Polisi itu sebelumnya telah membawa para pria berjas hitam ke kantornya. Saat berada di kantor, dia membawa salah satu dari mereka yang terlihat lebih kuat dari yang lainnya.
Dia menginterogasi orang tersebut, walaupun ini hanya perkelahian biasa, namun tindakan mereka yang memakai sajam sebagai senjata tidak bisa ditoleransi.
Saat sedang diinterogasi, pria itu selalu diam dan menatap tajam ke arah si polisi. Dan itu terus berlangsung selama puluhan menit, hingga berakhir ketika pintu ruangan interogasi terbuka secara paksa.
Di sana terlihat sesosok pria yang berusia sekitar 35 tahun-an masuk kedalam dengan wajah seram. Dan pria itu adalah ketua Polisi yang ada di sini.
Saat polisi yang sedang menginterogasi itu merasa bahagia dengan kedatangannya, tiba-tiba saja ketua Polisi yang sangat dia hormati itu berlutut di hadapan pria yang sedang diinterogasi?
Melihat keanehan di di depannya, polisi itu berwajah bingung, dia hendak untuk bertanya kepada ketuanya, namun tiba-tiba sebuah tamparan melayang ke arah pipi nya dengan keras hingga membuat salah satu gigi nya menjadi goyang.
Dia terkejut dengan perlakuan ketua kepadanya, dan pada saat hendak bertanya, tiba-tiba saja pria tua itu berteriak dan memintanya untuk pergi ke ruangannya secara pribadi.
Tak bisa berkata-kata, dia memilih untuk mengiyakan dan langsung pergi dari ruang interogasi meninggalkan ketuanya dengan preman itu.
Dan pada saat berada di ruangan si ketua, polisi itu akhirnya mengetahui bahwa preman tersebut merupakan anggota dari salah satu organisasi Mafia yang ada di negara. Namanya Black Eyes.
Walaupun bisa dibilang memiliki kekuatan yang besar di negara, Black Eyes selalu menutup diri dari publik. Namun, jika mereka keluar, maka orang yang berada di balik kelompok itu sedang marah kepada suatu individu.
Dan karena dirinya telah menangkap serta menginterogasi salah satu anggota Black Eyes, pangkatnya langsung dicabut dan dia dikeluarkan dari kepolisian secara sepihak.
***
Mendengar cerita itu, Robin merasa sedikit prihatin, dia hendak untuk menghiburnya, namun saat ini dirinya juga berada dalam situasi yang cukup berbahaya.
"Jadi ini alasan mengapa wajahmu terlihat tak memiliki kehidupan?" tanya Robin dengan suara yang tenang.
Pria itu mendongak, kemudian tersenyum kecut dan kembali meminum minumannya dengan perlahan, "Jika memang terlihat seperti itu, maka saya benar-benar mengenaskan…" pria itu kembali meletakkan gelasnya di atas meja.
"Ya, itu cukup mengejutkan … Aku merasa seperti sudah melakukan sesuatu yang berbahaya. Tapi, semuanya telah terjadi, maka yang perlu kulakukan adalah mempersiapkan segalanya agar tidak terjadi apapun pada keluargaku…" Robin berkata sambil menatap langit malam yang gelap.
Pria itu memandangi Robin dengan tatapan yang rumit. Kemudian saat dirinya hendak membuka suara, Robin dengan cepat menyela sambil bangkit dari kursi.
"Terimakasih atas informasi yang kau berikan, sekarang aku perlu kembali kepada keluargaku sebelum suasana hati mereka menjadi buruk." Robin menatap kearah pria itu. "Dan maaf karena telah membuatmu di pecat dari pekerjaanmu…"
Pria itu tampak terbelalak ketika mendengar ucapan Robin. Setelah terdiam beberapa detik, dia tersenyum, kemudian bangkit dari kursinya dan menjulurkan tangan kepada Robin.
"Saya sangat mengagumimu, bolehkah kita berkenalan? Rasanya tidak menyenangkan jika saya tidak mengetahui orang yang begitu hebat seperti Anda…" pria itu telah kembali menemukan cahaya bagi kehidupan yang kosong.
Robin terdiam, kemudian menyambut uluran tangan tersebut dan menggoyangkannya, "Kau pria yang aneh…" ucap Robin sebelumnya, "Aku Robin, kau bisa memanggilku seperti itu…"
"Saya Aron Pratama, senang berkenalan dengan Anda!" Timpal Aron tersenyum.
Setelah mereka selesai berjabat tangan, Aron merogoh sakunya dan mengeluarkan kartu nama untuk kemudian diberikan kepada Robin yang masih berada di depannya.
"Ini kartu nama saya, semoga Anda menerimanya…" ucap Aron merasa canggung.
Setelah terdiam beberapa detik, Robin menerima dan melihat kartu nama tersebut, "Oh… Apakah ini kartu nama ketika kau masih menjabat?" tanya Robin sambil mengangkat alisnya dengan menyunggingkan senyuman.
"Ah… Begitulah…" Aron tampak malu-malu.
Setelah bertukar salam, mereka pun berpisah dengan Aron yang pergi entah kemana menggunakan motornya.
Sementara itu, Robin masuk ke dalam restoran dan duduk kursi yang telah ditempati oleh keluarganya. Kembalinya dia saat itu membuat Vily dan Vino tampak bahagia, namun bukannya bahagia, Robin justru kebingungan dengan perubahan sikap yang ditunjukkan oleh Vino.
Padahal sudah jelas sebelumnya Vino sangat tidak nyaman jika berada di dekat Robin. Tetapi sekarang? Ah lupakan. Lagipula itu merupakan sebuah berkah bagi Robin karena bisa dekat dengan mereka.
"Apa kalian sudah memesan makanan?" tanya Robin setelah duduk di kursi yang sama dengan Xiao Hang dan Haris.
"Belum, Tuan! Kami sedang menunggu Anda sejak tadi…" jawab Vily dengan gelengan kepala, mewakilkan mereka yang tidak berani untuk mengatakan hal itu.
"Hmm…" Robin tampak merasa bersalah dengan mereka, "Ya sudah, kalian cepatlah pesan semua yang kalian inginkan! Aku akan mengikuti pesanan kalian…"
Mendengar itu, tampak wajah kedua bocah itu menjadi cerah. Kebetulan saat ini mereka sudah lapar dan tidak sabar untuk memakan makanan mewah yang ada.
Namun, kebahagiaan mereka merupakan sebuah keresahan bagi Haris yang sedang menahan diri untuk mendisiplinkan kedua adiknya. Dia merasa bahwa sangat tidak pantas bagi seorang pelayan berperilaku seperti itu di hadapan Tuannya.
"...?" Robin menyadari sikap Haris yang tampak berbeda, dia melirik kebawah dan melihat tangan Haris sedang mengepal dengan bergetar.
'Dia masih memiliki pemikiran seperti itu? Kenapa?' Robin bertanya pada dirinya sendiri dengan kebingungan.
Dia sangat ingat jelas bahwa sudah berkali-kali dirinya mengatakan kepada Haris bawah mereka sudah dianggap sebagai keluarga baginya. Tetapi kenapa?
Ketika Robin sedang memikirkan itu, tiba-tiba datang seorang wanita yang merupakan waiter dengan mata yang tajam menatap mereka.
"Nah, gitu dong! Kalian aku perhatikan seperti gelandangan yang numpang untuk duduk! Akhirnya berniat untuk memesan makanan juga, ya?" ucap pelayan wanita itu mencibir.
Mendengarnya, tampak ekspresi Robin menjadi gelap. Dia juga melihat ekspresi Vily dan Vino tampak berubah menjadi suram, mereka seperti mengiyakan cibiran dari pelayan wanita itu.
"Kalian?" Robin merasa bingung dengan mereka.
Memang, Robin paham apa yang sedang terjadi, namun dia tidak menyangka bahwa adik-adik mereka akan menanggapinya dengan serius.
"Ha? Apa kalian tidak jadi memesan?" tanya wanita itu dengan alis yang terangkat, "Cih, gelandangan tetaplah gelandangan…" Wanita itu menatap jijik kearah mereka kemudian hendak untuk berbalik dan pergi.
Paling tidak sebelum Robin menggebrak meja dihadapannya dengan keras sehingga menimbulkan suara yang mengundang tatapan orang sekitar.
Itu juga membuat pelayan wanita tersebut berhenti dan menoleh kebelakang dengan raut wajah kekesalan. Dia tampaknya hendak untuk berbicara omong kosong lagi. Namun itu tidak akan terjadi jika Robin sudah mencapai kemarahannya.
"Kau…" Robin bersuara rendah, kemudian menatap wanita itu dengan dingin, "Kau telah melewati batas, dasar jalng sialan!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
Abdul Muntholib Suwarto
lanjutkan
2023-09-21
1