BAB 10: SEBUAH FAKTA YANG GELAP

Jalan yang tak berujung itu menyesatkan mereka hingga berada jauh dari istana, belum lagi aroma busuk dari bubuk hitam itu menyeruak menemani perjalanan mereka. Masih tidak memiliki ide dimana harus menaruh bubuk hitam itu membuat mereka mau tidak mau harus membawanya bersama. 

Perjalanan terus berlanjut, di bawah gelapnya malam yang hanya di terangi sorot lampu sekitar yang remang-remang, membuat kewaspadaan mereka berada pada tingkat tinggi jikalau tidak ingin mendapatkan bahaya. Meski tidak yakin akan segera menemukan jalan keluar dari sana dan kembali ke istana, mereka terus berjalan tanpa berniat berhenti. 

“Apa kita memiliki sesuatu untuk mengarahkan perjalanan?”, yang Zaleanna maksud adalah benda semacam kompas yang bisa menunjukkan arah mata angin, dengan begitu mereka bisa mengetahui dimana mereka berada dan kemana mereka harus berjalan.

Mereka jelas tidak memilikinya, Zaleanna hanya mengatakan itu secara sembarang, tidak terlalu mengharapkan ada jawaban. Dia cukup frustrasi karena tak kunjung keluar dari tempat itu, dan sudah tidak tahan dengan bau menyengat yang di bawanya.

Mavin yang berjalan di belakangnya, kini menyamakan posisinya di samping Zaleanna, dia mengambil alih paper bag di tangannya itu.

“Biar aku yang bawa”

Sebenarnya Mavin sudah menawarkan diri untuk membawa paper bag itu, yang dia tau bahwa Zaleanna terlihat tidak tahan dengan baunya, lagipula siapa yang akan bertahan lama berada di dekat aroma busuk seperti itu, akan tetapi Zaleanna menolaknya, dia bersikeras membawanya tetap bersamanya dengan alasan bahwa Mavin telah meminjamkan syal merah padanya untuk menutupi bau sedangkan dia sendiri membiarkan mencium aroma busuk itu. Namun kali ini tanpa menunggu responnya, Mavin langsung mengambil paper bag itu di tangannya. 

“Terima kasih”, Zaleanna tersenyum padanya.

Tanpa mereka sadari, mereka sedang di awasi. Setiap pergerakan mereka, tidak luput dari pantauannya. Itu berlangsung sejak mereka berusaha menyingkirkan bubuk hitam itu. 

Malam itu begitu dingin, tetapi tidak ada sedikit pun hembusan angin, terlihat dari bagaimana rerumputan dan pepohonan disana tidak bergerak. Namun itu hanya berlangsung sementara, karena saat ini hembusan angin terseok ke salah satu pohon yang berada di sana, dan membuat daun-daunnya bergerak cepat hingga menimbulkan suara berisik.

Ini tentu aneh, karena hanya pohon itu yang bergerak sedangkan pohon-pohon di sekitarnya diam. Hal itu cukup membuat bulu kuduk Zaleanna berdiri, namun dia tetap tenang, seakan keanehan itu bukan lagi suatu hal yang asing. Dia sudah lebih banyak melihat yang lebih dari itu.

“Apa kamu lelah?”

Zaleanna menatap Mavin di sampingnya, dan menggeleng.

SYUUUUUHH BOOM!!

Keduanya terperanjat, Zaleanna secara refleks mencengkeram lengan Mavin dengan erat.

Mavin mengedarkan pandangannya ke sekitar, mencari-cari sumber suara. Tidak ada yang aneh di sekitarnya selain dari pohon yang terseok angin itu. Bunyi itu cukup besar hingga benar-benar terdengar jelas di telinga, tidak mungkin jika itu berada jauh dari sini. 

“Alea, sepertinya kita harus ke arah sana”, Mavin menunjuk area yang berada di sebelah kanan mereka, karena dia yakin bunyi itu berakhir di arah sana.

Mavin masih merasakan lengannya di peluk Zaleanna, dia diam dan tidak melakukan apapun.

Adapun Zaleanna yang menyadari itu segera menjauhkan tangannya dari sana, dan berdiri dengan benar. Dia malu sekarang, tetapi itu benar bahwa dadanya masih bergemuruh karena bunyi yang begitu besar dan mengejutkan itu.

“Ayo”, final Zaleanna setelah menetralkan perasaannya.

Mereka menyusuri jalan yang cukup lebar, yang di kanan kirinya tidak terlihat pepohonan, hanya ada penerangan lampu yang memiliki sedikit cahaya dari setiap sudut jalan. Zaleanna berpikir itu percuma menaruhnya banyak tiang lampu jika intensitas cahayanya tidak benar-benar menerangi jalanan yang masih remang-remang.

Itu adalah jalan menuju ke sebuah desa yang terletak cukup jauh dari istana namun masih merupakan wilayah di bawah kepemilikan kekuasaan istana.

Dari kejauhan sudah terlihat lampu-lampu petromak yang terlihat kuno. Setelah mereka lebih dekat, itu jelas terlihat rumah-rumah warga yang sederhana yang terbuat dari kayu-kayu dan anyaman bambu, dia bahkan tidak melihat bangunan yang dibangun menggunakan bahan bangunan pada umumnya. Rumah-rumah yang di bangun di atas tanah yang tidak mulus itu, berdiri dengan kokoh, meski terlihat kuno tetapi dia bisa merasakan bahwa para pemiliknya merawat rumah-rumah mereka dengan baik.

Keduanya sudah sampai di gapura yang tidak bertuliskan apapun disana, sepertinya hanya dibangun untuk menjadi penanda bahwa ada kehidupan disana.

“Aku baru tau jika ada desa lain selain penduduk yang bertempat tinggal di bahu istana”, Mavin mengutarakan apa yang baru saja dia ketahui itu.

Zaleanna mengangguk, setuju. Ini juga pertama kalinya dia mengetahuinya.

Mereka masih berdiam diri di depan gapura dan pandangannya menelusuri sekitar. Tidak ada siapa pun yang terlihat selain mereka berdua, jadi mereka ragu-ragu untuk melangkah. 

Sebenarnya mereka tidak mengira jalan yang ditempuh akan mengantarkannya ke tempat ini, mereka hanya bergerak sesuai yang bunyi keras itu terdengar, dan itu menunjukkan ke arah sini.

Dalam keterdiaman mereka pada pikiran masing-masing, sayup-sayup terdengar suara di belakang mereka, itu adalah suara langkah kaki seseorang. 

Seketika Mavin menarik Zaleanna untuk bersembunyi, dan menjauh dari sana.

Mavin tidak memiliki niat lain selain hanya ingin memastikan siapa seseorang itu, karena jika itu membahayakan mungkin dia akan menyelamatkan keduanya.

“Dia datang dan memakan korban lagi”, ujar salah seorang dari mereka dengan wajah lesu.

Siapa yang orang itu maksud ‘dia’, Mavin begitu penasaran tetapi dia cukup bisa menahan diri untuk tidak langsung keluar dari persembunyian dan menghampiri dua orang itu.

“Sepertinya kita harus segera pergi dari tempat ini”

“Aku juga menginginkan hal yang sama, tapi kita bahkan tidak bisa keluar dari sini”

“Yahh, itu benar. Secara tidak langsung kita sudah di jadikan persembahan, hanya tinggal menunggu giliran”, seseorang itu mengatakan dengan nada yang amat lesu dan pasrah.

Mavin dan Zaleanna saling pandang, masing-masing sorot matanya mengeluarkan keterkejutan yang hebat juga kebingungan akan apa yang baru saja mereka dengar.

Persembahan?

Apakah semacam sesuatu yang di lakukan sebagai imbalan untuk kemudian memperoleh apa yang diinginkan, yang terkadang itu dilakukan dengan taruhan nyawa manusia. Praktik tidak bermoral tersebut ternyata masih ada keberadaannya bahkan di dunia yang sudah modern dan serba canggih ini.

Zaleanna dan Mavin terdiam cukup lama.

Dua orang laki-laki paruh baya itu melenggang memasuki rumah mereka masing-masing dan menutup pintu dengan rapat setelahnya. Dan barulah saat itu dua orang yang sedang bersembunyi keluar dari persembunyiannya dengan mengendap-endap.

Sebenarnya ini bukan seperti mereka memiliki niat jahat ataupun akan melakukan pencurian, tetapi karena mereka adalah orang asing, jadi khawatir keberadaannya membuat warga sekitar terkejut atau bahkan tidak terima dengan kedatangan mereka, maka bersembunyi terlebih dahulu adalah salah satu cara untuk menghindari itu. 

“Persembahan untuk apa?”, dalam kebingungan akan rasa penasarannya Zaleanna berpikir dan hanya mengatakan itu dengan sembarang.

Dalam kekalutan itu sepertinya mereka tidak menyadari bahwa bubuk hitam dalam paper bag itu tidak lagi mengeluarkan aroma apapun, seakan bau busuk yang sangat menyengat itu benar-benar telah hilang tanpa meninggalkan sisa. 

Tiba-tiba angin yang berhembus membuat bulu kuduk Zaleanna berdiri, merinding semakin di rasakan saat bunyi sesuatu menyelinap di pendengaran Zaleanna.

Itu adalah suara rintihan yang begitu pilu, terdengar sangat menyayat hati. 

Zaleanna awalnya berpikir mungkin itu suara dari salah satu penduduk disana yang memang sedang menangis di dalam rumahnya, jadi dia segera menghempaskan pemikiran negatif seperti itu. Tetapi ketika rintihan itu kemudian berganti menjadi suara kekehan tawa, sontak membuatnya melebarkan mata. 

“Mavin, apa kamu mendengarnya?”

“Mendengar apa?”, tanya Mavin dengan penasaran.

Rupanya hanya dia yang mendengar suara itu.

Mavin melihat paper bag di tangannya, dan menangkap sesuatu yang baru dia ketahui.

“Bubuk ini sepertinya sudah tidak berbau”

Zaleanna juga turut melihatnya, dengan sedikit enggan namun harus dia lakukan agar dapat memastikan kebenarannya, dia mengendus lebih dekat ke paper bag itu, namun tidak sampai ke dalam, hanya dari tepiannya.

Benar, bubuk itu tidak mengeluarkan bau busuk lagi.

“Bagaimana bisa? Apa di tempat ini memiliki semacam aroma penghalau bau busuk?”, Zaleanna melihat ke sekelilingnya.

Seketika Zaleanna tersadar, ada sesuatu yang tiba-tiba terlintas dalam pikirannya. Cukup aneh mengatakannya tetapi bau itu seketika menghilang saat mereka tidak lagi berada di area tanaman bunga itu berada. Apakah bubuk hitam telah itu terkontaminasi sesuatu?

Banyak pertanyaan mulai menjalar dalam pikirannya tanpa henti. 

Ada terlalu banyak hal yang terjadi secara bersamaan dalam kurun waktu yang cukup cekat, ini membuatnya kesulitan memahaminya dengan segera.

Apakah akan ada perubahan ketika bubuk hitam ini dia keluarkan dan menaburkannya di sudut lahan kosong yang berada di pemukiman itu?

“Mavin, kita buang bubuk hitam itu disini saja”

“Apa kamu yakin?”

Zaleanna dengan mantap mengangguk. 

Dia akan mencoba beberapa kemungkinan-kemungkinan yang mengarah pada sebuah petunjuk. 

Mereka melipir ke tepian pemukiman dekat tanah kosong yang gelap. Namun saat akan mulai menaburkan bubuk hitam itu tiba-tiba seseorang menghentikannya.

“Siapa kalian?!”

Setelah kepergok seperti itu mereka lantas mengurungkan niatnya untuk menaburkan bubuk hitam itu, dan kini tengah menghadap pria paruh baya yang beberapa saat lalu dia temui dalam persembunyiannya.

Mereka menjelaskan bahwa mereka datang dari kota, tetapi tidak sampai menyebutkan identitas, karena masih harus waspada terhadap situasinya. 

Itu adalah saran dari Zaleanna, karena menganggap bahwa jika seseorang sedang berada di suatu tempat baru maka seseorang tersebut akan otomatis turut memiliki identitas baru, pada kehidupannya yang baru di tempat tersebut.

Setidaknya itulah hikmah yang dia petik dari salah satu film favoritnya.

Mereka juga meminta maaf karena telah datang ke tempat itu diam-diam tanpa memberitahukan kedatangannya secara formal terlebih dahulu.

Pria paruh baya itu hanya tersenyum ringan dan mengangguk, memahami. Seseorang akan di maafkan atas ketidaktahuannya, maka pria paruh baya itu menerima kedatangan mereka.

“Jadi kalian tersesat dan berakhir disini?”

Keduanya mengangguk.

“Dalam perjalanan, kami mendengar bunyi keras dari arah sini jadi kami mencoba mengikutinya. Tapi hingga sekarang kami tidak menemukan sumber bunyi itu”

Pria paruh baya itu nampak sedikit terkejut, tetapi kemudian dia kembali pada keadaan tenang.

“Kalian tidak akan bisa menemukannya, itu tidak terlihat. Dia mengambil sesuatu setelah menemukannya kemudian menghilang tanpa meninggalkan jejak”

“Dia? Siapa itu?”, Zaleanna tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya pada apa yang baru saja pria paruh baya itu sebutkan.

“Sihir yang merenggut nyawa”

Keduanya membeku. 

Di istana, Elzilio dan Danzel sedang berusaha menyelinap keluar melalui pintu kecil berukuran persegi yang sempit. Itu terletak di tembok pembatas belakang istana dan area halaman belakang bangunan.

Tubuh keduanya cukup ramping sehingga meskipun awalnya kesulitan tetapi pada akhirnya mereka berhasil keluar dari sana. Tetapi mereka harus merelakan beberapa anggota tubuhnya tergores karena bergesekan langsung dengan tepian keras pintu itu.

“Sial! Ada banyak sekali goresan”, pekik Danzel tidak terima, sambil mengusap-usap tubuhnya yang terlihat kotor karena debu. Mengingat bahwa mereka sangat berjuang untuk keluar dari celah sempit itu.

Elzilio tetap tenang meski dia juga mengalami hal yang sama dengannya, saat ini dia sedang memikirkan strategi untuk menemukan Zaleanna dan Mavin.

Sebenarnya mereka hampir ketahuan oleh penjaga istana, jika saja Danzel tidak mengelabuhinya dan membuatnya lengah mungkin mereka akan tertangkap dan tidak bisa melancarkan aksinya.

“Kita harus ke arah mana? Ini gelap sekali”

Mereka hanya bermodalkan senter kecil di tangannya masing-masing, selain benda itu, mereka tidak membawa media bantuan apapun lagi.

“Alea membawa bunga yang berada di kamar Aurevy bersamanya, tentu saja kita harus ke taman bunga sekarang”

“Kenapa kamu berpikir begitu?"

“Aku tidak yakin, tapi aku pikir dia akan kembali menanam bunga itu disana, melihat kondisi bunga yang terlihat masih baik-baik saja mungkin dia ingin menanamnya kembali. Sudahlah, berhenti bicara. Ikuti saja alurku”

Dugaan Elzilio tepat dan tidak melesat. Zaleanna dan Mavin memang sempat kesana sebelum matahari terbenam, tetapi sekarang mereka berdua sudah tidak lagi berada disana.

Danzel mengikuti Elzilio di belakangnya, karena keadaan gelap dan jalan yang di lalui tidak lebar maka mereka hanya bisa berjalan dalam satu baris ke belakang.

Di kanan kiri mereka adalah tanaman bunga dan rumput-rumput yang cukup tumbuh dengan tinggi, jadi ketika helaian ataupun ujung rumput itu mengenai Danzel, tak jarang membuatnya terperanjat karena mengira sesuatu sedang menempel padanya.

Berkali-kali Elzilio mengatakan untuk jangan berisik dan kalau bisa jangan mengeluarkan suara tetapi Danzel masih melakukannya dengan sembrono.

“Hei, Elzilio. Ayo taruhan”

Elzilio tidak menghiraukannya.

“Jika mereka tidak ada disana, kamu harus menggendongku dalam perjalanan pulang. Jika dugaanmu benar dan mereka berdua ada disana, maka tidak ada hukuman untukku. Aku rasa itu cukup adil”, Danzel tersenyum bangga atas ide liciknya.

“Kenapa tidak ada hukuman untukmu?”, Elzilio bersuara, hanya untuk mengutarakan ketidakadilan yang merugikan dirinya.

“Karena ini adalah ide mu, dan aku harus tersiksa dengan ketakutan ini”, Danzel bergidik ngeri membayangkan sesuatu yang menakutkan. 

“Aku tidak memintamu mengikutiku, bodoh”, Elzilio memberinya tatapan tajam, kemudian setelahnya dia melanjutkan langkahnya.

Hamparan bunga itu begitu tenang dan terlihat cantik ketika siang, tetapi ketika malam tiba maka itu akan berubah menjadi tempat yang cukup memacu adrelanin. Saat semua orang sedang tertidur lelap di atas ranjang empuknya, maka saat itulah waktunya untuk mereka yang tak kasat mata melancarkan aksinya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!