Aku menatap punggung Evander yang sedang berjalan menuju pintu utama kediamannya. Siapa yang datang? Aku bertanya dalam hati. Aku menepiskan pertanyaan itu. Saat ini aku kembali mengingat tentang ciuman kami barusan. Kenapa jantungku selalu berdebar saat aku bersama Evander? Tidak! Aku tidak boleh seperti ini. Aku berada di sini untuk sementara dan aku harus kembali pulang setelah situasi di sini membaik.
Aku mendengar suara pintu depan yang terbuka. Aku melangkahkan kaki keluar dari kamar tidur ini dan berharap aku bisa melihat siapa yang datang. Aku menghentikan langkahku di depan pintu kamar tidur ketika aku mendengar suara Evander yang terdengar terkejut.
"Untuk apa kau datang kemari?" Kekagetan terdengar jelas di dalam suara Evander.
"Tentu saja aku ingin menemui mu!" Jawab sebuah suara yang terdengar tidak asing di telingaku. Ya, itu adalah suara Dalish, Si Pemimpin Penyihir yang menatapku dengan tatapan penuh kebencian.
Aku mencoba memiringkan kepalaku untuk mendengar percakapan mereka. Aku yakin Dalish tidak melihatku dari sana. Aku harus berhati-hati agar ia tidak mengetahui keberadaanku di sini.
Aku merasa perempuan itu seolah menyembunyikan sesuatu yang berbahaya. Seolah instingku mengingatkan diriku untuk menjauh darinya. Dia seperti seseorang yang berbahaya. Entah apa intuisiku memang benar atau hanya ilusiku saja. Yang terpenting saat ini adalah aku harus hati-hati terhadapnya. Firasatku menunjukkan sesuatu yang tidak baik tentangnya.
"Kalau ada hal penting, kita bisa membicarakannya di aula istana. Tidak perlu datang kemari!" Suara Evander jelas terdengar jengkel.
Aku mendengar Dalish mendengus.
"Apa kau tidak penasaran siapa yang telah membuat kekacauan di lembah naga?" Aku nyaris mendengar suara congkak perempuan itu.
"Kau sudah menemukan pelakunya?" Evander tampak antusias.
"Kau pikir untuk apa aku mencari mu di tempat pribadimu jika buka untuk urusan yang begitu mendesak seperti ini?" Dia mendengus. Perempuan itu terdengar sombong.
"Baiklah, tunjukkan padaku siapa pelakunya!" Perintah Evander terdengar mendesak.
"Kau tidak akan mempercayainya!" Dalish justru tampak terlalu bersemangat. Sepertinya ada yang aneh dari gelagat perempuan itu.
"Dimana pelakunya? Aku akan segera memberinya hukuman yang setimpal!" Suara ancaman dalam suara Evander membuatku merinding.
"Ayo ikutlah denganku!" Balas Dalish.
"Kau berangkat saja duluan. Aku masih akan bersiap-siap sebentar. Tunggu aku di aulan istana!" Perintah Evander.
Aku tidak mendengar jawaban Dalish. Mungkin dia tidak senang dengan hal itu. Namun beberapa detik kemudian, aku mendengar suara pintu besar itu tertutup dan Evander melangkah ke arahku.
"Kau menguping pembicaraan ya?" tanyanya.
"Tidak ada pilihan lain selain itu," balasku dengan mulut mengerucut.
Ia tertawa mendengar jawabanku.
"Kau akan pergi?" tanyaku. Aku tidak mengerti kenapa aku merasa tidak senang dengan memikirkan kepergian Evander. Seolah aku ingin dia terus bersamaku. Konyol!
"Kau ingin ikut denganku?" tanyanya.
Aku mengangguk dengan antusias. Ia tampak senang dengan keputusanku.
"Kalau begitu ayo!" Dia segera berbalik dan berjalan menuju ke arah pintu utama. Aku berjalan di sampingnya.
"Apakah mereka tidak mempersalahkan kehadiran manusia di sini?" tanyaku.
Tampaknya pertanyaanku menarik perhatiannya. Ia menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya menghadap ku. Ia menatap wajahku.
"Mereka tidak pernah menentang apa yang aku lakukan." Ia menjawab dengan datar.
Aku mengangguk perlahan sambil memikirkan jawabannya. Seketika aku kembali memikirkan kekacauan yang terjadi di lembah naga. Bagaimana jika sebentar lagi Evander menemuka pelakunya. Hukuman apa yang akan ia berikan bagi pengacau yang telah merusak hal yang berharga baginya dan bagi Azelyn?
Ah, Azelyn. Aku mencoba memanggilnya dengan pikiranku. Sedang apa kira-kira dia? Aku tidak menyangka bahwa dia akan meresponsnya dengan cepat. Aku bahkan bisa merasakan kehadirannya meskipun jarak kami saling berjauhan saat ini. Menakjubkan!
"Ada apa, Nona?" suaranya terdengar di kepalaku.
"Hei, apakah kau tahu kabar terbaru?" tanyaku.
"Penyihir itu telah menemukan si pengacau?" ia tampak senang bercampur geram.
"Bagaimana kau tahu?" tanyaku.
"Evander sudah memberitahuku," balasnya.
Aku sontak menoleh ke arah Evander. Ia mengangkat kedua alisnya padaku.
"Apa?" tanyanya.
"Aku baru saja berbicara dengan Azelyn," ujarku lirih.
Evander menatapku seolah tak mempercayai kata-kataku.
"Benarkah?" Ia mengernyitkan dahinya dan memajukan wajahnya ke arahku.
Aku mengangguk meyakinkannya.
"kalian berdua bisa berkomunikasi meski dalam jarak jauh seperti ini?" tanyanya seolah tak percaya. "Selama ini hanya aku yang bisa melakukannya dengan Azelyn." tambahnya.
Tiba-tiba kami berdua melonjak kaget ketika kami mendengar suara Azelyn di dalam pikiran kami masing-masing.
"Jangan berdebat hanya karena hal kecil seperti ini, anak-anak!" serunya.
Kami berdua sontak saling bertatapan ketika mendengar perintah Azelyn yang ditujukan secara bersamaan ke dalam pikiran kami. Kemudian kami tertawa.
"Sudahlah, ayo kita segera menemukan si pengacau itu!" Evander mengatakannya dan menepuk punggungku memberi isyarat untuk menghadap ke arah pintu.
Evander seperti biasa mengangkat sebelah tangannya dan menghadapkan telapak tangannya ke arah pintu. Ia pasti sedang mengalirkan energi sihirnya ke ara pintu itu untuk membukanya. Aku memandangi tangannya dengan takjub. Telapak tangan itu berpendar ketika ia menggumamkan sebuah mantra. Tiba-tiba pintu bear itu membuka ke dalam.
Aku masih merasa pemandangan yang tampak di depan mataku barusan adalah sesuatu yang menakjubkan meski ini bukan kali pertama kau melihatnya. Aku masih takjub dengan kemampuannya menggunakan sihir. Pendar di telapak tangannya menghilang ketika pintu sudah membuka dengan sempurna.
"Ayo!" Ia memiringkan kepalanya agar aku melangkah keluar.
Aku berjalan melewati pintu itu dan Evander mengikutiku dari belakang. Ketika kami sudah berada di luar, pintu itu menutup secara otomatis.
"Ini menakjubkan!" seruku.
Evander tertawa mendengar ucapanku. Ia berjalan menuju aula dan kali ini ia tidak menggandeng tanganku. Mungkin karena sebentar lagi ia akan berjumpa dengan beberapa pengawal istana yang menunggunya di aula. Aku mengepalkan kedua tanganku di samping tubuhku untuk meredakan rasa kecewaku karna dia tidak menuntun tanganku.
Aku kesal pada diriku sendiri karena aku merasakan hal konyol seperti ini. Ingin rasanya aku meninju dahiku sendiri untuk menyandarkan bahwa aku tidak boleh merasakan hal seperti ini terhadap Evander. Ia bukan manusia seperti aku kan? Aku menghembuskan nafas dengan berat.
Kami berdua berjalan berdampingan.
"Hukuman apa yang akan kau berikan padanya?" pikiranku melayang pada si pengacau yang akan segera kami temui.
"Hukuman yang akan membuatnya menyesal seumur hidup." Nada ancaman di dalam suaranya membuatku merasa ketakutan.
Bagaimanapun dia adalah seorang penguasa di negeri ini. Aku juga harus berhati-hati agar tidak membuatnya marah. Aku kembali mengingat mimpiku yang memperlihatkan Evander sedang mengayunkan pedangnya ke arah leherku. Aku merasa tenggorokanku tercekat.
Aku melirik ke arahnya. Dia juga sosok yang berbahaya, aku mengingatkan diriku sendiri. Kami berdua berjalan dan tiba di aula yang sudah dipenuhi oleh beberapa orang penting si istana. Di sana tampak rombongan penyihir sudah berbaris mengenakan jubah yang aku lihat saat pertama kali melihat mereka. Di depan kelompok itu, berdirilah Dalish.
Saat ini Dalish tidak mengenakan tudung si kepalanya. Ia membiarkan jubahnya menjuntai di bahunya. Tatapannya terlihat tajam dan berbahaya. Saat ini ia sedang menatap kedatangan kami berdua. Ia terlihat marah ketika melihatku berjalan bersama Evander. Aku mengabaikan tatapannya.
"Dimana pengkhianat itu?" tanya Evander.
"Aku sudah menangkapnya dan mengurungnya di penjara. Ayo!" Dalish terdengar begitu bersemangat.
Evander melangkah meninggalkan aula. Mungkin dia mengarah ke penjara. Aku mengikutinya di sampingnya dan semua orang mengikuti kami di belakang. Aku merasa bulu kudukku merinding ketika aku menyadari bahwa aku adalah satu-satunya manusia di tempat ini.
Kami sudah sampai di luar istana. Aku mendengar suara kepakan sayap yang familier. Azelyn bergabung bersama kami. Ia berjalan di depan Evander. Kami berjalan selama beberapa menit. Aku merasa aneh tidak melihat keberadaan Baltazar di rombongan ini. Mungkin dia sedang mengerjakan tugas lain, batinku.
Kami sampai di depan sebuah bangunan tinggi menjulang yang tampak seperti kastil tua berwarna abu-abu. Ini adalah satu-satunya bangunan di tempat ini yang tidak bersepuh emas. Mungkin karena ini adalah penjara.
Rombongan kami berhenti di depan bangunan itu. Kami semua berdiri dan tampak tegang ingin segera mengetahui siapa pelaku yang telah mengacaukan lembah naga.
"Aku, Raja dan Penguasa Woodland Realm akan mengadili setiap pengkhianat yang ada!" Suara Evander terdengar menggelegar.
Kami menunggu sipir penjara untuk membawa si pengkhianat. Beberapa detik kemudian, pintu penjara terbuka dan menampakkan seorang sipir penjara yang menarik seseorang dengan kedua tangan diborgol. Aku membelalakkan mataku menatap ke arah orang itu dengan tak percaya. Tidak mungkin! Aku merasakan Evander terkesiap di sampingku.
"Tidak mungkin," bisik Evander.
Sosok yang ditarik oleh sipir penjara itu adalah Baltazar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments