao sembari menaruh bungkusan obat itu di atas meja di depan Tianyu.
Tianyu spontan mendongak di seberang meja, menatap wajah kakaknya dengan melengak.
"Obat ini harus digunakan setiap hari, baru ada hasilnya," lanjut Jiao tidak menyadari tatapan adiknya yang berpotensi perang dunia. "Aku sendiri yang meramu obatnya, jadi jangan mengecewakanku!" Ia menambahkan.
Tianyu mengetatkan rahangnya dan memaksakan senyum, "Kalau begitu aku terima niat baikmu," katanya seraya merenggut tali yang mengikat bungkusan obat yang bertumpuk-tumpuk itu, kemudian menjejalkannya ke tangan Jiao. "Obatnya bawa pulang saja," geramnya dalam bisikan tajam. "Aku takkan menggunakannya!" Ia menambahkan dengan ketus.
"Kau meragukan kemampuanku?" Jiao menaikkan sebelah alisnya.
"Dasar mesum!" dengus Tianyu.
Jiao terkekeh seraya menaruh kembali tumpukan obat itu di meja, lalu duduk bersila di seberang meja, mencondongkan tubuhnya ke arah Tianyu sambil cengengesan, "Tak perlu malu," katanya. "Kita ini saudara. Lagi pula sesama pria. Cepat, ceritakan padaku! Bagaimana rasanya menikah? Apakah kaki terasa lemas? Pinggang pegal?" cerocosnya tak kunjung peka.
"Tidak!" tukas Tianyu kesal.
"Kalau begitu kenapa begitu lelah?" Suara di depan pintu menyela pembicaraan mereka.
Tianyu dan Jiao spontan menoleh ke arah pintu.
Pangeran Ketiga melangkah ke dalam ruangan dengan kedua tangan terlipat ke belakang. "Wajahmu seperti kurang tidur," katanya seraya tersenyum tipis.
"Barangkali Pangeran Keempat berlatih bela diri semalam suntuk," sela Jiao dengan ekspresi konyol sembari menggerak-gerakkan tangannya di depan wajah Tianyu menirukan "Jurus Tinju Dewa Mabuk" yang melegenda. "Ciat, ciat, ciat!"
"Diam!" hardik Tianyu sembari menggebrak meja.
Kedua kakaknya spontan terkekeh.
"Aku belum melakukan itu," geram Tianyu pada Jiao.
"Apa?" Jiao spontan membelalakkan matanya.
Li Qian mengambil tempat duduk di sampingnya.
"Adik…" Jiao menyorongkan wajahnya ke wajah Tianyu. "Satu jam malam pertama bernilai ribuan keping emas," ia menasihati. "Kusarankan kau lebih perhatian!" Lalu ia merenggut kembali tumpukan obat herbalnya sambil mendengus, "Lebih baik kupakai sendiri saja!"
Sementara itu…
Lu Xi sedang berendam di kamar mandi ketika mereka datang, ditemani Yue Yan, pelayan pribadinya.
"Putri, kau terlihat lelah," komentar Yue Yan sambil menyabuni bahu Lu Xi dan memijatnya.
"Pinggangku pegal," erang Lu Xi dengan wajah memelas. "Sekujur tubuhku terasa tak nyaman. Saat tidur lebih lelah dibanding saat bangun."
Yue Yan cekikikan mendengar keluhan Lu Xi. "Sudah menikah memang begitu," katanya sambil senyam-senyum. "Kalau sudah menikah, malam pertama pasti akan sulit tidur."
Lu Xi mengerang dan duduk merosot, menenggelamkan tubuhnya ke dalam air sampai sebatas lehernya.
Wajah Yueyan berkerut-kerut kebingungan.
Beberapa saat kemudian, mereka sudah berada di kamar rias.
Selama pelayan itu membantu Lu Xi berias, Pangeran Pertama dan Pangeran Ketiga sudah kehabisan topik pembicaraan.
Lalu ketika Lu Xi akhirnya keluar, Tianyu dan kedua kakaknya sudah tidak berada di ruang duduk.
Lu Xi melongok keluar melalui jendela bulat kamar tidurnya dan mendapati Tianyu sedang berbicara dengan seorang gadis.
Gadis itu tampak lebih tua dua atau tiga tahun dibanding Lu Xi. Cantik, anggun dan santun. Sepasang matanya seakan ikut bicara selama ia bicara.
Tianyu menatap mata gadis itu dengan raut wajah dingin. Kedua tangannya terlipat ke belakang dengan dada membusung. Bersikap seolah-olah ia sedang berhadapan dengan pengawalnya dan bukan seorang gadis.
Lu Xi memperhatikan gadis itu dengan dahi berkerut-kerut. Siapa dia? Ia bertanya-tanya dalam hatinya.
Tak lama kemudian, gadis itu mengulurkan kedua tangannya, menyodorkan sebuah kotak pipih persegi panjang pada Tianyu.
Tianyu mengawasi kotak itu dengan mata terpicing, kemudian menerimanya dengan raut wajah enggan.
Gadis itu merunduk hormat dengan sikap elegan, kemudian berbalik dan berlalu dengan gaya berjalan yang terlalu diatur.
Tianyu bergegas ke dalam rumah.
Lu Xi buru-buru menjauh dari jendela, kemudian bergegas ke ruang duduk.
Tianyu mengulurkan kotak yang diberikan gadis tadi pada Lu Xi.
"Apa ini?" Lu Xi menatap Tianyu dengan dahi berkerut-kerut. Sebelah alisnya terangkat tinggi.
"Hadiah pernikahan dari Nona Hu," jawab Tianyu tanpa ekspresi. "Untukmu," ia menambahkan.
"Untukku?" Dahi Lu Xi berkerut semakin dalam. "Aku tidak mengenalnya," gumam Lu Xi sambil meneliti kotak itu dengan mata terpicing, merasa sedikit heran.
"Nona Hu adalah teman kecilku," jawab Tianyu.
"Temanmu?" Lu Xi menatap Tianyu. "Lalu kenapa aku yang diberi hadiah?"
"Aku mana tahu pikiran wanita," tukas Tianyu tidak peduli. Kemudian bergegas ke meja bacanya.
Lu Xi membuka kotak itu dengan dahi berkerut-kerut.
Setangkai tusuk sanggul berukir bunga peony berbahan emas dua puluh empat karat, terselip dalam kotak itu.
Lu Xi mengambilnya dengan ibu jari dan telunjuknya, lalu tiba-tiba terperanjat dan menarik tangannya cepat-cepat.
Ujung telunjuknya tertusuk sesuatu yang tertancap di dasar kotak. Benda itu tidak terlihat karena ukurannya begitu kecil, seperti potongan jarum patah yang tersangkut.
Tianyu sedang tertunduk di atas meja bacanya ketika Lu Xi membuka kotak itu di depan meja rias. Dari tempat duduknya, Tianyu hanya bisa melihat punggung Lu Xi, tak bisa melihat apa yang sedang dilakukannya. Tapi tentu saja Tianyu tahu gadis itu terluka karena ujung telunjuknya sendiri juga tiba-tiba berdarah.
Tianyu beranjak dari tempat duduknya dan menghambur ke arah Lu Xi, "Kau tidak apa-apa?"
Lu Xi spontan tersentak dan terperangah. Menatap Tianyu dengan melengak.
Tianyu merenggut tangan Lu Xi dan memeriksa telunjuknya.
"Aku tidak apa-apa!" tukas Lu Xi cepat-cepat seraya menarik tangannya. "Hanya luka kecil!"
Tianyu menatap kotak di depan Lu Xi dan tertegun, lalu berteriak panik memanggil pengawal kembarnya, "Shi Yi, Shi Mo!"
Lu Xi sampai terperanjat.
Kedua pengawal kembar itu menghambur ke dalam ruangan dan membungkuk dengan hormat tentara.
"Panggil tabib kemari!" titah Tianyu.
"Baik!" Kedua pengawal itu membungkuk lagi, kemudian bergegas meninggalkan ruangan.
Lu Xi menatap Tianyu dengan mata dan mulut membulat. "Aku hanya tergores kulit kayu," katanya. "Apa perlu sampai memanggil tabib?"
Tianyu merenggut kotak hadiah itu dan membantingnya ke lantai.
Lu Xi terlonjak dan tergagap-gagap.
Bersamaan dengan itu, setetes darah merembes dari lubang hidung mereka.
Keduanya tersentak dan saling menatap cemas.
"Kau kenapa?" Lu Xi melompat dari tempat duduknya dan menghambur ke arah Tianyu. Terkejut mendapati hidung Tianyu tiba-tiba berdarah.
Tianyu memalingkan wajahnya cepat-cepat, "Aku tak apa-apa," katanya. Kemudian mengulurkan saputangan ke arah Lu Xi tanpa menoleh.
Lu Xi menatap saputangan itu dengan dahi berkerut-kerut, lalu terperangah menyadari hidungnya juga berdarah. Ia meraih saputangan itu dan membekap hidungnya cepat-cepat. Lalu membeku sembari memandangi punggung Tianyu. Dahinya berkerut-kerut.
Apa yang terjadi? Ia bertanya-tanya dalam hatinya. Mencoba mencerna situasinya. Tapi kepalanya merayang dan tidak bisa diajak berpikir.
Tianyu juga mengernyit dan menggelengkan kepalanya seolah sedang berusaha membangunkan dirinya.
Lu Xi terhuyung dan perlahan mulai roboh.
Tianyu menyergap bahu gadis itu dan menahan tubuhnya. Tapi ia sendiri mulai terhuyung. Ia berusaha mempertahankan kesadarannya, dan membopong tubuh Lu Xi ke tempat tidur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
Andul Lintang
hahahahahaha😂😂😂
2023-09-25
0