Pasar Aneh

Hampir Maghrib, Roro Prameswari melihat lukisan wanita tanpa busana sedang bergerak-gerak dan menatap ke arah Roro dengan menangis d*rah dan menatap tajam ke arahnya. Roro yang melihat sosok tersebut menjadi merinding dan seketika, tubuhnya terasa kaku dan tidak bisa digerakkan.

Gambar sosok lukisan tersebut mulai berdiri dan mendekat ke arah Roro Prameswari yang sedang duduk terpaku di ranjang dengan hanya memakai pakaian ketat saja. Tiba-tiba kaki dan tangannya tidak bisa digerakkan.

Sosok wanita mengerikan itu semakin lama semakin mendekati Roro yang masih duduk terpaku. Tidak lama, sosok wanita tersebut, sudah berada di depan Roro Prameswari.

"Kamu harus m*ti!"

Tiba-tiba sosok dedemit itu menuding Roro dengan telunjuk yang berkuku sangat tajam.

Degh!"

J*ntung Roro mulai berdetak kencang saat mengetahui bahwa sosok hantu yang dia lihat sangat membencinya. Saat itu, tangan dan kakinya mulai bisa digerakkan.

"Pak Camat bangun! Ada Dedemit Pak, cepat bangun!"

Roro berusaha membangunkan pak camat namun, dia masih tertidur dengan pulas dengan dengkuran yang keras. Roro sudah menggerakkan badan pak camat namun, dia masih saja terbuai dalam alam mimpi.

Tidak ada waktu banyak, Roro takut akan celaka, maka Roro segera berlari dari kamar itu agar terhindar dari amukan sosok hantu mengerikan tersebut.

Roro berlari di luar rumah tersebut untuk mencari jalan keluar menuju pulang. Sebelum Maghrib tiba, dia berharap akan sampai di dusunnya. Sambil berlari, Roro akan berusaha membaca mantra andalannya agar Mbah Rendro datang.

"Jampi-jampi susuk ayu marai sugih. Jampi-jampi kangge Nyi Narendro sesepuh dedemit alam ghaib. Monggo sami rawuh ing panggon Iki kanti sumringah."

Roro sudah berusaha membaca mantra tersebut. Tapi tidak ada tanda-tanda akan datang nya Mbah Rendro. Roro gelagapan dan semakin ketakutan. Hari pun juga akan tiba Maghrib. Sosok itu semakin lama semakin mendekat hingga mau tidak mau, Roro akan berlari menuju jalan setapak dan dia kini memasuki area seperti hutan.

Semakin lama suasana semakin mencekam dan terlihat gelap. Roro merasa kedinginan karena dia hanya memakai pakaian ketat karena terburu-buru lari karena ketakutan dikejar oleh sosok hantu wanita yang mengerikan.

Roro kini sedang dibawah pohon jati dan nafasnya mulai tersengal-sengal. Hantu tadi, sudah tak tampak dari pandangan Roro Prameswari hingga nafasnya menjadi lebih lega.

"Kenapa jadi apes seperti ini. Saya ini di mana? Kok gelap sekali."

Hanya suara hewan hutan yang terdengar. Tidak ada tanda-tanda manusia yang hidup di tempat itu. Roro bingung, dalam kegelapan tersebut dia harus ke mana. Tiba-tiba ada sekelabat bayangan putih terlihat dari pandangan Roro yang masih berdiri dan menggigit jarinya karena ketakutan.

Setelah sekelabat melihat bayangan putih tersebut, yang tadinya suasana menjadi gelap, kini berubah menjadi terang benderang.

'Loh, ini 'kan malam kok berubah menjadi terang begini? Apa kok rame banget ya? Ini tempat kok seperti pasar ya?'

Seketika, Roro terkejut karena tiba-tiba suara suasana yang tadi gelap gulita, kini menjadi terang dan seperti pada waktu sore hari dan tepatnya di senja hari.

Terlihat Roro sedang berada di tengah-tengah keramaian pasar tradisional dan mereka berpakaian adat Jawa. Dia akan menanyakan kepada salah seorang bapak-bapak yang memakai blangkon untuk memberi tahu arah jalan keluar dari pasar asing yang di pijaki oleh Roro Prameswari. Setelah sampai, Roro berkata,

"Maaf Pak. Saya mau bertanya. Jalan keluar dari dusun ini menuju jalan raya di mana ya?" tanya Roro dengan gugup kepada orang asing bertopi blangkon tersebut.

Tanpa lama bapak tersebut segera menoleh dengan tatapan tajam dan berkata,

"Mbak nya jalan lurus saja ada dusun perumahan penduduk lalu melewati jalan setapak. Nanti mentok belok kanan, ada tanda panah yang terbuat dari bambu maka, kamu akan keluar dari desa ini," jawab bapak-bapak tersebut dengan tegas.

Lalu Roro segera mengangguk dan berjalan sesuai yang diarahkan oleh bapak-bapak tersebut. Roro mulai berjalan dengan perlahan-lahan karena perutnya juga sangat keroncongan karena lapar dan kerongkongannya terasa kehausan.

Tujuh menit kemudian, Roro sampai di dusun penduduk. Roro melihat ibu-ibu yang sedang menumbuk padi di wadah yang terbuat dari batu yakni lumpang alat sederhana yang masih jadil. Alat untuk menumbuk padi pada zaman dahulu.

"Permisi, Bu. Boleh saya meminta segelas air putih karena saya sangat dahaga."

Roro yang tengah kehausan akhirnya terpaksa meminta air untuk menyembuhkan dahaganya karena setelah bertempur panas dengan pak camat, Roro belum sempat minum atau pun makan.

"Jangan!"

Satu kata terucap dari mulut ibu-ibu itu dengan kata "jangan" dan dengan mata yang terlihat tajam dan dengan wajah sinis seperti tidak suka dengan keberadaan Roro.

Lantas, Roro hanya tertunduk lesu dan masih memakai pakaian yang kurang bahan. Kini dengan langkah gontai, dia mulai melanjutkan perjalanannya sebelum malam tiba. Dia mulai keluar dari penduduk yang terlihat sepi tersebut dan langsung melewati jalan setapak. Di kiri dan kanan terdapat sawah yang sudah menguning. Beberapa orang sedang memanen padi. Terdengar suara bising rame dari para pemanen padi tersebut. Namun, mulut mereka terlihat seperti tidak berkata-kata.

'Apa? Mereka bercakap-cakap tapi kok mulutnya tertutup rapat. Dasar penduduk aneh!'

Roro yang melihat pemandangan itu mulai heran dan menggerutu di dalam hatinya. Roro melewati dusun perkampungan yang sangat aneh. Saat menggerutu di depan nya, Roro melihat bapak-bapak yang ada di pasar tadi sedang memasukkan padi ke dalam karung yang berwarna coklat. Karung yang ada pada zaman nenek moyang dahulu. Kini Roro semakin terheran-heran.

Lalu Roro segera mendekati bapak tadi dan berkata,

"Bapak. Maaf, Bapak yang tadi ada di pasar kan?"

Dengan beraninya Roro menanyakan bapak tersebut yang sedang sibuk dengan padi yang telah menguning. Bedanya, sekarang bapak tersebut mengenakan kaos oblong dan celana hitam yang terlihat kotor karena karena terkena lumpur di sawah.

"Heem."

Bapak itu hanya mengangguk dan mengatakan "Heem". Tanpa ada kata-kata lain yang dia ucapkan. Sungguh, menjadi pemandangan aneh bagi Roro Prameswari.

"Pak, kalau boleh tahu, ini saya masuk di dusun apa ya?"

Roro memberanikan diri untuk bertanya tentang nama dusun tersebut dengan perasaan yang merinding.

"Suka Makmur," jawab bapak-bapak itu datar tanpa melihat wajah Roro. Roro mengangguk dan kini mulai mengamati pekerjaan yang dilakukan bapak tersebut.

Bapak itu aneh, beliau terus memasukkan padi ke dalam karung dan mengeluarkannya. Begitu seterusnya sampai Roro Prameswari merasakan bergidik ngeri yang teramat sangat. Ditambah, suasana sore yang teramat dingin karena terlihat kabut di Lereng Gunung tersebut turun dengan tebal.

'Tuhan, saya berada di mana ini? Bapak-bapak ii kok aneh? Semua orang yang saya jumpai serba aneh? Saya harus secepatnya menuju tanda panah tersebut sebelum petang tiba," desis Roro dalam hati dan Roro masih dengan rasa yang merinding dan semakin katakutan dan dengan raga yang lemas. Rasa lapar dan haus mulai meronta-ronta.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!