Petir Yang Menggelegar

Di waktu sore hari, Widuri sedang berada di rumah keluarga bu Winarti karena anaknya yang bernama Suastika telah meregang nyawa dengan tidak wajar. Widuri membantu memandikan jenazah Tika pun juga dengan mertuanya. Tiba-tiba mertuanya dan Widuri mencium bau am*s saat memandikan jenazah tersebut hingga Marsinah meminta masker kepada Widuri.

Namun, Widuri tidak memiliki masker lantas Widuri memberi saran kepada mertuanya agar menutup hidung dengan selendang yang dibawa mertuanya. Lantas, Marsinah menuruti saran dari Widuri.

Akhirnya Widuri dan Marsinah ikut memandikan jenazah Tika. Ibu-ibu warga yang ikut memandikan jenazah Tika juga mengalami hal yang saja seperti Widuri dan Marsinah. Mau tidak mau mereka harus memandikan sampai selesai. Setengah jam kemudian, jenazah Tika sudah dimandikan.

"Widuri, coba kamu lihat ada Roro dan Galuh atau tidak di area ini. Jika dia tidak datang, memang sungguh keterlaluan."

Setelah selesai membantu memandikan jenazah Tika, Marsinah menyuruh Widuri untuk melihat-lihat Roro dan Galub apakah sudah berada di rumah keluarga Tika atau kah tidak ada. Marsinah ingin, Roro hadir dalam di rumah duka tersebut, karena takut digunjing warga yang tidak-tidak.

Widuri sudah menelusuri ke semua sudut ruangan serta sudah melihat-lihat teras rumah keluarga bu Winarti namun, Roro dan suaminya tidak terlihat batang hidungnya. Lantas, Widuri mulai menemui mertuanya kembali yang berada di ruang tengah. Saat sampai, Widuri pun berkata,

"Roro dan mas Galuh belum ke sini, Bu. Widuri sudah mencoba mencari ke semua penjuru ruangan bahkan di luar rumah ini," ungkap Widuri setelah sampai di depan mertuanya kembali yang sedang sibuk membantu acara prosesi pemakaman Tika.

"Yasudah, nanti Ibu akan pulang untuk memanggil mereka sebentar. Jika ada orang yang mencari Ibu, bilang saja, Ibu ke rumah sebentar," jawab Marsinah yang masih menata piring kecil untuk wadah permen yang akan dibagikan kepada para orang yang sedang bertakziah.

"Baik, Bu. Saya akan menggantikan tugas posisi Ibu dan Widuri tidak akan ke mana-mana," jawab Widuri dengan patuh.

Tidak perlu waktu lama, Marsinah segera berjalan dengan tergopoh-gopoh menuju rumahnya. Tujuh menit kemudian, sampailah Marsinah di rumahnya dan langsung menuju kamar Roro. Terlihat kamar Roro yang terkunci rapat. Seketika, terdengar dengkuran halus dari seseorang yang dikira Marsinah adalah anaknya yang sedang tertidur.

"Galuh! Roro! Ayo cepat keluar!"

Marsinah menggedor-gedor pintu kamar Roro dengan keras. Namun, dari arah belakang ada orang yang memanggilnya.

"Ibu sedang apa berada di situ?"

Ternyata Galuh sedang memanggil Marsinah yang sedang berjalan ke arahnya bersama dengan Roro dari arah depan pintu rumahnya.

'Bukannya Galuh berada di kamar ini sedang mendengkur. Kok sekarang sudah berada di depan sini? Jangan-jangan benar apa yang dikatakan Widuri bahwa di kamar Roro ada dedemit. Ih serem,' batin Marsinah yang memikirkan kejadian aneh yang baru saja menimpanya.

"Ibu! Kok Ibu melamun!"

Sontak, Roro mendekat ke arah Marsinah dan menepuk pundaknya dan memanggil Marsinah yang masih dalam lamunannya.

"Eh. Roro. Dari mana saja kamu dan Galuh? Ibu

cariin dari tadi tidak ada?" tanya Marsinah kepada Roro dan Galuh dengan pertanyaan menyelidik.

"Kami dari toko pakaian, Bu. Besok 'kan acara manggung di acara hajatan Andi dan Tika," jawab Roro dengan tenang dan kalem.

"Ya, Tuhan. Kalian belum tahu ya, jika Tika meninggal dunia satu jam yang lalu?"

Marsinah heran dengan anak dan mantunya tersebut bisa-bisanya mereka tidak tahu-menahu tentang meninggalnya Tika.

"Apa? Tika meninggal? Kirain rame-rame itu masih dalam acara Hajatan, Bu. Tahu gitu, uangnya buat beli bakso saja. Di rumah tidak ada masakan hanya camilan basah dari Ibu tadi,"

Galuh terkejut dan menyesal karena terlanjur membeli pakaian yang harganya jutaan rupiah Padahal perut Galuh keroncongan.

"Kamu di rumah ngapain saja Galuh? Dan kalian, tetangganya sedang berduka malah belanja pakaian jadi uangnya mubadzir. Yasudah, sekarang kalian melayat sana. Ibu masih banyak kerjaan di sana. Jangan sampai kalian tidak hadir, takut digunjing warga."

Marsinah menggelengkan kepala karena mereka membuat dia merasa heran dan dongkol. Marsinah menyuruh anak dan mantunya untuk segera melayat ke rumah duka yakni Suastika.

"Galuh 'kan habis bekerja di ladang, Bu. Habis itu nemenin Roro belanja di toko pakaian di seberang jalan raya sana," jawab Galuh dengan raut wajah lesu dan tak bersemangat. Padahal dia baru saja bertempur panas dengan Roro seharusnya dia bersemangat.

Tidak lama Marsinah kembali ke rumah kediaman keluarga Tika. Roro dan Galuh dengan keadaan lelah terpaksa harus ke rumah keluarga Tika juga karena mereka tidak mau digunjing oleh tetangga.

Kini Roro dan Galuh sudah sampai di tempat rumah duka. Di situ jenazah Tika masih berada di amben yakni tempat yang digunakan untuk membaringkan jenazah yang terbuat dari kayu jati. Sebentar lagi jenazah Tika akan dimasukkan ke dalam keranda dan segera dikebumikan.

Saat itu, Roro berada tepat di depan jenazah Tika bersama dengan Galuh. Galuh ingin menengok apakah Tika benar-benar telah meninggal dunia. Galuh mulai membuka jarit yang menutupi tubuh sang jenazah. Sontak, Galuh terkejut saat melihat jenazah tersebut berbau am*s dan membuka mata dengan mata yang memelotot tajam ke arah Galuh.

"Tidak! Ma-mayatnya hidup!"

Galuh berteriak ketakutan dan seketika, dia lari tunggang langgang menjauhi jenazah Tika yang dianggapnya hidup kembali. Lalu para pelayat dibuat terkejut dengan aksi Galuh yang membuat para warga penasaran dan merinding. Sementara Roro masih berdiri mematung ditempat sambil menatap tajam ke arah jenazah Tika. Roro sedikit pun tidak takut atas kejadian yang menimpa suaminya.

"Ada apa, Mas Galuh?"

Tiba-tiba pak Mahmud seorang takmir masjid mendekati Galuh dan bertanya.

"Pak Mahmud. Tadi jenazah Tika membuka mata dan menatap tajam ke arah saya. Saya takut sekali, Pak. Coba di cek, siapa tahu Tika masih hidup," jawab Galuh dengan wajahnya yang terlihat ketakutan dan mengeluarkan keringat dingin.

"Baik. Mas nya tenang dulu. Tarik nafas. Saya akan mengecek kondisi mayat Tika sekarang."

Pak Mahmud dikenal oleh warga yang sudah mumpuni dalam menangani jenazah. Jadi, hanya dia yang berani mendekat ke jenazah Tika jika terjadi keanehan. Hanya dia yang berani mendekat. Para warga yang tadinya berada didekat jenazah, kini mulai melangkahkan kakinya untuk menjaga jarak dan menjauh.

Tidak lama, pak Mahmud sudah menyingkap jarit yang menutupi bagian wajah jenazah tersebut. Terlihat telapak tangan sebelah kanan pak Mahmud berada di atas wajah sang jenazah sambil membacakan doa-doa entah doa apa yang sedang dibaca.

Beberapa menit kemudian, dia menghentikan doanya dan mulai mengusap wajah jenazah Tika. Terlihat, pak Mahmud manggut-manggut sambil memegangi jenggotnya yang sudah memutih. Pak Mahmud berbalik ke arah para warga yang sedang bertakziah seraya berkata,

"Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu semuanya, Kalian jangan takut, saya sudah mendoakan jenazah Tika dan sebaiknya sekarang ayo kita segera menguburkannya. Mohon dari pihak keluarga untuk memikulnya karena jika terlalu lama jenazah Tika akan memb*suk karena baunya semakin menyeruak. Kita doakan dia semoga amalnya diterima disisi-Nya dan jangan saling membicarakan hal buruk atas meninggalnya jenazah Tika."

Pak Mahmud memberi perintah untuk segera menguburkan jenazah Tika karena jenazah tersebut baunya semakin tidak enak.

Dor! dor!

Tiba-tiba suara petir menggelagar dan membuat para warga yang berada di acara takziah merasa merinding dan bergidik ngeri. Andi dan para keluarganya terlihat wajah yang sendu. Apalagi bu Winarti dia masih menangisi anaknya tersebut setelah beberapa waktu tersadar dari pingsan.

Setelah petir, mendung pekat pun tiba. Tidak lama hujan deras mengguyur dusun pelosok tersebut sehingga menambah suasana yang mencekam. Para keluarga dan pak Mahmud kebingungan karena hujan sangat deras. Padahal, jenazah akan segera dikebumikan. Jika mereka menunda-nunda menguburkan, takutnya akan kemalaman karena pemakaman berada di dekat hutan yang banyak ular dan binatang buas lainnya pun juga jenazah akan semakin memb*suk.

"Bagaimana ini Pak Mahmud. Hujan semakin deras beserta angin dan petir yang menggelegar."

Pak Dahlan kini merasa cemas dan mondar-mandir karena bingung akan menguburkan sekarang atau kah nanti.

"Tenang, Pak. Ayo kita berdoa bersama-sama agar hujan segera mereda sehingga kita bisa secepatnya menguburkan jenazah Tika."

Pak Mahmud kini memimpin doa kepada para keluarga dan orang-orang yang berrakziah. Dan mereka menuruti perintah takmir masjid tersebut. Di sisi lain, Roro mulai cemas dan badannya mulai kepanasan saat orang-orang melantunkan doa-doa dari Sang Pencipta. Roro ingin berteriak namun dia takut warga akan curiga. Dia berusaha menahan rasa panas tersebut namun, yang dia rasa semakin lama tubuhnya semakin panas.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!