with you

Kita kembali ke rumah.

Suci memeluk tubuh mungil Suni dengan perasaan tak karuan. semakin dibenamkan wajahnya dalam pelukan sang gadis mungil. Air mata Suci pun nampak mulai menghiasi sudut-sudut matanya.

Dengan suara lembut dan polosnya, Suni mencoba menenangkan tantenya.

"Tante... Sebenarnya aku selalu marah waktu tante Sasa main ke sini. Tapi Mama selalu melarangku marah." Suni menghela nafas.

"Mama selalu bilang tante Sasa itu baik. Tapi aku tahu dia selalu ingin mengambil papa. Aku tahu kenapa mama selalu sedih."

Suci membenahi wajahnya yang sembab. Dengan luka yang tidak bisa dijelaskan.

Kedua tangannya pun membelai rambut sang ponakan dengan sedikit gemetar. Wajah manis mungil sang ponakan membuatnya semakin merasa sesak yang sangat.

Dikulumnya ludah yang hampir kering. Dipandanginya lekat wajah Suni yang agak cemberut.

"Kenapa Suni tidak pernah cerita ke tante? Suni pasti sangat sedih ya."

"Nggak tahu tante."

Jawaban polos sang ponakan semakin menyakitkan saat Suni menyandarkan wajahnya dalam pelukan Suci.

"Bagaimana anak ini mampu menahannya sendirian. Anak baik yang tidak banyak bicara. Ternyata dia menyimpan banyak luka." gumam Suci dalam hati sambil terus mengelus punggung rapuh ponakannya.

Suci hanya mampu menghela nafas berkali-kali membiarkan Suni menumpahkan semua sakit yang tak mampu tergapai oleh orang dewasa.

"Adik dimana Tant?" Suni memecah keheningan. Seakan anak ini mampu menepis semua kegelisahannya sendiri.

"Sean di rumah Nenek. Kita kesana?"

"Hu-um." jawab Suni dengan wajah yang tidak murung lagi. Namun tatapan mata si gadis cilik ini masih menyiratkan luka yang tak mungkin mudah ditembus begitu saja.

Suni menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

Suci duduk di meja makan. persendian lututnya terasa lemas saat menatap punggung ponakannya itu. Diraihnya air putih yang sedari tadi ada di atas meja makan itu.

Ditenggaknya air putih dengan sangat kacau. Ia berharap air putih akan membawa rasa sesak yang menyumbat tenggorokannya larut bersamanya.

Saat itu lah terdengar suara Sean bernyanyi dengan keras sambil berjalan jingkrak menuju rumah, diikuti sang nenek dibelakangnya.

Suci beranjak menghampiri pintu. Dan membukakannya.

"Tanteee!!!!!" Sean melompat dalam pelukan Suci.

Berbeda dengan Suni yang sering murung, Sean selalu menjadi adik yang ceria. Selalu memecah keheningan dengan suara lucunya yang menggemaskan.

Tatapan matanya pun tampak menyimpan banyak kebahagiaan. Semangat membara dan rasa ingin tahu yang sangat luar biasa.

"Kakak!!!!!" seru Sean sambil melepaskan diri dari pelukan Suci, lalu berlari menuju Suni yang berdiri di depan pintu kamar mandi.

Suni tampak tersenyum lebar menyambut sang adik.

Suci menggigit bibir bawahnya sambil menatap kedua ponakannya yang berpelukan tampak saling menguatkan.

"Kakak,,, apa hadiahnya?" pertanyaan polos Sean yang selalu diulang setiap sang kakak pulang sekolah.

"Kita lihat yok." Suni menggandeng sang adik menuju kamarnya.

Suni memang selalu membelikan adiknya hadiah-hadiah kecil setiap hari.

Uang saku yang diberikan mamanya tidak pernah dihabiskan untuknya sendiri. Ia selalu teringat adik yang sangat disayanginya itu.

Entah hanya sekedar permen sebiji, coklat sebatang, donat, mainan kecil, atau mainan origami yang ia buat sendiri, Suni selalu membelikan adiknya.

Sang adik pun selalu menyambutnya dengan penuh rasa senang tanpa protes.

Hadiah apapun yang dibawakan sang kakak selalu diterimanya dengan rasa senang. Berkali- kali Sean selalu mengucapkan terima kasih pada sang Kakak.

"Makasih kak!! Sean sayaaang kakak!!" Sean memeluk tubuh sang kakak berkali kali dengan oleh-oleh mainan peluit kecil dari Suni di tangan kanannya.

Pemandangan indah yang setiap hari bisa disaksikan di rumah itu.

"Kakak sudah makan?" pertanyaan manis berikutnya yang juga tak pernah Sean lupakan.

"Belom... Kakak barusan pulang. Sean sudah lapar juga?" jawaban bijak Suni membuat siapa pun yang mendengarnya merasakan bangga dan sakit disaat yang bersamaan.

" Kita makan yuk!!!" Ajak Sean.

"Hu-um!!" Suni mengangguk menyetujui ajakan sang adik. Kedua anak itu beranjak dari kamar menuju dapur.

"Sean mau makan Tante." kata Sean menghampiri Tante dan neneknya yang sedang mengobrol kecil di meja makan.

"Bekal Suni masih separuh tante. Aku habisin dulu sama adek." kata Suni sambil membuka bekal yang ia bawa kembali dari sekolah.

Suni mengarahkan adiknya umtuk duduk bersamanya di karpet depan tivi.

"Kenapa nggak habis sayang?" tanya bu Samsi.

"Tadi ada teman Suni yang ulang tahun. Semua dibagi nasi kuning, Nek. Sebagian Suni makan. Sebagian Suni bawa pulang. Biar adek bisa makan juga." jawab Suni datar.

Bu Samsi dan Suci saling menatap tanpa mampu berucap apapun. Keduanya merasakan cekikan lembut di tenggorokan. Tidak sakit namun cukup membuat lidah kelu dan ludah mengering.

Bu Samsi dan Suci memperhatikan kedua anak kecil yang selalu rukun. Suni tak pernah membentak adiknya walau sejahil apapun adiknya. Sebaliknya Sean tak pernah berani membantah sang Kakak saat sang kakak tidak mengijinkannya melakukan sesuatu yang berbahaya.

Sean dan Suni tampak menikmari sisa bekal Suni dan sisa nasi kuning yang didapat Suni dari temannya itu.

Sesekali tampak Suni menyuapi sang adik. Begitu pula sebaliknya.

Saling mengandalkan, saling menyayangi, dan saling melayani. Begitu yang selalu Sia ajarkan pada kedua anak-anaknya.

Dan tampaknya tak sia-sia usaha Sia membesarkan anak-anaknya.

Dengan usia anak-anaknya yang masih sangat muda, mereka sudah menunjukkan semua hal-hal manis yang membuat siapapun yang menyaksikan akan merasa iri dengan kedekatan kedua bersaudara itu.

Suni selalu mengerti bagaimana harus mengalah pada sang adik. Kesabarannya sangat luar biasa untuk anak seusianya.

Sean pun akan langsung menurut saat sang kakak mulai diam dan menghela nafas.

Sungguh paket yang sempurna.

.........

Sementara itu di rumah sakit...

Sia sudah selesai diperiksa secara menyeluruh.

Sia duduk terdiam dengan kening yang sering tiba-tiba mengernyit. Sundan mendampingi dengan setia disamping sang istri.

Sesekali Sundan hanya berani melirik Sia dari sudut matanya. Ia tak berani menatap langsung.

Sundan tampak agak gelisah dan salah tingkah.

Sia masih menatap kosong lurus ke depan. Beberapa kali tampak menghela nafas. Disandarkannya tubuh di sandaran kursi di ruang tunggu depan ruangan dokter.

Beberapa orang tampak berlalu lalang. Namun tak mengalihkan perhatian Sia.

Sundan tak bisa duduk tenang. Ia terus melirik istrinya tanpa berani bertanya atau sekedar menyapa.

"Kita cari minum yok, Mas." Sia tiba-tiba beranjak.

"Haah? Apa? Kamu bilang apa?" Sundan gelagapan tak begitu mendengar suara Sia tadi.

Namun Sia hanya menghela nafas sambil memandang suaminya. Lalu berbalik dan berjalan menuju kafetaria yang terletak di tengah-tengah lobi.

Sundan mengikuti dibelakangnya dengan salah tingkah.

Sia menghentikan langkahnya tiba-tiba. Hampir membuat Sundan menabraknya.

Sia duduk meringkuk memeluk lutut yang ditekuknya ke dada. Dibenamkannya wajahnya dengan kedua tangan memegangi kepala.

"Kenapa Sia? Ada yang sakit?" Sundan jongkok disamping istrinya, dan bertanya lembut penuh rasa khawatir.

Sia tak menjawab. Namun terdengar isak lirih. Sundan semakin bingung. Digertakkan giginya menahan kepiluan.

Sundan merangkul tubuh istrinya yang masih jongkok dengan posisi yg sama.

"Jangan khawatir sayang,,, pasti ada jalan keluar. Kita percaya apa yang nanti dokter katakan. Oke?"

Isak Sia semakin terdengar. Seakan tak peduli dengan orang-orang yang berlalu lalang disana sambil menatapnya dengan bermacam ekspresi.

Ada ekspresi penuh tanya, ada ekspresi melirik julid, ada yang menatap dengan mulut ternganga, ada pula yang membicarakannya dengan teman yang berjalan bersama, dan banyak ekpresi tidak menyenangkan lainnya.

Begitulah kehidupan manusia. Tidak peduli dengan apa yang dilakukan sesamanya. Hanya melihat dari sudut pandang masing-masing.

Jarang ada manusia yang bisa memberikan rasa empati untuk manusia lainnya. mereka hanya senang menilai apa yang terlihat saja. Masih lebih baik jika tidak peduli. Daripada peduli hanya untuk mencari sensasi, menaikkan harga diri bahkan demi popularitas yang sebenarnya kurang begitu berarti.

"Kita duduk di kursi ya... Nggak enak dilihatin banyak orang. Disangkanya aku yang jahat." kalimat Sundan lembut terucapkan. Namun malah membuat Sia semakin terisak.

Sundan semakin bingung harus bagaimana menenangkan istrinya. Ia hanya mengangguk sambil meringis, seakan meminta orang lewat agar memaklumi istrinya.

Namun yang didapatkan hanya tatapan tajam ejekan yang sangat tidak menyenangkan.

Sundan berusaha lagi membawa Sia menepi.

Kali ini Sia mengikuti arahan suaminya. Namun masih dengan kepala tertunduk.

Sundan memapah Sia duduk dikursi. Sundan jongkok didepannya. Merapikan wajah istrinya yang berlinangan air mata dan rambut panjang yang berantakan.

Sundan tak mampu mengatakan apapun. Ia hanya memandangi wajah istrinya sambil terus menghela air mata Sia.

"Anak-anak Mas...." kalimat sia tertekan. Air mata semakin deras.

"Percayalah... Tuhan tidak akan membiarkan anak-anak baik itu kehilangan ibu yang sangat mencintai mereka. Kamu harus kuat dan terus bersemangat untuk sembuh. Kami selalu mencintaimu juga. Jangan merasa sendirian lagi ya...." kalimat Sundan kali ini tampak mampu membuat Sia merasa terobati sesaat.

Sundan mengelus perlahan kedua pipi Sia yang semakin tirus, dengan mata terus berkaca-kaca.

Sundan terhenyak saat melihat aliran darah segar dari hidung sang istri. Disekanya, namun semakin mengalir perlahan.

Sundan pun panik.

"Sayang... Kamu mimisan lagi. Agak mendongak ya... Naik kepunggungku..."

Dengan sigap Sundan menggendong Sia dipunggungnya. Setengah berlari Sundan menuju ke ruang dokter.

Panik bercampur takut dibumbui rasa khawatir membuat Sundan tak peduli dengan orang-orang yang menatap penuh tanya.

Dipercepatnya langkah. Melewati orang-orang yang sudah mengantri sejak tadi.

Sakit setengah mati Sundan rasakan saat itu.... Tajam menusuk ulu hati.

"Tuhan.... Tak bisakah sakitnya Kau berikan saja padaku? Aku pasti lebih mampu menanganinya. Tuhan selamatkan tubuh mungilnya. Akan kulakukan apapun untuknya. Selamatkan dia Tuhan... Dia hidupku. Bagaimana akan kulanjutkan jika dia kau ambil."

Doa-doa indah berkumandang dalam benak Sundan saat itu.

Namun Sia semakin lemah. Tangan yang tadinya mampu berpegangan pada pundak Sundan, tampak terkulai lemas ke samping.....

...****************...

To be continue.....

Terpopuler

Comments

◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ

◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ

Suni msh kecil tp pikirannya dipaksa untuk dewasa 😔

2024-04-28

0

Shinta Ohi (ig: @shinta ohi)

Shinta Ohi (ig: @shinta ohi)

waduh sia, yg kuat

2023-10-21

0

Kroos ♥️ Modric

Kroos ♥️ Modric

semangat up nya thor

2023-10-15

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!