"Selamat datang di kediaman Sang Raja!" Evander mengucapkannya dengan gaya menunduk yang begitu resmi.
Aku berdiri kaku dan tidak tahu apa yang harus aku katakan atau apa yang akan aku lakukan. Aku masih mengedarkan pandanganku berkeliling. Di ujung terjauh ruangan ini tampak sebuah jendela yang mengarah ke luar. Aku berjalan ke arah jendela itu. Aku merasakan Evander berjalan mengikutiku di belakang.
Jendela itu mengarah ke pemandangan air terjun yang tadi aku lewati ketika kami bertiga terbang bersama Azelyn. Ini luar biasa! Aku menoleh ke arah lain dan menemukan sebuah pintu yang mungkin mengarah ke ruangan lain. Jadi ini seperti sebuah suite, pikirku.
"Pintu itu mengarah ke mana?" tanyaku.
Alih-alih menjawab pertanyaanku, dia berjalan ke arah pintu itu dan melambaikan tangannya ke arahku agar aku mengikutinya. Aku berjalan di belakangnya. Dia membuka pintu itu dan melangkah minggir agar aku bisa lewat.
Kali ini dia membuka pintu dengan tangannya, bukan dengan sihir seperti tadi ketika dia membuka pintu besar yang mengarah ke sini.
"Kenapa saat ini kau membuka pintu dengan cara biasa?" tanyaku.
"Pintu utama itu sudah cukup melindungiku." Dia menunjuk ke pintu masuk di depan yang berukuran sangat besar tadi.
Aku melangkahkan kaki ke dalam ruangan ini dan melihat sebuah tempat tidur berukuran besar yang berada di tengah ruangan ini. Jadi ini adalah kamar tidurnya. Aku berjalan mendekati ranjang besar itu. Ranjang itu memiliki empat tiang di sisinya yang masing-masing terdapat tirai yang terbuat dari bahan sutra yang begitu halus dan lembut.
Sepertinya selera kaum elf memang tinggi. Mereka menyukai kemewahan dan keindahan. Aku mendekati bagian tepi ranjang. Tanpa meminta izin, aku duduk di tepi ranjang. Aku melihat ke arah Evander yang saat ini sedang menatap ke arahku.
"Kau tidur di sini?"
Ia mengangguk lemah tanpa mengalihkan tatapannya dariku. Kenapa tatapannya membuat jantungku menjadi berdebar tidak karuan seperti sekarang? Aku menoleh ke arah lain dengan kikuk.
"Apakah ada tempat menakjubkan lain yang perlu kau tunjukkan padaku?" Aku bertanya untuk meredakan rasa canggung yang tiba-tiba menguasai diriku.
"Di sana kamar mandinya," ujarnya seraya menunjuk ke sebuah pintu yang berada di pojok ruangan. Sama sepeti pintu yang lain, pintu itu juga penuh dengan ukiran rumit yang bersepuh emas.
Aku bangkit dari kasur dan melangkah ke arah pintu itu. Aku menoleh ke arah Evander.
"Bolehkan aku membukanya?"
"Tentu saja!" Ia tergelak.
Aku membuka pintu itu dan mendapati sebuah kamar mandi yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Di tengah ruangan itu tampak sebuah kolam renang mungil yang di sepanjang tepinya dikelilingi bunga-bunga indah. Aku berjalan mendekatinya.
Di dekat kolam renang mungil itu terdapat sebuah rak yang lagi-lagi terbuat dari emas. Rak itu dipenuhi berbagai macam sabun yang beraroma manis. Sepertinya menyenangkan jika bisa berendam di sini. Tapi nanti, jika aku sudah sendirian, aku mengingatkan diriku sendiri.
Aku berdiri dan kembali berjalan ke arah pintu untuk kembali ke ruang tidur. Aku menutup pintu kamar mandi. Evander masih berdiri di posisi yang sama seperti barusan. Aku berjalan ke arahnya dengan kikuk. Sial! Aku semakin gugup.
"Mmm..." gumamku melihat ke arahnya. Aku bahkan tidak tahu apa yang harus akku katakan.
"Istirahatlah!" ujarnya.
"Sepertinya aku masih belum terlalu lelah." Aku menjawab dengan nada gugup.
Aku menoleh ke arah tempat tidur. Jika aku tidur di sini, lalu bagaimana dengan Evander? Pikiran itu menganggu kepalaku.
"Kau bisa tidur di sini. Aku bisa tidur di sofa di sana." Ia menunjuk ke arah sofa di ruang utama. Sepertinya ia langsung mengerti kekhawatiranku.
"Tidak! Aku saja yang akan tidur di sofa." balasku. Aku tidak ingin tampak seperti tamu yang tidak tahu diri.
"Anggap saja aku sedang berpatroli dan aku harus selalu memantau keadaan dari arah jendela di ruangan utamaku. Jadi aku harus selalu siaga dan berjaga dari sofa." Ia menjelaskannya dengan lugas.
Aku rasa apa yang dia katakan benar juga. Aku mengangguk ke arahnya. Kami berdua berdiri dengan gugup selama beberapa detik. Sepertinya bukan hanya aku saja yang gugup saat itu, melainkan Evander juga terlihat tidak tahu harus berbicara apa denganku.
Aku mengalikan pandanganku untuk menghindari tatapannya yang terasa begitu intens. Tatapannya membuatku semakin gugup saja. Kenapa aku jadi bertingkah seperti remaja usia belasan tahun begini?
Tiba-tiba Evander melangkah mendekat ke arahku. Anehnya, aku tidak menjauh darinya. Aku tetap berdiri di tempatku saat ini. Aku menengadah menatap wajahnya. Saat ini dia sedang menatap wajahku dengan intens.
Sialan! Jantungku seolah nyaris melompat dari rongga dadaku. Evander terus mendekat. Kali ini posisi kami begitu dekat. Aku tidak menjauh dan tidak ingin menjauh.
Tiba-tiba aku merasakan sentuhan lembut tangannya di pipiku. Aku tidak menolak. Aku justru membalas tatapannya. Aku tidak mengerti lagi apa yang aku pikirkan. Tiba-tiba kami berdua berciuman dengan begitu dalam. Evander memegang bagian belakang tengkukku sementara bagian tangan yang satunya memegangi wajahku.
Aku melingkarkan kedua tanganku ke lehernya dan berjinjit. Aku menikmati ciuman itu. Aku bahkan tidak memikirkan bahwa saat ini aku sedang berciuman dengan pria yang bukan manusia. Yang aku tahu hanyalah bahwa kami berdua seperti terikat satu sama lain.
Kami berciuman untuk waktu yang entah berapa lama, hingga tiba-tiba kami dikagetkan oleh suara ketukan yang berasal dari pintu utama di depan ruangan ini. Kami melepaskan diri satu sama lain.
Aku menundukkan wajahku karena malu. Apa yang baru saja aku lakukan? Aku nyaris marah kepada diriku sendiri. Evander terlihat sama gugupnya seperti diriku. Ia membalikkan tubuhnya dan berjalan pergi menuju suara ketukan di pintu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments