Hujan

Malam itu empat orang menatap ke arah langit, membayangkan apa yang mereka anggap luka dan bahagia.

"Mikirin apa Kia?" Nuah bertanya sedikit curiga saat melihat senyum aneh di wajah Kia.

"Mikirin Jungkook, aku pengen jadi istrinya." Sontak Wulan dan Nuah tertawa terbahak bahak mendengar ucapan polos Kia.

"Jungkook?" Sofie tersenyum menutup mulutnya, melihat gelak tawa teman temannya Kia juga ikut tertawa, memang sedikit ngakak bila di pikir ulang, Kia kembali menatap langit yang cerah.

Malam itu berakhir dengan tawa dan bahagia jam 10 malam Wulan pergi bekerja dan menitipkan puteranya pada Sofie. Wulan bekerja di sebuah pom bensin sif malam jadi dia selalu bekerja dari jam 10 malam hingga pukul 7 pagi, dan siang dia biasanya menjaga anaknya sembari tidur juga membuatnya bisa memperhatikan pertumbuhan putranya yang menjadi semangatnya saat itu.

Satu minggu berlalu, Nuah akhirnya mengikuti SBMPTN Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negri. 2 minggu kemudian Nuah mendapat panggilan wawancara dan lulus dengan nilai yang cukup baik.

Siang itu hujan gerimis menerjang daerah kostan Nuah, dan Nuah sendiri kini berjalan di atas trotoar menuju ke kostannya. Mata Nuah menyipit saat melihat sosok pria tengah menggerutu kesal menendang ban mobilnya.

"Kenapa Kak?" Tanya Nuah dengan mata penuh penasaran, pria itu menatap ke arah belakangnya hingga empat bola mata itu bertatap cukup lama.

"Hujan." Nuah memayungi pria di hadapannya yang tubuhnya lebih tinggi dari tinggi badannya.

"Kenapa?" Ulang Nuah kembali bertanya seraya menatap ke arah ban mobil di belakang pria itu.

"Ban bocor, udah gak bawa ban cadangan. Hujan lah pula." Pria itu menjawab, sedangkan Nuah mengangguk faham.

"Telpon bengkel biar di benerin." Nuah memberikan usulan seraya memperhatikan ban mobil yang sudah amblas tak berangin sama sekali.

"Baterai ponselnya habis." Jawab pria tersebut menghela nafas berat. Nuah ber oh saja mengerti kesulitan pria itu, Nuah merasa dia pernah bertemu pria itu namun dia juga lupa kapan dia bertemu dengan sosok itu sebelumnya.

"Mau kemana emang kakaknya?" Nuah merasa prihatin dengan sosok pria tampan itu.

"Saya mau pulang, tadi baru selesai melihat pembangunan kontruksi gedung itu." Pria itu menunjuk ke salah satu bangunan besar yang menjulang tinggi.

"Oh, ponselnya kalo mau carger dulu saja di kostan aku. Nanti kalo udah ke isi baterai ponselnya kakak bisa hubungi bengkel yang kakak kenal, gimana?" Nuah merasa bila pria itu tidak berbahaya dan memang dalam kondisi sangat kesulitan.

"Baiklah, maaf merepotkan kalo begitu. Kamu ini, namanya siapa? Udah tiga kali ketemu belum tau namanya?" Pria itu menggaruk tengkuknya yang tiba tiba terasa gatal.

"Aku Nuah, tiga kali?" Nuah mengangkat alisnya menyerahkan payung di tangannya agar di pegang pria yang memang tinggi badannya lebih tinggi darinya.

"Aku biasa di panggil Mamat, oh gak inget ya? Pas di terminal itu loh? Terus pas di teras mushola juga." Mamat berusaha mengingatkan Nuah.

Nuah mengangguk, dia baru ingat akan kejadian itu dan langsung meneliksik wajah Mamat yang saat itu baru tersiram air hujan dan kemejanya sudah basah.

"Nah itu kostan aku, ayo masuk." Nuah melangkah menuju pintu kostannya perlahan dia membuka pintu kamarnya dan kini memperlihatkan sebuah kostan sederhana yang cukup rapi.

"Aku basah, mendingan nunggu di luar aja." Mamat untuk pertama kalinya merasa gugup dalam sejarah hidupnya, dan lebih parah lagi saat ini dia gugup karena hendak memasuki kamar perempuan.

"Gak papa, coba masuk aja. Nih pakek baju ini dulu aja kayanya cukup deh." Nuah mengangkat sebuah kemeja putih dari dalam lemarinya serta sebuah celana bahan berwarna hitam yang mengkilat tersetrika dengan rapi.

"Itu baju Almarhum Papa ku, aku suka bawa ini kemanapun aku pergi sebgai jimat keberuntungan." Nuah menyerahkan kemeja itu dan menaruh sebuah sandal di depan pintu mempersilahkan Mamat untuk masuk.

Nuah juga membuka sebuah pintu di sudut ruangan yang tak lain adalah pintu kamar mandi agar Mamat tidak merasa kikuk dan ragu masuk ke dalam kamarnya.

"Assalammualaikum." Mamat membaca salam saat kaki kananya menginjak sendal dan tubuhnya memasuki ruangan yang kini terasa jauh lebih hangat itu.

"Mana ponselnya biar aku carger dulu." Nuah meminta ponsel Mamat yang dengan cepat Mamat menyerahkan ponselnya, Nuah sedikit tertegun sejenak melihat merek ponsel tersebut yang bahkan bisa membeli mobil mewah harganya.

"Saya ganti baju dulu kalo gitu." Mamat berjalan menuju kamar mandi dan menutup pintu, di dalam kamar mandi itu tersedia perlengkapan yang cukup tertata rapi, meski kecil namun masih bisa di katakan nyaman di tambah tempat itu juga cukup bersih.

Di luar kamar mandi, Nuah kini memasak air dan membakar sebuah jahe merah, dia juga memotong gula aren dan memasukkannya ke dalam air yang mendidih, setelah jahe itu matang Nuah menggeprek dan memasukkannya ke dalam panci dimana air yang mendidih sudah berubah berwarna aren kecoklatan, Nuah menghirup aroma jahe merah yang kini memanjakan hidungnya dan mematikan kompor di ruangan dapur sederhana kostan tersebut.

Mamat keluar kamar mandi mengenakan kemeja putih yang kekecilan bahkan beberapa kancing di dadanya tidak muat untuk di kancingkan otot otot di tubuhnya kini terukir dengan jelas membuat Nuah yang melihatnya hampir saja muntah darah dengan pemandangan seestetic itu.

'Gila, ni orang keren banget.' Batin Nuah berucap seraya merasakan udara di sekitarnya tiba tiba berubah menjadi partikel partikel kecil yang mengunci Nuah dan Mamat dalam ruangan itu.

"Lagi buat apa?" Mamat mendekat ke arah Nuah dan melihat dua cangkir air jahe sudah berada di atas meja kecil di dekat ranjang.

"Duduknya di atas aja di bawah dingin." Nuah memberikan intruksi saat Mamat hendak duduk di atas lantai.

Mamat menurut dan duduk di atas kasur, kesan pertama yang di rasakan oleh Mamat adalah hangat dan juga empuk. Sangat jauh berbeda dari gambaran anak kost pada umumnya, kostan itu juga terbilang sangat kecil namun Nuah berhasil menyulapnya menjadi tempat yang sangat nyaman dan hangat untuk di tinggali.

"Masih kuliah?" Mamat bertanya saat melihat beberapa pelajaran tertempel di mading tepat di depan meja belajar Nuah.

"Iya, aku baru masuk tahun ini. Tapi aku cukup bersemangat untuk meraih harapan tertunda dan mimpi ini." Nuah menjawab mengikuti tatapan Mamat yang melihat sekitar meja belajarnya.

"Jurusan kedokteran?" Mamat kembali bertanya dengan sedikit ragu.

"Iya, Kenapa?" Mamat menghela nafas berat, dia sudah mendengar sebelumnya bila Nuah mengatakan bila ayahnya sudah Almarhum yang artinya saat ini Nuah bergantung pada orang lain.

"Di kuliahkan oleh departeman atau beasiswa?" Nuah kini jelas merasa dirinya sedang di interogasi oleh Mamat.

Ilustrasi Mamat

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!