Waktu menipis

Di malam harinya, Robin dengan malas-malasan berdiam diri di kamarnya sambil menatap langit-langit dengan penuh pikiran.

Dia sedang memikirkan rencana yang dapat membuatnya diusir dalam kurun waktu yang cepat, mengingat sekarang durasi misi sudah semakin menipis dan tersisa satu hari satu malam.

"Astaga, banyak rencana di kepalaku, namun semuanya berpotensi untuk berakhir mati! Sungguh, harus bagaimana aku sekarang!?" Robin kesal sambil terus bertanya-tanya kepada dirinya sendiri.

Dia bangkit dari tidurnya, dan mulai kembali memikirkan sebuah rencana yang tidak terlalu berpotensi membuatnya dalam bahaya. Mengingat keluarga Anton memiliki bekingan yang menakutkan.

Tapi, tak lama setelah itu, sebuah rencana sederhana tiba-tiba terbesit dalam benaknya yang perlahan mulai mengukir senyuman di wajahnya.

"Ya... Kenapa aku tidak melakukan itu saja?" Robin tersenyum kemenangan, kemudian membaringkan kembali tubuhnya ke atas matras.

Dengan kekhawatiran yang telah hilang, akhirnya Robin dapat tertidur dengan cepat dan nyaman, walaupun hanya beralaskan sebuah matras keras yang sebenarnya kurang cocok untuk dijadikan sebagai tempat tidur.

***

Pada saat pagi sudah datang, Robin tampak masih berada di kamarnya. Namun kali ini tidak ada yang mengganggu istirahatnya, mengingat hari ini Sintia dan Anton sedang pergi ke sebuah pertemuan para pengusaha di negara Solvenia.

Dan jika bertanya kemana Tania, itu sudah jelas dia tidak berani lagi untuk mengganggu Robin karena rahasia besarnya sudah terbongkar. Hanya membutuhkan beberapa Minggu baginya untuk kembali memiliki keberanian kepada Robin.

Namun hal itu bukanlah masalah, toh hari ini Robin sudah berencana untuk pergi dari mansion. Tentu saja pergi secara tidak terhormat dan memalukan.

Hingga beberapa saat kemudian, terdengar sebuah ketukan lembut yang dilanjut oleh suara seseorang dengan nada rendah. Hal itu langsung membuat Robin terbangun dan bergegas untuk membuka pintunya.

"Bibi? Apa yang terjadi?" tanya Robin setelah membuka pintu dan melihat Sainah sedang berdiri dengan khawatir.

"T-tidak, hanya saja Bibi khawatir dengan kondisimu karena..." Sainah tampak menggantung kalimatnya dengan ekspresi gelisah.

Robin mengerutkan keningnya ketika melihat Sainah, segera dia menuntun Sainah untuk masuk ke dalam, kemudian kembali menutup pintu secara perlahan.

"Apa yang terjadi, Bi? Apakah ada sesuatu yang berbahaya atau mungkin sebuah ancaman? Jelaskan perlahan kepadaku..." Ucap Robin sambil mengelus punggung Bibinya itu.

Sainah awalnya masih ragu untuk menjelaskan situasinya, namun dengan beberapa bujukan dari Robin itu pada akhirnya membuat Sainah mau tak mau harus menjelaskannya.

"Jadi gini, Robin. Sebelumnya Bibi sedang sapu-sapu di halaman, kebetulan masih pagi juga. Tapi, secara tak sengaja Bibi melihat Tania yang tak pergi ke kampus itu sedang mengobrol dengan orang yang mencurigakan. Tak hanya satu, tapi ada beberapa orang dengan tubuh tinggi besar sedang mengobrol serius dengan Tania..."

Sainah menjelaskan sambil terus mencoba untuk menenangkan diri. Walaupun dengan penjelasan seperti itu, Robin dapat menyimpulkan sesuatu yang berbahaya akan segera terjadi.

Namun, setelah jeda singkat tersebut, Sainah kembali melanjutkan penjelasannya, "Dan, entah mengapa Bibi dapat mendengar beberapa hal yang mereka bicarakan, walaupun saat itu Bibi sedang berjarak beberapa meter dari mereka. Di pembicaraan itu, samar-samar Bibi mendengar nama kamu serta kata 'mati' yang langsung buat Bibi ketakutan..."

Mendengarnya kembali, dugaan Robin semakin menguat. Namun, dia hanya menanggapi dengan senyuman lembut dan berkata, "Tidak masalah, Bi. Bibi tidak perlu khawatir dengan masalah itu, karena sebentar lagi aku akan selamat dari semuanya!"

Ucapan Robin berhasil memenangkan kegelisahan Sainah, namun ucapannya itu juga membuat Sainah sedikit kebingungan. Dengan terpaksa Sainah tersenyum dan mengangguk kecil, walaupun saat ini perasaan gelisah nya belum sepenuhnya hilang.

Setelah Sainah kembali bekerja, Robin yang masih berada di kamarnya hanya bisa merenung dengan seksama. Dan kemudian bangkit untuk mulai melakukan rencananya dengan cepat, sebelum semuanya benar-benar terlambat.

"Akan berbahaya jika terlalu lama menunda!" Ucapnya kemudian pergi keluar dari kamarnya.

***

Ketika malam hari tiba, seluruh anggota keluarga Anton telah pulang dan kini mereka sedang bersiap untuk makan malam. Namun, sebelum melakukan itu, sempat terjadi kericuhan yang masih belum berakhir hingga saat ini.

"Apa kau yakin tidak lupa meletakkannya dimana?" Tanya Soni kepada Tania yang sedang berwajah ketakutan.

"Aku yakin, itu benar-benar tidak kubawa kemana-mana dan hanya disimpan di laci lemari selama ini!" balas Tania sangat percaya diri dengan apa yang dia katakan barusan.

"Jika memang seperti itu, lalu kenapa sekarang tidak ada? Ayolah, barang sekecil itu mungkin terselip diantara barang-barang mu yang lain!" Ucap Soni kembali membuat asumsi.

"Awalnya aku berpikir seperti itu juga, tetapi memang tidak ada di sana! Aku sangat yakin sebelumnya aku menyimpan cincin di dalam laci, tapi sekarang anehnya menghilang! Astaga, bagaimana ini?" Tania tampak sangat gelisah sambil terus membuka tasnya.

Setelah pulang dari acara pesta bersama teman-temannya beserta dengan pasangannya. Tania yang saat itu pulangnya diantarkan oleh tunangannya tiba-tiba dikejutkan oleh pertanyaan mengenai keberadaan cincin tunangan yang sejak mulai berkencan tidak melihatnya terpasang di jari manis Tania.

Sontak Tania membelalakkan matanya, dan secara spontan merogoh isi tasnya yang kenyataannya sejak awal dia tidak membawa cincin tersebut.

Kemudian setelah menghabiskan banyak waktu untuk mencari cincinnya itu, Tania menyerah dan menjawab pertanyaan tunangannya dengan berkata, "Mungkin aku lupa untuk memasangnya kembali ketika selesai mandi... Maafkan aku..."

Itu bohong, selama ini Tania jarang atau bahkan hampir tidak pernah kembali memakai cincinnya itu, kecuali ketika disaat berkencan dengan tunangannya tersebut.

Namun sialnya hari ini dia lupa untuk memakainya kembali, dan berakhir dengan kepanikan yang tak berujung hingga akhirnya dia telah sampai ke rumahnya.

Dengan panik dia langsung pergi ke kamarnya dan mencari kembali keberadaan cincinnya itu. Namun semua usahanya tidak menghasilkan hasil, bahkan setelah beberapa kali mencarinya di segala penjuru ruangan.

"Apa kau yakin? Atau mungkin cincin mu itu tidak hilang, tapi..." Soni mulai mengerutkan keningnya.

"Apa...?" Tania tampak kebingungan, namun kemudian wajahnya mulai berubah menjadi menyeramkan, "Atau mungkin cincinku dicuri oleh si sampah itu!?"

"Awalnya aku berpikir demikian, namun bukankah lebih baik kita mengecek cctv yang berada di lorong sebelum kamarmu? Dengan begitu kita dapat memastikannya..." Usul Soni kemudian disetujui oleh Tania.

Dikarenakan hal ini sangat bersifat pribadi, kedua orang tuanya masih belum mengetahui fakta bahwa cincin tunangan miliknya telah hilang. Karena jika mereka tahu, entah apa yang akan terjadi selanjutnya.

Setelah berada di ruangan cctv, Soni meminta security yang menjaga ruangan itu untuk memundurkan video ke beberapa jam yang lalu, yang mana saat itu semua orang sedang tidak ada di rumah.

Karena mereka mengira si pencuri pasti akan melakukan aksinya ketika situasi sedang sepi.

"Ah, itu dia!" Ucap Tania sambil menunjuk ke salah satu layar yang sedang menampilkan sesosok pria dengan hoodie hitam menutupi wajahnya.

"Dia?" Soni tampak mengerutkan keningnya ketika melihat sosok tersebut.

Terpopuler

Comments

Edi Sudrajat

Edi Sudrajat

p

2023-09-17

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!