Inge dan Armand menatap bingung ke arah Abian dan Devita ketika mereka melihat Zahira ikut bersama mereka.
"Ma, kok dia ikut?" tanya Armand mewakili isi kepala Inge.
"Tanya sendiri sama Abian! Mama aja bingung dengan keputusannya ini," keluh Devita. Wajahnya masam karena terpaksa harus membawa Zahira.
Devita langsung masuk ke dalam mobil berwarna mewah putih peninggalan ayah Abian yang harga lebih dari 1 milyar itu. Dia memilih duduk di jok paling belakang. Armand dan Inge menyusul, dan yang paling terakhir masuk ke dalam mobil adalah Abian dan Zahira.
Abian duduk di kursi tepat di belakang jok supir, sedangkan Zahira duduk di kursi depan di sebelah supir. Mobil itu pun melaju meninggalkan area parkir rumah sakit.
"Yang, kenapa kamu bawa cewek yang ngaku-ngaku jadi istri kamu sih?" tanya Inge sambil menatap sinis Zahiri melalui pantulan kaca spion yang tergantung di atas dashboard.
"Iya, nih. Memangnya Mas Abian nggak takut kalau dia ngerecokin hidup Mas Abian?" Armand ikut berbicara.
"Aku hanya ingin balas budi dengan kebaikan Bik Ranti. Biar bagaimana pun, dialah adalah orang yang merawatku setelah mama meninggal," jawab Abian.
"Tapi, nggak harus bawa dia juga kali, Mas," protes Armand.
"Bik Ranti mau balik ke kampung, dia tidak tega kalau ninggalin anaknya di kota besar ini sendiri. Apalagi dia perempuan. Seenggaknya kalau Hira bekerja di rumah kita, dia akan lebih aman," jawab Abian memberikan penjelasan.
"Nggak mungkinlah, Bik Ranti pulang kampung," sahut Armand.
"Lho kenapa nggak mungkin? Bik Ranti sudah cukup berumur. Dia bilang ingin menghabiskan masa tuanya di kampung halaman. Sementara Zahira harus menyelesaikan kuliahnya. Jadi, nggak apa-apalah kalau Zahira tinggal di rumah kita sampai dia lulus kuliah," ujar Abian. "Lagian Zahira kan nggak gratis tinggal bareng kita. Dia nggantiin Bik Surti jadi pembantu di rumah."
"Tapi, Mas. Masalahnya Zahira ini punya rumah sendiri. Megah lagi." Kembali Armand menyahut.
"Mand, Mand, kamu nggak usah ngaco deh! Jangan halu! Mana mungkin mereka memiliki rumah di kota ini, mewah lagi. Itu hal yang mustahil. Kecuali Zahira nikah sama orang kaya," balas Abian.
"Tapi, mereka beneran punya rumah mewah, Mas. Kan rumah itu dibelikan oleh Mas Abian." Armand langsung mendapat pelototan dari Devita.
"Barusan kamu bilang apa, Mand? Aku membelikan rumah untuk Zahira? Dalam rangka apa aku beliin Zahira rumah?" Abian mengernyit heran.
"Kamu salah denger, Bian. Maksud Armand orang kaya di kota ini kan banyak. Kenapa harus kita yang memberikan pekerjaan kepada wanita itu," sela Devita. Dia tidak mau kalau Abian akan mencurigai mereka.
"Aku nggak salah denger, Ma. Jelas-jelas Armand tadi bilang kalau Zahira memiliki rumah mewah dan itu dibelikan olehku." Abian sangat yakin kalau pendengarannya masih normal dan hal itulah yang baru saja dia dengar. "Jika benar begitu, pasti ada alasan kenapa aku membelikan Zahira rumah," lanjutnya.
Devita menghembuskan napasnya. "Sudah mama bilang kalau kamu salah dengar. Kalau kamu tidak percaya kamu bisa bertanya sama Zahira soal ini, toh dia ada di sini sekarang." Devita menatap Zahira lewat spion.
"Zahira," lirih Abian. Lewat sorot matanya laki-laki itu meminta Zahira untuk menjelaskan.
"Sebenarnya.... "
Zahira menjeda ucapannya. Dia memikirkan kemungkinan jika ia menjawab dengan iya. Abian pasti akan menanyakan alasan pria itu membelikan rumah untuknya dan jika jawabannya tidak masuk akal. Suaminya itu pasti pasti akan memberikan pertanyaan lanjutan yang kemungkinan bisa memaksanya untuk berpikir keras. Padahal untuk saat ini, dokter tidak menganjurkan Abian melakukanitu.
Abian berusaha menggali ingatannya tentang rumah itu. Namun, justru sakit kepala yang ia dapat. Dan itu membuat Zahira khawatir.
"Mas Abian, kamu tidak apa-apa kan?" tanya Zahira dengan wajah cemas.
"Katakan saja yang sebenarnya, aku ingin tahu!" suruh Abian sambil memegangi kepalanya yang semakin terasa sakit.
"Itu... itu tidak benar, Mas. Mas Armand mungkin cuma salah bicara," jawab Zahira. Dia tidak tega melihat suaminya kesakitan. Zahira hanya berharap semoga perlahan ingatan suaminya itu segera kembali.
"Sungguh?" tanya Abian memastikan.
"Iya, Mas. Sungguh. Jadi, berhenti untuk berpikir keras!" pinta Zahira. Dia tidak tega melihat suaminya menderita.
"Sudah-sudah. Kita bahas yang lain saja. Lagian mau siapa pun Zahira, dia ini sekarang adalah pembantu kita." Sevita sengaja mengalihkan pembicaraan agar Abian tidak lagi mengingat tentang perkataan Armand soal rumah.
Suasana di dalam mobil itu pun berubah hening. Penumpang yang ada di dalamnya hanyut ke dalam pikiran masing-masing.
Akhirnya setelah lebih dari setengah jam perjalanan mobil yang ditumpai Abian dan yang lainnya tiba di depan halaman sebuah rumah mewah. Rumah yang hampir setahun ini jarang dikunjungi oleh Abian dan Zahira. Bukan mereka tak ingin datang berkunjung atau memutus tali silaturahmi, akan tetapi Devitalah yang melarang Abian dan Zahira untuk datang.
Semua penumpangnya tampak keluar dari dalam mobil dan berjalan masuk ke dalam rumah. Pak Ujang menurunkan dua koper dari dalam bagasi. Membawanya masuk ke dalam rumah. Setelah meletakkan koper-koper itu di dekat sofa di ruang tamu. Satu koper milik Zahira dan satu lagi milik Abian. Kedua koper itu dibawakan oleh Bik Lastri semalam.
PAk Ujang segera masuk ke dalam mobil untuk membawa mobil tersebut masuk ke carport.
Semalam Zahira sudah berpesan kepada Bik Lastri untuk menjaga rumahnya selama dia dan Abian berada di rumah Devita. Dia juga meminta Bik Lastri untuk menjaga ibunya.
"Inge antar Abian ke kamarnya ya dan biarkan dia beristirahat!" seru Devita kepada wanita yang ia harapkan menjadi istri Abian itu. Meski Inge sama mata duitannya dengan dirinya, seenggaknya mereka bisa bersama-sama menguasai harta Abian nantinya.
"Baik, Tante," jawab Inge. "Ayo Mas Abi!" Sengaja wanita itu memeluk lengan Abian dan menatap Zahira dengan tatapan mengejek.
"Mau kemana kamu?" cegah Devita saat Zahira hendak mengikuti Abian dan Inge.
"Aku mau membawa koper Mas Abian ke kamar, Ma," jawab Zahira.
"Tidak perlu. Biar Armand yang membawanya."
"Tapi, Ma. Mas Abian sudah beristri dan tidak baik bagi pria beristri berduaan di dalam kamar dengan seorang wanita yang bukan mahramnya," tegas Zahira.
"Itu kalau Abian ingat kalau dia sudah menikah. Sayangnya dia tidak mengingat pernikahannya," sinis Devita. Dia mencengkram bahu istri Abian itu untuk mencegah.
"Armand bawa koper Abian ke kamarnya!" suruh Devita kepada putranya. Dia harus mencegah Zahira datang ke kamar Abian.
"Iya, Ma." Meski malas karena harus membawakan koper kakaknya ke kamar, Armand tetap melakukannya.
"Ma, aku mohon jangan buat suamiku melakukan perbuatan dosa!" Zahira memohon.
"Justru itu yang aku kehendaki. Jika mereka berdua khilaf, saat ingatan Abian itu kembali. Dia tidak akan bisa lagi kembali bersamamu," jawab Devita. Dia menyeringai kemudian memberikan tatapan tajamnya.
Untuk sesaat Zahira terdiam. Lalu beberapa detik kemudian dia membalas tatapan tajam Sang mertua tak kalah tajam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
Yuli maelany
kamu gak boleh lemah ,Abian suami kamu dan kamu istrinya,dan ibu itu juga cuma ibu sambung nya gak apa apa kamu sedikit melawan demi suami mu
2023-09-23
0
DH Puspa Dewi
zahira jgn tunduk sama mak lampir devita
2023-09-22
0
Eni Istiarsi
good job Zahira,jangan menjadi lemah dan tertindas. jangan biarkan kejahatan terus berjaya
2023-09-22
1