LOST WAY----18

Rasa khawatir mulai menggelayuti pikiran sepasang suami istri itu. Keduanya terus sibuk menghubungi keluarga, namun tak satupun bisa menerima panggilan mereka.

Beberapa saat kemudian, ponsel sundan berdering. Kedua nya tersenyum lega melihat ke arah layar ponsel Sundan, namun berubah menjadi serius di detik selanjutnya.

"Pak Sundan, bisakah siang ini ke kantor sebentar. Kita mau adakan meeting. Mengenai beberapa hal." ucap seseorang dari seberang panggilan.

"Baik, pak." jawab Sundan singkat bernada kecewa.

"Ada masalah mas?" tanya Sia.

"Tidak. Hanya panggilan untuk meeting di kantor." jawab Sundan lesu.

"Maafkan aku mas, gara-gara aku, pekerjaanmu jadi terbengkalai." Ucap Sia lirih sambil mengatupkan kedua telapak tangan.

"Bukan salahmu, sayang. Kita memang diharuskan mengalami ini. Jadi tolong jangan menyalahkan diri sendiri." senyum Sundan begitu tulus.

"Tapi mas ...."

"Sssssstttt..... Nggak ada tapi. Coba kamu bayangkan, seandainya keadaannya terbalik. Misalkan aku yang sakit. Kira-kira apa yang akan kamu lakukan?"

"Hmmm... Iya juga ya mas." Sia menjawab sembari meringis.

"Makanya jangan mikir hal-hal yang nggk perlu. Kamu fokus saja agar bisa sehat lagi."

"Mamaaaa!!!!"

Tiba-tiba Sean dan Suni muncul dan membuat suasana seketika berubah riuh.

"Kalian ini, kenapa nggk ada yang mau angkat telepon." ujar Sundan menyambut keluarganya.

"Orang sudah diparkiran, kita juga buru-buru naik."Sahut Suci.

"Ya tapi kalian kan harusnya bisa gitu ngasih tahu. Kita kan jadi khawatir." sewot Sundan.

"Papa, jangan marah-marah." ujar Sean menggemaskan.

"Nah, kebetulan sekali kan mas, kamu pas juga dapet panggilan ke kantor." ucap Sia mengingatkan suaminya.

"Betul juga. Kalua begitu, aku siap-siap ya." sahut Sundan.

"Papah mau kemana?" Sean bertanya sambil menggelayuti lengan ayahnya.

"Papah harus ke kantor sebentar, dicari bosnya papah." Sundan mengusap kepala putranya dan mencium keningnya.

"Suni juga kangen papah." Suni pun tak mau kalah untuk mengambil perhatian ayahnya.

Sundan meninggalkan rumah sakit setelah berpamitan seperlunya. Ia ke rumah dulu untuk membersihkan badan, dan mengganti pakaian selayaknya.

.

.

.

Sundan termasuk karyawan berprestasi, rajin dan hampir setiap projek yang dipegangnya selalu mendatangkan profit yang lebih besar dari target minimum yang diharapkan perusahaan.

Tak heran jika ia sering mendapatkan fasilitas-fasilitas dan maklum yang lebih banyak dibanding rekan-rekannya.

"Pak Sundan, ada yang harus anda kerjakan di anak cabang. Kepala bagian membutuhkan bantuan anda." ucap atasan Sundan.

Bukan kabar buruk sebenarnya, namun rasanya sangat berat untuk segera menjawab sanggup atau tak sanggup untuk apa yang disampaikan Pak Bara, atasan Sundan itu.

Sundan berpikir beberapa saat, membayangkan kondisi istrinya yang baru setengah jalan pengobatan. Mengingat anak-anaknya yang pasti sangat mengkhawatirkan sang ibu, dan mengingat wajah-wajah keluarganya yang mungkin mulai kelelahan menggantikannya mengurus anak-anaknya.

Di sisi lain, jika ia harus menolak pekerjaannya, ia tidak tahu bagaimana nanti akan membiayai hidup keluarganya, biaya pengobatan istrinya. Dilema yang luar biasa dirasakan Sundan saat ini. Kepalanya terasa sangat penuh dan jengah.

"Pak Sundan?" Pak Bara menepuk pundak Sundan membuyarkan lamunannya.

Sundan menghela nafas beberapa kali, "Sebenarnya istri saya,,,,"

"Saya tahu kegelisahan Pak Sundan, tapi kami juga membutuhkan anda, perusahaan kita sedang berjalan kurang baik, kami tidak punya pilihan lain kecuali meminta pak Sundan menyelamatkan anak cabang yang saat ini sedang mengalami krisis. Entah kesalahan dimulai dari mana." Pak Bara terlihat sangat putus asa.

"Saya harus mendiskusikan hal ini dengan keluarga saya dulu, Pak. Bolehkah saya melakukannya?" ucap bara melawan kebimbangannya.

"Baiklah, Pak. Kita semua tahu bagaimana situasinya. Sebaiknya segera ya Pak, biar besok pagi bisa segera berangkat. Atau setidaknya maksimal sore, sehingga lusa pak Sundan sudah bisa memulai pekerjaan."

Sebenarnya ada banyak pegawai di perusahaan pusat, namun tidak semua memiliki kemampuan penyelesaian masalah dan penentuan sikap dengan benar dan tepat guna.

Sundan kembali ke rumah sakit dengan perasaan getir, bimbang, ragu dan bingung. Bagaimana caranya ia meminta ijin pada sia dan keluarganya? Yang lebih penting, bagaimana dia bisa tega meninggalkan keluarganya saat ini untuk kondisi seperti ini?

Sundan menepi sejenak di pinggir jalan yang sepi, disandarkannya kepala pada kemudi, menarik nafas beberapa kali, saat itulah ponselnya berdering.

"Halo.."

"Halo pah, adek mau ayam Kentucky, bisa belikan nanti sore?" terdengar suara Sean dari seberang panggilan.

"Oh, iya sayang, ini papah mau balik ke rumah sakit. Papah bawakan sekalian ya."

"Hore,,,,!! terimakasih papah." seru girang putranya membuat Sundan menemukan jawaban harus bagaimana mengambil keputusan.

Sundan kembali melaju ke rumah sakit setelah mampir membelikan pesanan Sean. Langkah dan keputusannya sudah mantap. Semua keragu-raguan dan kebimbangan berhasil ditepis Sundan

.

.

.

Sore hari di rumah sakit, semua masih berkumpul disana.

"Ada yang mau aku sampaikan dari hasil aku dipanggil pak Bara, atasanku tadi." Sundan membuka perbincangan membuat semua yang hadir menatap Sundan dengan wajah serius.

"Ada apa mas?" sahut Sia.

"Aku harus ke anak cabang. Ada masalah di sana, dan aku diminta membereskannya. Tapi,,,,"

"Kenapa Sundan?" si ibu tak sabar mendengar kabar dari Sundan.

"Diminta berangkat secepat mungkin, paling lambat besok siang." ucap Sundan tegas.

Semua terdiam beberapa saat. Sibuk dengan bagaiman harus menyikapi semua peristiwa ini mungkin. Semua datang di saat yang tidak tepat. Seperti itulah kira-kira yang dipikirkan semua orang.

"Ya mau bagaimana lagi, terpaksa kita merepotkan ayah, ibu, dan Suci untuk mengurusku dan anak-anak." ucap Sia kemudian. "Memang sangat berat dan menyedihkan, tapi kita bisa apa, mas. Iya kan?"

"Iya. Jadi terpaksa aku minta bantuan kalian untuk menjaga istri dan anak-anakku. Ijinkan aku mencari rejeki untuk menutup semua pengeluaran." ucap Sundan tertunduk.

"Memang pria harus seperti itu, anakku. Bapak tidak akan menghalangi. Di sini banyak personil. Kamu tak perlu khawatir." kalimat dari ayahnya Sundan sungguh membuat hati Sundan sangat tenang.

"Benar, kerja ya kerja aja lah Mas, kita bisa bagi tugas, toh kalau weekend kamu masih bisa pulang." suci pun menyahut.

Keluarga ini sangat baik dalam hal saling mendukung dan bekerja sama, meski belum tahu akan berapa lama Sundan ditugaskan di anak cabang. Setelah mendapat persetujuan dari semua keluarga, Sundan segera mengurus keberangkatannya besok.

Sementara semua masih dirumah sakit, Sundan pulang terlebih dahulu untuk mempersiapkan apa saja yang harus dia bawa. Biasanya semua dipersiapkan Sia, namun kali ini Sundan harus melakukan semuanya sendiri. Berkali-kali Sundan melihat lagi dan lagi, takut ada yang terlupakan.

Sebagai istri yang baik, Sia tak tinggal diam. Meski hanya melalui panggilan telepon, Sia memandu sang suami untuk mengepak apa saja yang wajib dibawa. Dan bagaimana cara menata agar bisa muat dalam satu koper saja.

"Semua sudah siap." gumam Sundan dengan mata berkaca-kaca.

...****************...

To be continue....

Terpopuler

Comments

◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ

◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ

eh ada Tama 🤭

2024-06-15

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!