Bab 2

"Dari hasil penyelidikan sementara dan diperkuat dengan cctv yang ada di lokasi, kami berkesimpulan kalau kecelakaan yang menimpa Pak Abian bukan kecelakaan biasa," jawab polisi bernama Doni tersebut.

"Maksud Bapak apa ya?" Zahira masih belum mengerti.

"Simpelnya, kecelakaan itu sudah direncanakan," jelas Doni.

"Astaghfirullah haladzim," pekik Zahira. Dia tidak mengira kalau ada orang yang berniat jahat kepada suaminya. "Apa Bapak sudah menemukan orang itu?" Zahira ingin tahu.

"Sayangnya belum. Makanya kami perlu keterangan tambahan dari Anda sekiranya ada orang yang Anda curigai. Saingan bisnis atau musuh suami Anda mungkin," papar Doni.

"Maaf, Pak sebelumnya. Tapi, setahu saya suami saya itu baik kepada siapa pun. Dia tidak pernah berbuat jahat kepada orang. Makanya saya kaget mendengar keterangan dari Pak Doni barusan."

"Mungkin ada teman, kerabat, atau keluarga Pak Abian yang Anda curigai?" Doni bertanya lebih lanjut.

Zahira tampak berpikir. Orang yang selama ini membenci suaminya adalah ibu dan adik tiri dari Abian. "Tidak mungkin mama dan Armand senekat itu. Apalagi beberapa minggu ini mereka selalu bersikap baik terhadap Mas Abian dan aku." Zahira membatin.

"Sepertinya tidak ada, Pak," jawab Zahira akhirnya.

"Kalau begitu mungkin ini persaingan bisnis. Kami akan menyelidikinya lebih lanjut," ujar Doni.

"Terima kasih, Pak. Saya harap pelakunya segera tertangkap," ucap Zahira penuh harap.

Siapa pun itu, pelakunya harus segera ditangkap untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.

"Ya sudah, Bu. Kami permisi." Dua polisi itu pun pergi meninggalkan rumah sakit.

Zahira memasuki ruangan dimana suaminya masih terbaring lemah dengan beberapa alat menempel di tubuh. Zahira sangat tidak tega melihat keadaan suaminya yang seperti ini.

Istri Abian itu lalu sedikit menarik kursi kosong di sebelah brankar ke belakang untuk diduduki. Dia meraih tangan suaminya untuk digenggam.

"Mas, cepat bangun! Aku kangen sama kamu, Mas. Kamu janjikan sebelum pergi kemarin bahwa kamu akan mengajakku jalan-jalan untuk melihat bintang di puncak. Kamu harus memenuhi janjimu itu, Mas. Kamu juga bilang kan, mungkin kalau kita melakukan itu di puncak dengan suasana yang tenang, Abian junior pasti akan bisa secepatnya hadir. Kamu bilang, kamu tidak akan pernah membiarkan aku keluar dari kamar saat di puncak nanti." Zahira terus mengajak suaminya berbicara. Dia berharap semoga Abian bisa mendengar semua celotehnya dan segera bangun.

Ceklek. Pintu perawatan terbuka, seorang wanita paruh baya datang menghampiri Zahira dan memeluknya.

"Yang sabar ya, Nak. Teruslah berdoa agar suamimu cepat sadar."

Wanita itu adalah Ranti, ibu Zahira yang baru saja datang.

"Bu, Mas Abian, Bu," rengek Zahira. Sedari tadi dia berusaha terlihat kuat untuk tidak menangis di depan Sang Suami.

"Iya, Nak. Ibu tahu kamu pasti sedih melihat keadaan suamimu yang seperti ini. Tapi... Ibu yakin kok kalau Abian akan segera bangun. Percaya sama ibu." Ranti mengusap punggung putrinya naik turun.

"Ibu kenapa bisa tahu Mas Abian dirawat di sini?"

"Bik Lastri yang memberitahu ibu. Ibu tahu kamu membutuhkan ibu, makanya ibu langsung ke sini. Apalagi ibu yakin keluarga suamimu itu pasti tidak akan datang. Mereka kan sangat membencimu dan Abian," jawab Ranti.

"Siapa bilang?" tiba-tiba seseorang menyahut dari arah pintu. Dan suara itu tidak asing di telinga Zahira dan juga Ranti.

"Mama, Armand," panggil Zahira saat tahu yang datang adalah ibu tiri dan adik tiri dari suaminya.

Zahira bangun dari tempat duduknya untuk menyalami sang mertua. Tapi, seperti biasa Devita menolaknya mentah-mentah.

"Apa yang terjadi dengan Abian?" tanya Devita ketus.

"Siapa yang memberitahu Mama kalau Mas Abian berada di sini?" bukannya menjawab Zahira balik melemparkan pertanyaan karena setahu dirinya, dia belum menyuruh Bik Lastri untuk mengabari mereka.

"Tadi aku dan Armand ke rumah kalian untuk memberikan undangan perayaan ulang tahun Armand minggu depan. Tapi, orang rumahmu bilang kamu sedang ke rumah sakit karena Abian mengalami kecelakaan," jawab Devita, seperti biasa dengan nada ketus.

"Aku yakin Abian begini pasti gara-gara kamu. Sudah ku bilang kamu itu nggak cocok untuk Abian," omel Devita seperti biasa.

"Maaf, Bu Devi. Yang namanya musibah itu datangnya tak terduga dan itu bukan salah anak saya." Sebagai seorang ibu, Ranti tentu tidak terima anaknya selalu dipojokan dan disalahkan.

"Bukan salah anak kamu gimana? Anak kamu itu pembawa sial. Buktinya sudah dua tahun nikah belum hamil juga," sahut Devita.

"Lho, Bu? Yang namanya hamil itu bukan kuasa manusia. Itu kehendak Gusti Allah."

"Halah. Alasan saja! Harusnya Abian nikah sama keponakanku, pasti dia sudah bisa memiliki anak nggak kayak sekarang."

"Kan keponakan Ibu yang ketahuan selingkuh, masa iya wanita yang sudah selingkuh masih dipertahankan? Aneh Ibu Devi ini." Ranti berdecak sebal.

Devi tak bisa berkata apa pun lagi. Keponakannya itu memang bodoh, sudah jelas dijodohkan dengan Abian yang mapan dan tampan masih saja doyan laki-laki luar.

"Namanya juga khilaf," Devi berusaha membela keponakannya.

"Bu, khilaf itu sekali. Tapi ini? Memangnya saya tidak tahu kalau Inge keponakan ibu itu sudah sering berganti-ganti pasangan?"

"Kamu!"

"Apa?!" Devi memang mantan majikannya, tapi Ranti tidak akan mengalah kalau wanita angkuh itu sudah menjelek-jelekkan putrinya.

"Ibu, Mama, sudah. Kalian tolong berhenti bertengkar! Mas Abian sedang sakit, Bu, Ma," cicit Zahira.

Devita dan Ranti memutar kedua bola matanya.

"Kalau Ibu dan Mama nggak bisa tenang, mending kalian keluar dari ruangan ini karena Mas Abian butuh ketenangan," lanjut Zahira.

Bersamaan dengan itu Abian menggerakkan jemarinya.

"Mas, kamu sudah sadar, Mas," ucap Zahira bahagia.

"Eughh.... " Abian sedikit mengerang sambil perlahan membuka matanya.

"Dimana ini?" tanya Abian sambil memegang kepalanya yang masih terasa berat.

"Alhamdulillah, Mas. Kamu akhirnya sadar." Zahira menangis. Dia bersyukur suaminya akhirnya siuman.

Abian menatap Zahira dengan tatapan aneh.

"Mas, apa yang kamu rasakan? Apa ada yang sakit?" tanya Zahira cemas. Dia kembali menggenggam tangan suaminya.

Zahira tersentak kaget ketika Abian menghempaskan tangannya dengan kasar.

"Mas, ada apa?"

Tidak hanya Zahira yang bingung dengan sikap Abian tersebut. Ranti, Devita, dan Armand juga merasakan hal yang sama.

"Berani sekali anak pembantu sepertimu memegang tanganku!" sentak Abian dengan sorot mata penuh kebencian.

"Mas, aku istrimu. Aku istrimu, Mas. Zahira," ucap Zahira. Dia tidak percaya suaminya akan mengatakan hal yang menyakitkan hati.

"Istriku?" Abian mengulang ucapan Zahira.

"Iya, Mas. Aku istrimu," jawab Zahira lagi. "Lihatlah cincin ini! Cincin ini cincin pernikahan kita, Mas."

Zahira memperlihatkan cincin di jari manisnya dan jari manis Abian. Abian memperhatikan cincin itu dengan seksama.

"Argh! Kepalaku sakit." Abian kembali berteriak sambil memegangi kepalanya.

"Mas... kamu kenapa, Mas? Mas.... " Zahira terlihat panik.

"Nak, tenangkan dirimu! Ibu akan panggilkan dokter." Ranti segera keluar kamar untuk memanggil dokter.

Sementara Abian masih terus berteriak sambil memegangi kepalanya.

Terpopuler

Comments

Yuli maelany

Yuli maelany

duh kasian Abian,tapi apa sebelumnya Abian juga sifatnya kek gitu,kasar sama yang menurut nya gak sederajat.....

2023-09-16

0

Viela

Viela

wah abian abian kok bisa km lupa ingatan

2023-09-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!