Sebelum kembali ke rumah Devita, Zahira mampir ke rumahnya untuk menemui Sang Ibu. Dia menceritakan semua kejadian yang dialaminya seharian ini termasuk kejadian saat ia mengerjai Inge di kafe.
"Ibu senang, Nak. Karena kamu nggak memperlihatkan kelemahan kamu di depan Devi dan Inge. Tapi, ibu harap kamu hati-hati ya. Ibu yakin, mereka pasti merencanakan sesuatu untuk membalasmu," tutur Ranti. Dia mengusap kepala putrinya dengan sayang.
"InSyaa Allah aku bakalan bisa kok menghadapi mereka semua. Aku nggak akan ngebiarkan mereka memanfaatkan komdisi Mas Abian. Ibu bantu Hira dengan doa ya. Doakan juga agar ingatan Mas Abian segera kembali. Jadi, kami bisa tinggal di sini sama-sama bareng Ibu." Zahira menggenggam tangan ibunya.
Ada beberapa doa yang langsung menembus langit dan diijabah oleh Allah subhanahu wata'ala diantaranya ada doa orang tua untuk anaknya. Dan Zahira yakin, dengan doa Sang Ibu usahanya untuk membantu memulihkan ingatan Abian tidak akan sia-sia.
"Tanpa kamu minta pun, ibu pasti selalu mendoakan putri kesayangan ibu ini." Ranti mengecup pucuk kepala putrinya.
"Terima kasih ya, Bu. Maaf, karena untuk sementara waktu mungkin Hira akan jarang ke rumah ini. Soalnya selain sibuk jadi pembantu di rumahnya Mama Devi, Hira juga akan bekerja di kantor Mas Abian," ucap Zahira.
"Ibu tidak masalah soal itu. Tapi, apa kamu tidak capek, Nak? Hm?" Ranti mencemaskan kesehatan putrinya.
"Ini demi Mas Abian juga, Bu. Aku tidak mau Inge atau siapa pun mendapat celah mendekati Mas Abian dan memanfaatkannya. Makanya aku harus melindungi Mas Abian baik di rumah ataupun di tempat kerjanya. Dan insyaa Allah, aku pasti bisa kok," jawab Zahira.
"Baiklah, ibu percaya. Tapi, seandainya kamu lelah beristirahatlah sebentar. Percayalah, apa yang ditakdirkan untukmu pasti akan kembali kepadamu bagaimana pun caranya. Sebaliknya, sekuat apa pun kamu berusaha menggenggamnya dengan erat, jika itu bukan ditakdirkan untuk jadi milikmu. Maka pasti akan lepas juga. Jadi, tugasmu hanya berusaha dan berdoa. Selebihnya kamu serahkan semuanya pada Gusti Allah, ya?" Ranti sedikit memberikan wejangan kepada putrinya.
Setelah mendengar penjelasan dari dokter tentang kondisi Abian beserta dengan kemungkinan-kemungkinannya, Ranti harus bisa menjadi penguat untuk putrinya seandainya ingatan menantunya tersebut selamanya tak kembali.
"Iya, Bu. Hira ngerti," jawab Zahira. "Ya sudah ya, Bu. Hira pamit pulang ke rumah Mama Devi. Ibu baik-baik ya sama Bik Lastri. Jangan lupa makan! Ibu juga harus jaga kesehatan Ibu," pamit Zahira.
"Pasti, Nak."
"Kalau Ibu butuh apa-apa, pakai saja kartu Hira. Soal gaji Bik Lastri, Hira juga udah kirim buat tiga bulan ke depan. Takutnya Hira lupa karena Hira akan mulai sibuk besok," jelas Hira.
"Iya-iya, Sayang. Nggak usah khawatirkan soal ibu."
"Kalau gitu Hira pergi sekarang. Assalammualaikum."
Zahira mencium punggung tangan ibunya dengan takzim.
"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Hati-hati ya, Hira. Telepon ibu kalau butuh sesuatu."
"Iya, Buk. Pasti," jawab Zahira.
Zahira segera pergi dari rumahnya. Dia tidak mau memberi celah kepada Devita untuk mengusir dirinya dari sana.
***
Zahira segera turun dari taksi yang membawanya setelah tiba di depan rumah Devita. Dia menyerahkan selembar uang kertas berwarna merah lalu ia serahkan kedapa Si Supir taksi.
"Wah, Bu. Belum ada kembaliannya soalnya Ibu adalah penumpang pertama saya," ujar Si supir taksi. "Bisa pakai uang pas saja nggak, Bu?"
Zahira mengernyit. Ini sudah sore, masa dia adalah penumpang pertama?
"Saya baru keluar, Bu. Tadi hampir seharian saya di rumah sakit karena istri saya kecelakaan. Kami pendatang dan tidak punya sanak saudara apalagi kerabat di sini. Makanya saya nungguin sampai istri saya tertidur, Bu," jelas Si Supir taksi seolah mengerti dengan isi kepala Zahira.
Zahira bisa mengerti. Nasib ia dan ibunya juga hampir sama dengan si supir itu. Tidak punya saudara apalagi kerabat. Kadua wanita itu saling bersandar satu dengan yang lainnya. Beruntung dia memiliki suami sebaik Abian, meski saat ini ia harus berjuang mengembalikan ingatan suaminya itu.
"Eh, kok saya jadi curhat. Maaf-maaf ya, Bu," sambung Si supir taksi.
Zahira kembali merogoh uang yang ada di dalam atas. Ada sskitar 10 lembar uang berwarna merah dengan gambar presiden. Dia memberikan semua uang itu kepada si supir taksi.
"Terimalah, Pak. Saya cuma ada uang cash segini di dalam tas."
"Maaf, Bu. Saya cerita bukan untuk mendapatkan simpati apalagi untuk mendapatkan uang. Ibu bayar saja sesuai kargo dengan uang pas." Si supir taksi menolak takut dikira memanfaatkan keadaan.
"Tidak apa-apa, Pak. Anggap saja itu rezeki buat istri Bapak."
Si supir taksi itu masih melihat uang di tangan Zahira dengan ragu. Dia memang sedang membutuhkan uang sekarang untuk biaya rumah sakit istrinya, karena orang yang menabrak istrinya kabur entah kemana. Tetapi, ia tidak pernah berniat meminta uang dari penumpangnya.
"Nggak apa-apa, Pak. Ambil saja!" suruh Zahira.
Si supir itu pun akhirnya menerima dengan behagia. Setidaknya bebannya sedikit berkurang berkat uang itu. "Terima kasih, Bu. Semoga kebaikan Ibu dibalas sama Allah berlipat-lipat," ucapnya.
"Amin. Ya sudah, Pak ya. Saya keluar sekarang."
"Iya-iya, Bu, monggo! Sekali lagi matur suwun nggeh, Bu."
Zahira pun keluar dari taksi tersebut dan melenggang masuk ke dalam rumah. Sesampainya di dalam rumah ternyata Devita sudah menunggunya.
"Darimana kamu? Ingat! Kamu itu tinggal di sini sebagai pembantu. Jadi jangan seenaknya saja keluar masuk rumah ini!" tegur Devita.
"Iya-iya, Ma. Aku cuma dari rumah Ibu kok sebentar," jawab Zahira santai. "Ohya, calon pelakor yang mama siapkan udah ke sini belum?"
"Calon pelakor?" Devita menautkan alis.
"Inge," sambung Zahira. "Ku kira dia udah ngadu ke mama soal kejadian di kafe tadi."
"Kejadian apa maksud kamu?" tanya Devita penasaran.
"Sebentar lagi, dia pasti akan ngadu kok sama Mama. Ya udah aku ke kamarku dulu ya, Ma. Permisi."
Zahira tidak menjawab pertanyaan Devita dan langsung menuju ke kamar belakang. Tempat yang kini menjadi kamarnya.
Dan benar dugaan Zahira, tidak lama ibu mertuanya itu mendapat telepon. Ibu tiri Abian itu menyebut nama Inge. Dan dapat dipastikan saat ini Inge pasti sedang mengadu dan entah apa yang diadukannya.
***
Abian baru keluar dari ruang kerjanya sekitar pukul lima sore. Karena tidak ada pekerjaan penting lagi, dia pun memutuskan untuk pulang. Abian yang baru saja keluar dari perusahaannya sudah disambut oleh supir pribadinya di depan lobi.
Abian langsung duduk di jok belakang setelah supirnya tersebut mempersilakannya masuk ke dalam mobil. Setelah itu si supir ikut masuk ke dalam mobil tersebut dan duduk di bangku kemudi. Mobil alpard berwarna putih yang membawa Abian itupun mulai melaju keluar dari area perusahaan. Namun, baru beberapa meter mobil itu meninggalkan area gedung perusahaan, si supir langsung melakikan pengereman mendadak karena ada motor yang tiba-tiba memotong jalannya.
"Woy, hati-hati dong!" teriak si supir kepada pengendara motor yang langsung melesat tanpa mempedulikan teriakannya.
"Maaf, Pak. Barusan ada motor yang tiba-tiba menyeberang," ucap Si Supir sambil menoleh ke belakang ke arah Abian.
"Pak," panggil supir terssbut ketika melihat Abian sedang memegagangi kepalanya. "Pak, Bapak tidak apa-apa?" tanya Si Supir khawatir.
Abian masih dalam posisi yang sama.
"Pak, Pak Abian. Pak," panggil Supir itu.
Abian menatap Si Supir sebentar sebelum akhirnya jatuh pingsan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
Yuli maelany
emang Abian kecelakaan kenapa yaa.....
2023-10-06
1
Uchy Mahmud
semoga ingatan Abian pulih
2023-10-06
2