Kampung Dedemit

Tampak langit berwarna jingga di sore itu karena menurut perkiraan Roro waktu itu hampir Maghrib. Dengan perasaan yang berdebar-debar dan merinding Roro Prameswari terpaksa melanjutkan perjalanan menuju pulang. Satu langkah lagi dia akan sampai di jalan raya kata bapak yang bertopi blangkon yang berada di pasar aneh beberapa menit yang lalu.

Roro terus berjalan menyusuri jalan setapak dengan arah lurus dan kini akhirnya, Roro sudah berjalan sampai mentok. Benar saja, dia melihat kayu papan yang ada tanda panah yang terbuat dari bambu. Saat sampai mentok, Roro bergegas belok ke arah kanan sesuai dengan instruksi bapak tadi.

Sontak, Roro terkejut bukan kepalang bukannya jalan raya yang dia lihat. Dia kembali lagi pada arah semula yakni di tengah-tengah keramaian pasar. Kini, Roro kebingungan. Dan saat itu dia mulai mengawasi para orang-orang yang berada di pasar tersebut. Dan Roro terperanjat lagi.

'Ya Tuhan, orang-orang yang berada di pasar tersebut orang nya sama persis dari yang tadi. Terlihat penjual itu memberikan dagangan kepada pembeli dan mengulang secara berulang-ulang. Haduh, jangan-jangan ini pasar Dedemit,' Roro bergumam sendiri dalam hatinya.

Dia tidak menyangka bahwa dusun ini dihuni oleh bukan orang seperti biasanya. Dia menduga ini adalah dusun para Dedemit. Roro memikirkan cara agar bisa keluar dari pasar misterius ini. Namun, dia bingung harus ke mana.

Tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya dari belakang. Sontak, Roro menoleh seseorang yang menoleh tadi. Terlihat bapak-bapak sedang membawa rumput hijau dan memakai kaos oblong dan celana hitam dan berpostur tinggi. Dia berkata,

"Mbaknya ngapain di sini?" tanya bapak-bapak yang berumur sekitar 40 tahun tersebut.

"Oh. Bapak manusia atau bukan? Saya sedang tersesat Pak. Tolong, antar saya pulang di dusun Suka Tani sana. Tolong Pak. Saya takut sekali."

Roro menangis dan memohon kepada bapak itu untuk mengantarnya pulang karena dia telah tersesat di dusun yang aneh dan terlihat mengejutkan.

"Saya manusia Mbak. Saya biasa lewat di sini untuk pulang karena saya habis mencari pakan sapi dan harus mengambil rumput di desa sebrang ini. Saya terpaksa lewat sini tapi tidak apa-apa. Sebelum petang, sebaiknya Mbak harus pulang. Arah kita berlawanan, jadi sulit untuk pulang bareng. Jika Mbaknya baik dan tidak neko-neko, jalan saja lurus mentok nanti belok kiri. Ada papan kayu bertanda panah, nah, di situ arah menuju Dusun Suka Tani. Dan ini bernama Dusun Suka Makmur."

Bapak tersebut menjelaskan arah pulang menuju dusun yang di tempati Roro Prameswari. Terlihat dari gerak-geriknya bapak itu memang benar-benar manusia.

"Maksud Bapak tidak neko-neko bagaimana ya? Saya belum paham," tanya Roro masih belum paham dengan penjelasan yang diberikan oleh bapak tersebut.

"Begini Mbak, dahulu ada seorang pemuda yang juga tersesat seperti Mbak ini. Dia baru saja akan pulang dari perjalanan Mendaki Gunung. Tetapi dia nyasar ke sini. Tapi nasib nya sungguh malang, dia tidak bisa kembali dari dusun ini karena dia melakukan hal terlarang di sekitar dusun ini. Walau pun dia sudah meminta bantuan kepada orang yang lewat di sini tapi hasilnya nihil. Dan sekarang dia masih ada di sini. Dan dia tinggal di perkampungan sana. Dia sedang diam di rumah penduduk sambil melamun. Begitu, Mbak. Maaf, saya permisi dulu."

Begitulah penjelasan dari bapak-bapak tersebut hingga membuat Roro Prameswari semakin tidak karuan.

"Pak tunggu! Bolehkah saya ikut bapak dan saya akan berjanji akan bertobat atas kesalahan saya. Saya mengaku telah berbuat dosa, Pak."

Roro meneteskan air mata dan ingin ikut dengan bapak-bapak tersebut. Roro kini, mengakui kesalahannya selama ini.

"Maaf, Mbak. Jika Mbak nya nanti ikut saya, malah semakin bahaya karena sebelum masuk di area dusun saya ada penguasa Dedemit yang siap mencekik leher wanita yang suka berbuat dosa. Lebih amannya Mbak pulang sesuai arahan saya. Perkara nanti Mbak bisa pulang atau tidak, Mbak akan tetap aman di dusun ini selama Mbak tidak mengulangi perbuatan itu."

Begitulah penjelasan dari bapak itu. Dia segera beringsut pergi dengan rumput yang dibawanya pulang untuk pakan sapi.

'Tuhan, maafkan saya. Ini kah karma buat saya yang telah banyak melakukan dosa? Mas Galuh. Saya kangen sama kamu,' sesal Roro dalam hati. Dia sangat merindukan dusunnya yang aman dan asri. Dia sangat rindu dengan suaminya yang gagah nan tampan. Yang kini, pasti dia khawatir dan mencari-cari dirinya.

Kini, dengan langkah gontai dan hati nelangsa, Roro berjalan lurus sesuai arahan dari bapak tadi. Beberapa saat, Roro sudah berada di perkampungan penduduk itu lagi. Dan dia masih melihat ibu-ibu yang sedang menumbuk padi di lumpang. Roro tidak mau melihatnya karena dia yakin, dia bukan manusia seperti biasanya.

Tampak Mega jingga secara perlahan-lahan menjadi hitam pekat. Pertanda waktu petang akan tiba. Roro takut untuk melanjutkan perjalanan karena hari sudah bernjak petang. Dia mulai berteduh di teras rumah sederhana berwarna coklat yang terbuat dari papan kayu. Di dinding rumah tersebut terdapat banyak ukiran-ukiran kayu yang bergambar naga yang terlihat menyeramkan. Di luar, tidak ada orang yang berlalu lalang di situ. Dia mau bertamu tetapi dia takut dan malu. Pakaiannya serba minim, pasti orang yang berada dalam rumah tersebut akan risih.

Tidak lama terdengar derap langkah seseorang yang berjalan menuju arahnya dan semakin lama semakin dekat. Terlihat bapak-bapak memakai pakaian kebaya dan memakai topi caping sedang berada di depan Roro dan berkata,

"Cepat masuk! Sebelum langit sangat petang! Sebelum pagi, jangan sampai keluar!"

Bapak itu memerintah Roro segera masuk ke dalam rumah dan dilarang untuk keluar saat malam hari dengan perkataan tegas. Roro menunduk menuruti perintah bapak tersebut. Roro lalu masuk ke dalam rumah sederhana dan duduk di bangku panjang yang terbuat dari kayu. Setelahnya ada ibu-ibu berpakaian adat Jawa sedang membawa kopi hitam dan disuguhkan kepada Roro. Lantas Roro memberanikan untuk bertanya,

"Bu, maaf. Boleh saya meminjam pakaian yang lebih tertutup? Saya malu memakai pakaian seperti ini!"

Dengan senyum ramah, Roro meminjam pakaian milik ibu-ibu tersebut. Lantas, ibu itu hanya mengangguk dan segera beringsut ke dalam.

Beberapa detik, ibu itu memberikan pakaian setelan yang juga berjenis pakaian adat Jawa.

"Terima kasih, Bu. Saya berganti pakaian di mana ya Bu?" tanya Roro menanyakan ruangan untuk berganti pakaian.

"Sana!" jawab secara datar ibu tersebut menuding arah bilik sederhana yang berukuran minimalis. Roro beringsut untuk berganti pakaian. Beberapa menit kemudian, Roro sudah mengenakan pakaian adat Jawa dan hatinya sudah merasa lega. Saat itu, ibu-ibu tersebut sudah tidak ada dari pandangan Roro Prameswari.

Tiba-tiba terdengar sebuah suara hiruk pikuk di luar rumah yang disinggahi Roro tersebut. Dan suaranya seperti teriakan sebuah hewan. Jiwa penasaran Roro Prameswari meronta-ronta ingin melihat suara apa yang kini tengah didengarnya. Dia semakin penasaran akhirnya ingin melihat di balik tirai jendela yang hanya tertutup dengan kain. Sontak, Roro Prameswari merasa terkejut. Dia melihat sosok berbadan kera yang berwajah sangat tampan dan wajahnya berwujud manusia.

Yang satunya terlihat berbadan kerbau yang berkepala seorang wanita yang teramat cantik dan memiliki tanduk. Mata mereka terlihat merah menyala hingga Roro mulai menutup tirai jendela tersebut dengan cepat. Hatinya berdebar-debar dan nafasnya tidak karuan.

Saat itu ada seseorang yang memanggil.

"Sedang apa kau di situ?" tanya seorang ibu-ibu yang dia temui tadi dengan pertanyaan tegas dan sinis.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!