Sejak mereka berada di bangunan tua itu, tidak satu pun dari mereka yang mengunjungi lantai dua. Selain karena tangga yang menghubungkan ke lantai itu terlihat rapuh dan berkarat juga karena energi negatif dari tempat itu terasa lebih mencekam dari lantai satu yang mereka singgahi.
Tanpa gentar, Mavin membawa langkahnya setapak demi setapak menyusuri lantai itu setelah sebelumnya dia berhasil melewati tangga rapuh itu tanpa hambatan. Dia tidak menyangka ternyata tangga itu masih bisa digunakan meski keadaannya terlihat tidak layak pakai. Itu bukan masalah besar baginya, hatinya tergerak untuk pergi ke lantai itu, selain untuk mencari keberadaan Aurevy yang hilang beberapa saat yang lalu tetapi juga karena rasa penasaran yang cukup lama sehingga memunculkan keberanian dalam dirinya untuk pergi kesana.
Begitu kakinya menapaki lantai dua itu, betapa angin di sertai debu terseok kuat ke arahnya yang membuatnya seketika menutup mata dan menghalaunya dengan telapak tangannya.
Mavin terbatuk sebentar, rupanya debu itu berhasil masuk ke dalam rongga tenggorokannya.
Dinyalakannya senter kecil yang berada ditangannya, menyorot sekitar meski tidak mampu menangkap secara keseluruhan. Ditelusurinya seisi ruangan di lantai itu, pandangannya menyapu sekitar. Begitu berantakan, itulah kesan pertamanya melihat ruangan itu.
Mungkin karena bangunan ini adalah bangunan kuno sehingga masih menggunakan cara manual dalam menyambungkan ke setiap lantainya, sebab disana juga terdapat tangga lainnya untuk menyambungkan ke lantai atas. Awalnya dia sempat berpikir bahwa gedung ini hanya memiliki dua lantai, namun ternyata itu telah membuat dugaannya keliru.
Dengan hanya mengandalkan pencahayaan dari balik senternya, dia masuk lebih dalam ke ruangan yang cukup luas itu.
Bagaimana dia harus mencari Aurevy sedangkan tidak ada tanda-tanda yang mengarah ke sana. Dia memikirkan itu sambil tetap melanjutkan langkahnya.
Dia sudah lama menghiraukan bulu kuduknya yang tiba-tiba berdiri saat sebuah tiupan halus menyapu tengkuknya. Di antara yang lain, setelah Ravel, mungkin dia yang paling memiliki sifat pemberani terhadap hal-hal seperti ini.
Dia percaya bahwa kehidupan manusia berdampingan dengan kehidupan yang tak kasat mata, dan itu tidak lantas membuatnya mudah terganggu dengan eksistensi mereka. Dia menyadari bahwa yang perlu dia lakukan adalah cukup mengetahui dan menghargainya. Mungkin karena sudah mengalami banyak hal dalam hidupnya, membuatnya kebal terhadap hal-hal seperti itu.
Tak berselang lama, dia tidak lagi merasakan tiupan ditengkuknya.
Mungkin Zaleanna mengungkap misteri di tempat ini dengan melakukan perjalanan lintas dimensi yang cukup membahayakan, sedangkan dia tidak bisa.
Setelah kejadian guci itu, tentu saja membuatnya sangat merasa bersalah pada teman-temannya. Maka, dia harus melakukan sesuatu untuk menebus rasa bersalah itu.
Di periksanya semua barang-barang yang ada disana, dia bertekad untuk menemukan alat yang bisa menebang pohon tua itu.
Di tempat lain, Danzel dan Elzilio sudah begitu frustrasi karena tidak menemukan keberadaan Aurevy.
Dan entah mengapa Elzilio tiba-tiba menyalahkan Danzel.
“Ini semua salahmu”
Danzel yang tidak terima dengan tuduhan yang tiba-tiba itu tersulut emosi, wajahnya yang frustrasi berubah bingung bercampur marah.
“Jika saja kamu membawanya bersamamu alih-alih meninggalkannya sendirian mungkin ini tidak akan terjadi”
“Kamu pikir aku menginginkan ini terjadi? Apa menurutmu aku orang yang seperti itu? Pikiranmu begitu buruk!”
Danzel begitu kesal padanya, apalagi ketika orang lain telah mempersepsikan salah tentang dirinya. Sungguh, dia tidak menyangka Aurevy akan bertindak demikian. Kini dia sendiri cukup menyesal karena itu.
Danzel mengusak rambutnya kasar, ditatapnya Elzilio di sampingnya yang terlihat diam dengan wajah menegang. Dia mengikuti arah pandangnya yang sedang melihat jauh ke depan.
Di sana ada sebuah danau yang di sekelilingnya terdapat semak belukar. Meski malam, danau itu cukup terlihat dengan jelas keberadaannya walau tanpa penerangan sedikit pun.
Mungkin jika tempat ini masih berfungsi itu akan menjadi spot menarik untuk dikunjungi karena siapa yang akan menolak kesejukan yang dipancarkan dari air. Itulah yang terlihat dalam pandangannya, berbeda dengan apa yang terlihat dalam pandangan Elzilio.
Dalam penglihatannya, itu adalah kumpulan pemakaman orang yang sudah meninggal. Namun disana tidak terdapat batu nisan, hanya gundukan tanah layaknya bentuk makam pada umumnya. Tapi dia yakin bahwa itu adalah sebuah pemakaman, karena apa yang dia lihat setelahnya adalah sesuatu yang membenarkan dugaannya. Berbagai macam makhluk yang sudah tak berbentuk bertengger di setiap gundukan tanah itu.
Seketika bukan hanya bulu kuduknya yang telah lama berdiri dengan ganas, tetapi juga jantungnya yang berpacu dengan sangat hebat.
Itu adalah kali pertamanya dia diperlihatkan hal-hal seperti itu dalam hidupnya, yang tentu saja membuatnya terkejut setengah mati.
Dia mencekal erat tangan Danzel di sampingnya, hingga membuat Danzel meringis menahan sakit.
“Apa yang kamu lakukan?”
“Pergi”, hanya itu kalimat yang sanggup Elzilio ucapkan dengan bergetar.
Mungkin jika dia sedang dalam keadaan yang prima maka kalimat itu akan sedikit lebih panjang menjadi, ‘kita harus segera pergi dari sini’, namun dia benar-benar kaku setelah diperlihatkan hal seperti itu, kaki nya membeku dan bibirnya terasa kelu untuk mengungkapkan kalimat yang akan lebih mudah dimengerti oleh lawan bicaranya itu.
“Elzilio, ada apa denganmu?”, Danzel berusaha bertanya, memastikan keadaan temannya yang bersikap aneh.
Danzel memiliki tingkat kepekaan yang rendah, mungkin saja jika hidupnya tidak banyak becanda dia akan segera memahami situasi di sekitarnya dengan mudah, dan menyelamatkan temannya yang sudah tidak tahan lagi berada di tempat itu.
Setelah mendapat secercah harapan untuk bergerak, langsung saja Elzilio mengambil langkah berlari, meninggalkan Danzel yang masih belum memahami keadaan.
“Hei!”, pekiknya.
Bulu kuduknya seketika berdiri saat setelah Elzilio meninggalkannya, untuk itu Danzel segera berlari menyusulnya.
Zaleanna telah bangun, dia bangkit dari posisi tidurnya. Di lihatnya Ravel yang sedang duduk sedikit berada jauh darinya.
Ravel yang menyadari itu langsung bergerak mendekatinya dan membantunya bersandar dengan perlahan.
Persediaan air minum setiap anggota menipis, dan botol minum untuk Zaleanna telah habis. Akhirnya dia mengeluarkan miliknya yang isinya sudah sangat sedikit. Zaleanna meminumnya namun tidak sampai habis, dia hanya membutuhkan sedikit untuk membasahi tenggorokannya yang terasa kering.
“Kemana yang lain?”, tanyanya begitu tidak melihat keberadaan anggota lainnya.
Ravel bingung menjelaskannya, harus darimana dia memulai ketika semuanya berlalu begitu cepat.
Kebingungannya itu semakin kuat ketika Danzel dan Elzilio baru saja tiba dengan tergopoh-gopoh.
Ravel menangkap kepanikan di wajah mereka.
“Ada apa?”
Elzilio tidak langsung menceritakan semuanya, dia masih terlalu syok dengan kejadian mengerikan itu.
Adapun Danzel memasang wajah tidak terima padanya yang tiba-tiba meninggalkan dirinya.
“Elzilio tiba-tiba berlari meninggalkanku”, Danzel mengusap peluh di dahinya akibat dari kegiatan lari yang cukup membutuhkan banyak waktu.
Elzilio melemparkan tatapan tajam, dia masih kesal pada Danzel, “Kepekaanmu benar-benar rendah, dasar bodoh”
Keduanya hampir kembali terlibat perkelahian jika saja Ravel tidak segera menghentikannya.
“Cukup. Tidak boleh ada yang memulai perkelahian”
Sikap mereka memang terkadang sedikit kekanak-kanakkan, dan itu sering terjadi setiap kali keduanya menyelesaikan perselisihan diantara mereka. Jika yang satu dengan jelas mengutarakan kekesalan akan ketidakterimaan pada sikap yang ditunjukkannya, maka satu lainnya memasang wajah datar seperti tidak tau apa-apa sehingga enggan mengakui kekeliruan yang telah diperbuatnya.
“Sekarang jelaskan, apa yang baru saja terjadi pada kalian?”
“Ravel, aku sudah mengatakannya. Elzilio yang tiba-tiba pergi meninggalkanku”, Danzel membuang muka, perasaannya benar-benar sedang tidak baik.
Ravel beralih menatap Elzilio, menunggu penjelasannya.
Setelah menghela nafas dan menenangkan dirinya, Elzilio akhirnya mengatakannya. Lagipula dia tidak bisa menyembunyikannya dari teman-temannya, “Di samping gedung ini. Disana ada gundukan tanah yang terlihat seperti pemakaman, ada banyak sekali makhluk aneh berdiri diatasnya”
Danzel yang sedang memalingkan wajah sontak beralih menatap Elzilio, tak percaya dengan apa yang dia dengar. Tentu saja apa yang dikatakannya benar-benar sanggup membuatnya terkejut, dan kini bulu kuduknya kembali bangkit namun tidak sampai ganas.
Zaleanna bereaksi pada pernyataan Elzilio, “Di danau?”
Serempak semuanya menatapnya, menyiratkan kebingungan untuk kesekian kalinya khususnya pada Ravel.
“Bagaimana kamu tau?”, Elzilio memastikan.
Zaleanna sedikit menggeser tubuhnya untuk lebih mendekat ke mereka, dia menatap sorot mata teman-temannya satu persatu.
“Aku tidak berniat untuk menakuti”, dia memberi jeda sebentar, “Tapi, itu persis seperti apa yang aku lihat saat melakukan perjalanan lintas dimensi”
Mereka berdua menunggu lanjutan kalimatnya.
“Ada banyak orang telah terbunuh, kemudian di buang kesana”
Ravel, Elzilio, Danzel : “...”
Tiba-tiba dentuman hebat menusuk ke dalam semua pendengaran mereka.
Mereka melihat ke sumber suara.
Tangga yang sudah rapuh dan berkarat itu... hancur!
Kepanikan mereka melebur bersama ketakutan, menjadi degupan sangat hebat di jantung mereka.
Bagaimana mungkin itu bisa tiba-tiba hancur, sedangkan Mavin masih ada di atas sana.
Ravel berteriak, “Mavin!”
Saat ini hanya Ravel yang tau itu, dia melihatnya sendiri Mavin pergi ke atas melalui tangga itu. Adapun tiga temannya belum menyadarinya jika saja dia tidak kembali berteriak lebih keras untuk memberitahunya.
“Mavin ada di atas sana!”
Jelas sudah kepanikan semakin menjalar di ruangan itu.
Aurevy masih belum ditemukan, kini Mavin juga sedang dalam bahaya. Bagaimana bisa mereka masih bisa kuat melewati situasi kacau seperti ini.
Semua orang begitu berarti, anggotanya begitu berharga, mereka tidak boleh terluka!
Dengan gencar mereka berpencar tak tentu arah, mencari keberadaan sesuatu yang bisa membawa mereka untuk naik ke lantai atas.
Hanya Zaleanna yang masih tinggal ditempat. Bukan tanpa alasan, melainkan dia sedang berusaha menemukan kejanggalan dan menyambungkannya dengan keadaan yang sedang terjadi.
Dia tau bahwa dalam situasi seperti ini setidaknya harus ada seseorang yang tetap dalam keadaan tenang dan tidak panik berlebihan yang hanya akan membawanya pada keputusan yang tidak tepat. Dia memiliki cara tersendiri untuk menemukan solusinya.
Berhasil menemukannya.
Zaleanna bergegas berlari ke danau itu.
Di sana dia menemukan tali berukuran besar yang sudah kotor dan berdebu. Itu sudah tidak layak pakai tetapi sepertinya masih bisa digunakan.
Benda itu tidak begitu saja dia temukan dengan mudah, melainkan seperti yang sudah dia katakan sebelumnya, tentang perjalanan lintas dimensi untuk kedua kalinya. Tali itu pernah digunakan beberapa orang untuk menjerat monster akar pohon, di belakang panggung teater. Dan entah seperti apa kelanjutannya, tali itu berakhir di danau yang digunakan tempat penampungan mayat-mayat yang telah terbunuh.
Kaki hingga lututnya telah basah dan sedikit berlumuran lumpur karena harus turun ke dalam danau itu, tetapi dia tidak menghiraukannya. Menyelamatkan teman-temannya adalah hal yang lebih penting dari itu.
Zaleanna kembali menemui teman-temannya, dan mereka berusaha membuat tali itu terpasang ke atas agar seseorang bisa memanjatnya.
Dimulai dengan Danzel yang pertama kali berusaha memanjat tembok disana sambil berpegangan pada celah-celah maupun kayu yang bisa menahan tubuhnya. Zaleanna dan Ravel bekerja keras mengikat tali pada sesuatu yang bisa menjadi penyangga, karena tali itu berserat tak sedikit membuat luka kecil di kulit telapak tangan mereka. Adapun Elzilio sedang bersiap untuk memanjat menyusul Danzel yang sudah setengah jalan.
Di tengah aksi yang cukup heroik itu, sebuah suara menginterupsi aktivitas mereka.
“Kalian sedang apa?”
Mavin terlihat berjalan ke arah mereka, dengan postur yang tenang. Ditangannya ada beberapa perkakas yang berhasil dia temukan di lantas atas itu.
Seketika mereka menghentikan aktivitasnya, dan terpaku di tempat masing-masing.
“Mavin? Bagaimana bisa?”, tanya Ravel tidak percaya.
Tiga lainnya juga terlihat sama terkejutnya.
Sontak pandangan mereka berempat tertuju pada keberadaan tangga itu.
Jika ada hal yang lebih bingung dari soal-soal ujian yang tidak bisa dimengerti dan meski sudah berkali-kali dikerjakan namun tidak mendapatkan jawaban yang tepat, maka hal itu adalah tentang kejadian yang saat ini mereka berempat alami.
Jelas-jelas sebelumnya tangga itu telah hancur di depan mata mereka, bagaimana bisa sekarang itu terlihat masih berdiri disana dengan kokoh!
“Ada apa? Kalian membuatku takut”, Mavin sedikit terkekeh melihat teman-temannya yang seperti telah menyaksikan hal paling menakjubkan sekaligus menakutkan dalam hidupnya.
“Bersiaplah, kita akan segera menebang pohon itu”, dia berjalan ke area yang mereka gunakan untuk beristirahat.
Mavin masih belum mengetahui keanehan yang terjadi.
Melupakan kejadian aneh itu, kini mereka sedang bersama-sama merakit peralatan yang sekiranya mampu untuk mematahkan sesuatu.
Rencananya setelah mengerjakan itu mereka akan kembali mencari Aurevy. Setelah apa yang telah terjadi kepada masing-masing mereka saat melakukan pencarian Aurevy akhirnya mereka memutuskan untuk pergi bersama-sama. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kejadian-kejadian yang tidak diinginkan, seperti sebelum-sebelumnya.
Di tengah-tengah pengerjaan yang hanya di dominasi oleh suara benturan dari barang-barang yang sedang mereka kerjakan, Aurevy kembali.
“Bukankah kalian mencari ini”
Sontak suara itu membuat yang lainnya mengalihkan perhatian mereka.
Aurevy telah kembali, dengan sebuah gergaji di tangannya.
Danzel langsung menghampirinya, “Hey, bagaimana bisa kamu pergi begitu saja padahal aku telah memintamu untuk menunggu. Haah, kamu mengkhawatirkan kami saja”
“Danzel, dia baru kembali. Biarkan dia duduk dulu”
Ravel menghampiri Aurevy dan membawanya untuk berkumpul bersama mereka.
“Kemana kamu pergi begitu lama?”, Ravel mengambil gergaji ditangannya dan meletakannya di lantai.
Zaleanna memperhatikan Aurevy lekat-lekat, dia mencoba memastikan penglihatannya. Saat Aurevy menatapnya balik seketika Zaleanna langsung memalingkan wajahnya. Dia segera menghempaskan pikiran-pikiran aneh yang baru saja terlintas dalam benaknya.
Kini pandangannya tertuju pada gergaji itu, yang terlihat cukup kuno.
“Dimana kamu menemukan benda itu?”, tanyanya penasaran.
Aurevy tidak menjawab, tatapannya datar dan wajahnya pucat.
“Alea, sepertinya tidak begitu penting menanyakan asal dari benda itu. Dengan Aurevy yang membawanya kemari itu artinya benda itu ada di suatu sudut tempat ini”, Ravel mengatakan itu dengan penuh pengertian, dia terpaksa mengatakan itu karena melihat Aurevy yang sepertinya tidak ingin terlibat banyak percakapan mengingat bahwa dia baru saja kembali setelah cukup lama menghilang.
Itulah yang ingin aku ketahui – batinnya.
Yah, dia pikir itu tidak ada gunanya juga. Zaleanna memilih beranjak dari duduknya, mencari sedikit kesegaran ditempat yang pengap ini.
Dia kembali berbalik melihat Aurevy, hanya untuk sekali lagi memastikan penglihatannya. Zaleanna menghela nafas dan kembali membawa langkahnya, dan itu membawanya ke sudut dimana guci itu diletakkan.
Dalam benaknya dia masih bertanya kegunaan guci itu. Meski selain guci itu ada juga benda-benda lainnya di sekitar mereka akan tetapi hanya guci itu yang berhasil menarik perhatiannya. Di dalamnya tidak ada energi apapun meski dia sudah mencoba melakukan mediasi ataupun penerawangan, lalu untuk apa sebenarnya guci itu?
Dia meletakkannya kembali saat setelah Ravel mengatakan bahwa mereka telah siap dengan semua peralatan dan akan segera menebang pohon tua itu.
Mavin menghampiri Zaleanna, “Alea, bagaimana kita harus melakukannya?”
Pada umumnya, menebang pohon cukup dengan membuat gergaji itu menyala dan setelahnya bisa digunakan untuk memotong batang pohon. Akan tetapi karena ini berbeda dengan kegiatan penebangan pohon biasa maka mereka membutuhkan arahannya untuk melakukan misi itu. Mengingat bahwa Alea telah melakukan banyak hal, yang tidak sembarang orang bisa lakukan.
Zaleanna masih mengingat bagaimana monster itu kesakitan setelah bagian dari tubuhnya, yaitu akarnya, patah.
“Kita harus menghancurkan akarnya”, jelas Zaleanna mantap.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Vicki-ying
Mesti dibaca ulang!
2023-09-10
0