"Apa maksudmu, Nge?" tanya Abian dengan raut wajah serius.
Gleg.
Inge menelan ludahnya dengan bersusah payah. Dia merutuki kebodohannya karena harus keceplosan. Inge tak mungkin bilang kalau Abian hanya salah dengar karena hal tersebut malah akan membuat Abian semakin curiga.
Wanita yang mengaku sebagai calon istri Abian itu memutar otak agar bisa mengkelabuhi Abian.
"Nge!" panggil Abian. Dia tidak sabar menunggu penjelasan dari calon tunangannya tersebut.
Inge menarik napas kemudian menghembuskannya perlahan. Dia melakukan itu beberapa kali. Setelah itu dia menatap wajah Abian dengan tatapan sendu.
"Iya, Mas. Kamu dan Zahira sudah menikah," ucap Inge.
Abian mengusap wajahnya frustasi. Jika dia dan Zahira sudah menikah, kenapa Inge dan mamanya sengaja tidak mengatakan apapun? Mereka bahkan menganggap Zahira sebagai pembantu.
Inge menunduk sedih. Air matanya tiba-tiba mengalir dari sudut mata dan itu membuat Abian tampak bingung.
"Sebenarnya Mas Abian kecelakaan pas mau menceraikan Zahira," jawab Inge. Dia terpaksa berbohong karena tidak mungkin ia menarik kata-katanya sendiri. Dia harus bisa meyakinkan Abian bahwa sebelum Abian kecelakaan dan kehilangan sebagian ingatannya, laki-laki itu sudah berencana menceraikan Zahira.
"Maksudmu?" Abian tambah bingung.
"Mas Abian menikahi Zahira karena terpaksa. Wanita kampungan itu menjebak Mas Abian, dia berpura-pura tidur dengan Mas Abian waktu Mas Abian mabuk. Karena merasa bertanggung jawab, Mas menikahinya. Tapi... baru-baru ini Mas menemukan bukti bahwa Zahira ternyata malam itu bukan Mas Abian yang tidur dengan Zahira, tapi laki-laki lain. Makanya Mas Abian mau menceraikan Zahira. Tapi sayang, dalam perjalanan Mas mengalami kecelakaan dan kehilangan ingatan. Aku dan Tante Devi memang sengaja memanfaatkan situasi itu untuk menjauhkan Mas Abian dari wanita licik itu. Sayangnya wanita itu lebih licik, dia tetap nggak mau ngelepasin Mas Abian," jelas Inge panjang lebar dengan cerita karangannya sendiri. Inge berharap kalau Abian akan mempercayai cerita halunya tersebut.
"Maafin aku ya, Mas. Karena aku, tante, dan Armand sudah berbohong sama kamu soal status Zahira. Kami cuma mau Zahira nggak memanfaatkan keadaan kamu sekarang ini. Maafin aku ya, Mas!" pinta Inge dengan air mata buayanya.
Abian mengangguk.
"Makaaih, Mas," ucap Inge. Dia lalu meraih tangan Abian dan menggenggamnya. "Mas, kamu masih dengan rencana kamu kan? Akan menceraikan Zahira demi aku?"
Abian masih bingung. Meski menurut Inge, pernikahannya dengan Zahira karena terpaksa. Tapi, menceraikan Zahira dalam kondisinya yang kehilangan sebagian ingatan juga tidak baik. Abian takut akan menyesal nantinya.
"Maafin aku, Nge. Untuk bercerai dalam keadaan ingatanku yang belum sepenuhnya pulih, aku nggak bisa," jawab Abian.
"Tapi, Mas. Kamu kan udah janji sama aku," rengek Inge. Dia harus bisa meyakinkan Abian untuk menceraikan Zahira secepatnya.
"Nge, maaf. Aku tidak bisa menceraikan Zahira dalam keadaan ingatanku yang belum kembali. Aku takut menyesal nantinya. Maafin aku ya." Kini malah Abian yang meminta maaf karena belum bisa menuruti keinginan Inge.
"Tapi, mas.... "
"Aku mohon jangan paksa aku membuat keputusan penting saat ini. Kamu bisa ngerti kan?" potong Abian.
Inge mengepalkan tangannya diam-diam. Dia menyesali dirinya yang keceplosn. "Baiklah, aku nggak akan memaksamu bercerai sekarang. Tapi, kamu harus janji sama aku untuk tetap menganggap Zahira sebagai pembantu. Jangan sampai dia tahu kalau Mas sudah tahu bahwa dia adalah istrimu. Takutnya, dia tiba-tiba meminta haknya sebagai istri dan menyuruhmu meninggalkan aku. Padahal, kamu tahu sendiri kalau kita sudah saling mencintai bahkan sebelum kamu dan Zahira menikah. Andai pernikahan paksa itu nggak terjadi, kita pasti udah nikah sekarang. Ya, Mas?" pinta Inge.
Abian masih diam.
"Mas? Seenggaknya, jika kamu masih berpura-pura tidak tahu bahwa Zahira adalah istrimu, kamu bisa sekalian membuktikan ucapanku kalau Zahira itu wanita licik yang hanya ingin menguasai hartamu. Itu alasan kenapa kamu mau menceraikannya dulu," tambah Inge. Dia harus bisa meyakinkan Abian.
Abian masih diam. Dia bingung, apa ia harus mempercayai ucapan Inge tentang Zahira? Tapi, jika dengan merahasiakannya dia bisa memperoleh jawaban tentang Zahira bukankah tidak ada salahnya?
"Mas Abian," rengek Inge yang kembali menyandarkan kepala di dada Abian.
Abian kembali menghela napasnya. "Baiklah. Aku akan berpura-pura kalau aku belum tahu tentang status pernikahan itu." Abian akhirnya menyetujui permintaan Inge.
"Makasih ya, Mas," ucap Inge sambil memeluk Abian.
Setelah mengetahui bahwa dia telah beristri membuat Abian canggung untuk membalas pelukan dari Inge. Karena menurutnya, apa pun hal yang membuatnya menikah dengan Zahira dulu, kenyataannya dia adalah laki-laki beristri yang tidak seharusnya bermesraan dengan wanita lain.
"Nge, tolong lepaskan pelukanmu!" pinta Abian.
Inge mendongak menatap wajah tampan Abian. "Kenapa? Biasanya juga kayak gini?" tanyanya.
"Aku harus menyetir, kalau posisimu seperti ini akan susah buatku menyetir," jawab Abian. Dia berusaha memberikan alasan yang masuk akal agar Inge tidak berpikir macam-macam.
"Maaf ya, Mas. Ku kira setelah tahu bahwa kamu sudah menikah dengan cewek licik itu kamu berusaha menjaga jarak."
"Nggak mungkin lah, aku kan mencintai kamu, Nge."
"Ya udah deh pelukannya disambung nanti aja. Sekarang kamu lanjut lagi aja nyetirnya!" seru Inge. Dia cukup senang karena semua masih dalam kendalinya.
Abian kembali melajukan mobilnya. Pikirannya mulai semrawut. Jujur saja dalam hati kecilnya dia merasa kalau Zahira bukan wanita yang seperti Inge katakan. Abian berusaha menggali ingatannya tentang sosok Zahira. Namun, hasilnya nihil. Kepalanya justru berdenyut nyeri ketika ia mencoba terus melakukannya.
"Egh." Abian memegangi kepalanya.
"Ada apa, Mas?" tanya Inge khawatir. "Kamu pusing lagi? Mau berhenti sebentar?"
Abian menggeleng. "Hanya pusing sedikit. Tidak apa-apa. Nanti begitu sampai di rumah biar aku istirahat," jawab Abian.
"Jadi, kita nggak jadi makan di luar?" tanya Inge.
"Maaf, Nge. Tapi, aku benar-benar butuh istirahat."
"Ya sudah deh terserah kamu, Mas."
"Nggak apa-apakan kalau kita makan di rumah?" Abian memastikan.
"Iya, Nggak apa-apa," jawab Inge. Dia terpaksa harus membatalkan keinginannya makan malam di luar.
Abian kembali fokus dengan jalanan di depannya. Dalam hati dia berkata akan mencari tahu tentang sosok Zahira yang sebenarnya.
Akhirnya mobil yang Abian kendarai tiba juga di halaman rumah. Dia turun terlebih dulu diikuti Inge. Abian menyuruh pekerjanya untuk membawa mobil tersebut ke garasi.
Tidak lama, taksi yang membawa Zahira juga sampai. Abian yang sedang berjalan pun berhenti dan spontan melihat ke arah taksi itu dan melihat Zahira yang baru saja turun. Wanita berhijab itu sepertinya mengucapkan terima kasih kepada Sang Driver yang membawanya. Setelah taksi itu pergi, dia pun kemudian melangkah menuju ke dalam rumah.
Zahira menghentikan langkahnya saat mendapati Abian sedang menatap ke arahnya. Zahira tersenyum sambil menganggukkan kepalanya sebagai sapaan.
"Ayo, Mas. Masuk! Inget janji kamu!" ajak Inge. Dia memeluk lengan Abian. Mengajak pria itu masuk ke dalam rumah.
Zahira menghela napasnya. Dia merasa tatapan Abian kali ini berbeda. "Semoga ingatan kamu cepat balik, Mas. Aku sangat merindukan sosokmu," gumamnya sambil menatap punggung Abian yang mulai menjauh dan hilang di balik pintu.
Zahira memilih masuk ke dalam rumah melalui pintu samping karena pintu itu lebih dekat dengan kamarnya yang berada di dapur.
"Bik Darsih, nggak ada makanan ya?" tanya Zahira ketika tidak melihat makanan di lemari. Biasanya setelah seisi rumah selesai makan malam, sisa makanan akan ditaruh di dalam lemari untuk dimakan oleh para Art dan pekerja lainnya. Namun, kali ini tidak ada apapun di sana.
"Wah, Mbak, saya kira Mbak Hira sudah makan di kantor. Makanya makanan itu saya berikan sama Mang Kosim buat dibawa pulang. Mumpung Nyonya Devi nggak keberatan. Biasanya kan dia selalu menyuruh kita membuang makanan itu. Katanya nggak rela kalau makanan itu dimakan sama orang nggak berkelas kayak kita," jawab Bik Darsih. "Maaf ya, Mbak." Bik Darsih merasa sangat bersalah.
"Ya udah deh. Nanti aku masak nasi goreng aja. Kalau nasi masih ada kan, Bik?"
"Ada, Mbak. Di kulkas juga ada telur kalau Mbak Hira mau," jawab Bik Darsih.
"Kalau gitu aku mau ganti baju terus bikin nasi goreng. Bik Darsih mau juga nggak?" Zahira menawari.
"Wah, kalau ditawari. Tentu saja saya nggak nolak, Mbak. Apalagi nasi goreng buatan Mbak Hira enak. Dulu Den Abian juga sangat suka kan?"
Zahira terdiam. Abian memang menyukai nasi goreng telur buatannya. Dia benar-benar sangat merindukan Abian yang dulu.
"Mbak, yang sabar ya. Saya doakan semoga ingatan Den Abian segera kembali. Dan kalian bisa berkumpul lagi seperti sebelumnya." Bik Darsih mengusap pundak Zahira.
"Amin. Mudah-mudahan ya, Bik. Aku sangat merindukan sosok Mas Abian yang dulu. Tapi, aku harus bersabar. Mungkin ini bagian dari ujian cinta kami," jawab Zahira dengan mata berkaca-kaca. "Ya udah, Bik. Aku ganti baju dulu ya."
Zahira masuk ke kamarnya yang berada di dekat kamar mandi.
"Kasihan Mbak Hira. Pasti sedih melihat suami yang justru baik sama wanita lain. Rasanya nggak rela aku lihat Den Abian baik-baikin Mbak Inge. Padahalkan Mbak Inge dulu sudah menghianati Mas Abian." Bik Darsih geleng-geleng kepala.
Wanita yang umurnya lebih dari 45 tahun memutar badan untuk melanjutkan pekerjaannya membersihkan meja makan. Namun dia terkejut ketika mendapati seseorang tengah memberikan tatapan tajam kepadanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
Yuli maelany
selalu aja orang jahat makin jahat...
2023-10-18
1
Hafifah Hafifah
aduh pasti sinenek lampir tuh yg nongol.ku berharapnya siabian yg denger
2023-10-16
1
Eni Istiarsi
ayo Abian,berjuanglah seperti juga Zahira.meski ingatanmu menghilang tapi jangan mudah dipengaruhi.gunakan hatimu
2023-10-16
0