Lost way ---19

Sundan berangkat menuju ke kota lain untuk bertugas, Sia melanjutkan proses panjang penyembuhannya. Semua bahu membahu dan saling menguatkan.

"Pak, usaha suamiku sedang sepi, apa bapak tidak akan peduli? Bapak hanya akan memperhatikan menantu bapak yang penyakitan itu terus?" Susi, anak tertua di keluarga itu, protes pagi-pagi.

"Mbak Susi,,, jaga bicaramu." Suci tak pernah bisa akur dengan kakak tertuanya, walau sama-sama perempuan.

"Apa sih, perawan tua ikut campur terus. Jaga itu sahabatmu yang bentar lagi mau mati." kalimat Susi memang selalu menyakitkan.

"Aku bukan perawan tua ya mbak. Aku memang belum ada niat untuk menikah!" Suci kembali menegang. "Dan jangan bicara sembarangan soal Sia!"

"Kalian ini ribut pagi-pagi." sahut ayahnya Suci.

"Apa salahku? Aku cuma bicara yang benar. Bapak juga nggak pernah adil. Selalu memanjakan dua anak lain, sedangkan aku selalu harus yang mengalah."

"Susi!! Cukup, tidak pantas kamu bicara seperti itu, setelah semua yang kamu lakukan pada warisan-warisan ibumu." ujar pak Samir.

"Nah, dasar mbak ini tak tahu malu."

"Suci, kamu juga diam. Jangan menambah kekacauan."

Suasana gaduh dan keributan di pagi hari keluarga Pak Samir, cukup menyita perhatian pak Samir. Bahkan Suni harus keluar karena mendengar keributannya.

"Halo Tante ,Susi?" sapa Suni dengan sopan.

"Dih, dasar cucu penjahat." Bukannya menjawab sapaan anak polos itu, Susi malah mencibirkan bibirnya dengan tatapan jijik pada Suni.

"Ya ampun, mbaaak,,, kamu benar-benar deh." Suci keheranan dengan watak kakaknya. "Suni sayang, kita masuk sarapan aja yuk, biar Tante Susi bicara sama kakek."

.

.

.

Hari berlalu bulan berganti...

Sundan masih harus bekerja diluar kota, dan kondisi Sia masih belum membaik sepenuhnya. Keterlambatan donor adalah penyebab utamanya.

"Nenek, tolong bawakan bekal dobel buat Suni ya." ucap Suni suatu pagi saat akan berangkat ke sekolah.

"Wah, akan ada ekstra lagi kah?" tanya Bu Samsi.

"Iya, nanti pulangnya jam 3 lagi."

"Suni makin gemoy loh, sudah hampir dua Minggu makannya banyak terus," kelakar Suci.

"Ya kan bagus dong tant." ucap Suni sambil membenahi tali sepatunya.

sebenarnya dalam benak Bu Samsi ada sedikit rasa khawatir dengan perubahan Suni. Nafsu makan Suni tiba-tiba melonjak drastis. dimulai dari sarapan yang bisa nambah dua porsi, masih meminta bekal dobel. Tak jarang Bu Samsi mendapati Suni tengah meminum coklat panas dan beberapa camilan di malam hari.

"Suci, apa perlu kita periksakan Suni? ibu agak khawatir dengan kondisinya, berat badannya melonjak drastis selama dua Minggu ini."

"Apa sebaiknya begitu ya? Nanti sore lah Bu, kita ajak Suni ke dokter."

.

.

.

Sementara itu, Sia masih dalam perawatan intensif, tubuhnya yang semakin kurus, wajahnya yang selalu pucat, dan rambutnya yang sudah habis sepenuhnya, membuat setiap mata yang melakukan hat, akan meneteskan air mata. Air mata pilu dan rasa kasihan.

"Tuhan, jika memang aku harus pulang, bawa aku sekarang saja Tuhan, jangan siksa keluargaku seperti ini. Aku pun mulai lelah dengan rasa sakit ini." gumam Tyas dengan pandangan mata kosong dan sangat jauh keluar jendela.

"Aku tidak ingin membuat anakku selalu meneteskan air mata setiap melihat keadaanku sekarang. Aku malu dengan keluarga mertuaku. Ambil saja aku sekarang Tuhan."

Kesedihan dan patah semangat menghantui Sia setiap detik. Apalagi saat ia sendirian seperti sekarang ini. Dari sudut matanya, ia merasa malu melihat suaminya harus pontang-panting bergantian menjaga dirinya, anak-anak dan juga bekerja.

"Sayang,,, " panggil Sia pada suaminya yang sedang sibuk membereskan baju-baju kotor Sia.

"Hmmm? Butuh sesuatu? Sabar ya sayang,,, dokter sedang mengusahakan yang terbaik."

"Aku tidak kuat lagi." Sia menumpahkan lagi air matanya.

"Sssst,,, nggak boleh bicara seperti itu. Yakin dan percayalah, kamu bisa mengalahkan semua ini." ujar Sundan memeluk Sia. "Besok pagi, aku harus balik ke kota sebelah. Kamu nggk boleh menyerah. Oke?"

"Mama..." Suni muncul dari Balik pintu.

"Loh, sama siapa?" sahut Sundan.

"Naik taksi." jawab Singkat Suni. "Mamah jangan khawatir. sedikit lagi, berat badan Suni akan cukup untuk menjadi pendonor. Mamah harus semangat. Suni juga semangat menaikkan berat badan."

Bagaimana gemuruh petir di siang bolong, kalimat polos dari Suni terdengar sangat memilukan dan menyayat hati, menampar begitu banyak perjuangan panjang yang telah mereka lalui.

"Nak, Suni,,,,, apa yang Suni maksud? Kenapa anak papah bicara seperti itu?"

Sundan Jongkong k mendekati Suni yang berdiri di samping ranjang ibunya. Entah apa yang dipikirkan anak itu, di usianya yang masuk h sangat belia, Suni memiliki kebijaksanaan yang luar biasa, tekad dan rasa kasih sayang yang sangat luar biasa.

Terpopuler

Comments

Anyah aatma

Anyah aatma

pak sundan memang bisa di andalkan....

2024-11-18

0

◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ

◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ

jadi ini alasannya 😭

2024-06-20

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!