Aku tidak menyadari apa yang terjadi antara kami berdua. Yang aku tahu saat ini adalah bahwa bibir kami berdua saling berciuman. Entah sudah berapa lama kami berdua berciuman seperti ini. Aku membuka mataku dan menyadari ketika Evander menatap ke dalam mataku. Kami memisahkan bibir kami.
"Cathleen... Aku sudah menunggumu untuk waktu yang begitu lama." Ia berbisik di dekatku.
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Begitu banyak hal yang tidak aku mengerti yang terjadi saat ini. Aku tidak mengerti kenapa aku saat ini merasa begitu terikat dengan Evander.
"Bagaimana kau mengetahui tentang diriku?" tanyaku dengan suara nyaris berbisik.
Evander membelai lembut pipiku. Wajahnya masih terlhat begitu pucat. Namun saat ini aku melihat sinar kebahagiaan di matanya yang bercampur kekhawatiran. Mungkin benar, ada begitu banyak beban berat di pundaknya. Terlebih lagi situasi di istana saat ini sedang begitu buruk. Apalagi saat ini jelas-jelas ada seseorang yang ingin membunuhnya.
"Kau," suaranya tercekat.
"Katakanlah! Aku berhak tahu tentang semua hal terjadi akhir-akhir ini dalam hidupku. Aku berhak mendapatkan jawaban!" Aku mengucapkannya dengan tegas.
Evander mengalihkan tatapannya dariku. Ia menyandarkan kepalanya di sofa. Dia tampak lesu. Mungkin karena tubuhnya masih belum pulih. Atau mungkin karena banyaknya beban yang ia tanggung.
"Ya, kau benar." Dia mengucapkannya sambil memejamkan mata.
"Soal?" tanyaku.
"Kau berhak memperoleh jawaban," ujarnya pelan. Ia terdiam lama. Aku bahkan mengira ia tertidur.
"Dulu, sebelum terjadi peperangan besar yang merenggut nyawa orang tuaku, hidupku terasa bebas dan menyenangkan." Ia kembali terdiam. Aku kembali menginat cerita Baltazar tentang perang itu. Perang yang terjadi akibat serangan dari manusia ke hutan ini.
"Semenjak orang tuaku tiada, aku harus memikul tanggung jawab yang aku rasa aku tidak akan sanggup menjalaninya." Ia kembali terdiam lama.
Aku menunggunya kembali bicara. Namun ia tetap terdiam dan masih memejamkan matanya.
"Evander," bisikku.
Ia menoleh ke arahku dengan tatapan sayu.
"Kalau kau lelah, istirahat sajalah! Kita bisa kembali membicarakannya nanti setelah kau pulih." Aku meraih bahunya untuk membantunya berdiri. Kali ini ia tidak menolak.
Aku menuntunnya menuju ke ruang tidurnya. Aku membaringkannya di kasur empuk itu.
"Kemarilah!" pintanya dan menunjuk ke arah kasur di samping tubuhnya.
"Aku .. " ujarku tercekat. Aku merasa gugup. Tidak mungkin aku tidur di sebelahnya.
"Aku tidak akan melakukan apapun padamu!" ujarnya dengan senyum miring.
"Bukan begitu maksudku,"
"Kalau begitu kemarilah!" pintanya.
Aku menurutinya. Aku naik ke atas ranjang dan berbaring di sampingnya. Evander melingkarkan lengannya di leherku. Aku bersandar di bahunya. Entah kenapa aku merasa begitu nyaman dengan kedekatan kami saat ini. Aku bahkan nyaris melupakan tentang rahasia yang akan membawaku pulang ke kotaku.
Kami berdua terdiam lama seolah saling menikmati kedekatan kami.
"Kenapa ada seseorang yang sengaja ingin melukaimu?" Aku memecahkan keheningan di antara kami.
"Mungkin dia tidak menyukaiku," cengirnya.
"Itu jawaban yang bodoh!" ujarku menepuk bahunya. Ia mengernyit akibat pukulan ringanku ke arah bahunya yang terluka.
"Maaf," ujarku.
"Tidak apa-apa," balasnya dan kembali membelai rambutku.
"Aku ingin menanyakan sesuatu," bisikku.
"Hem?"
"Aku sering bermimpi tentangmu," bisikku.
"Ya, aku tahu,"
"Bagaimana kau tahu?" tanyaku.
"Itu bukan mimpi, melainkan itu adalah pertemuan nyata di dimensi lain."
"Dimensi lain?" tanyaku menengadahkan tatapanku ke arahnya.
"Ya, sebenarnya kita memang sudah sering bertemu di dalam mimpimu,"
"Itu artinya mimpiku adalah sebuah kenyataan?" Aku kembali memandangnya.
Ia mengangguk.
"Lalu bagaimana bisa itu terjadi?" Aku masih belum mempercayai hal ini.
"Kau dan aku bertemu di tempat ini. Kau bisa menembus dinding penghalang hutan ini."
"Tidak, aku tidak mengerti." Aku menggelengkan kepalaku.
Evander kembali terdiam dan hanya mengelus rambutku dengan tangannya. Mungkin dia bingung bagaimana caranya menjelaskannya padaku.
"Cathleen, jiwamu telah beberapa kali berkunjung ke istana ini, dan itu terjadi ketika kau tidur."
Kini aku mulai mengerti. Itu artinya aku benar-benar datang ke tempat ini. Aku benar-benar bertemu dengan Evander dan mendengarnya menyebut namaku selama ini.
"Tidak!" Aku terkesiap ketika kembali mengingat bagian akhir dari mimpiku.
Aku tiba-tiba bangkit dari bahu Evander dan aku menatapnya dengan mata ketakutan.
"Ada apa?" tanyanya khawatir.
"Tidak!" Aku menggelengkan kepalaku dan hendak turun dari kasur untuk lari darinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments