Aku menegang mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh Azelyn. Tubuhku menjadi kaku dan wajahku pastilah tampak pucat. Baltazar seolah membaca ekspresi wajahku.
"Ada apa?" tanya Baltazar.
"Evander terluka," bisikku dengan tangan gemetar.
Aku merasakan ketegangan mengaliri tubuhku. Bagaimana mungkin Evander terluka. Sepertinya saat ini situasi di istana berubah menjadi sangat genting. Jika ada yang berani menyerang Evander dengan terang-terangan, itu artinya kami menghadapi situasi yang teramat serius.
Azelyn kembali meraung dan kali ini dia mengeluarkan api kecil dari cuping hidungnya.
"Kita harus segera menemuinya!" seruku.
Baltazar mengangguk dan kami berlari bersama menuju ke arah istana. Azelyn terbang dengan cepat mendahului kami. Ia mengarah langsung ke istana.
Untung saja ikatan batin antara Evander dengan Azelyn begitu kuat hingga Azelyn bisa merasakan ketika ia terluka. Apa yang sebenarnya sedang terjadi di sini? Kenapa sejak kedatanganku kemari, seolah situasi menjadi sangat genting seperti ini? Pikiran ini menggangguku.
Beberapa menit kemudian, kami sampai di depan pintu aula. Aku melihat Azelyn berjalan pelan di sepanjang aula karena ukuran tubuhnya yang besar seolah ia takut akan menghancurkan pilar-pilar di dalam aula jika ia tidak sengaja menabraknya.
"Dimana Evander?" tanyaku seraya menoleh ke segala penjuru di aula luas itu.
"Aku akan menanyakannya pada Orin," Baltazar bersiul dengan irama yang mungkin merupakan alat komunikasi bagi kalangan pengawal istana, sebab beberapa detik setelah siulannya, Orin segera berlari menghampiri kami.
"Dimana Evander?" desak Baltazar.
"Kami membawanya ke pusat pengobatan di samping istana," jawab Orin.
"Apa yang terjadi?" tanyaku kemudian.
"Tadi ... ," ucapannya terpotong oleh suara seseorang yang menghampiri kami. Aku menoleh ke asal suara itu.
"Aku sudah mengobatinya, kalian tidak perlu khawatir," ucap seorang perempuan yang sedang berjalan menghampiri kami di aula.
Baltazar menundukkan tubuh kemudian kembali menegakkan tubuhnya di depan perempuan itu.
"Terimakasih, Belda!" ujar Baltazar.
"Kami ingin menemuinya," ujarku pada perempuan yang di panggil Belda oleh Baltazar.
Belda menatapku selama beberapa detik yang bagiku terasa seperti setahun lamanya. Tatapannya seolah menembus ke dalam jiwaku. Aku merasakan tenggorokanku tercekat. Pandangannya padaku membuatku merasa gugup. Siapa lagi ini? Aku bertanya dalam hati.
"Aku Belda, tabib elf." Ia memperkenalkan dirinya padaku.
Aku mengangguk ke arahnya.
"Cathleen," ujarku pelan dan mengulurkan sebelah tanganku ke arahnya.
"Ya, aku sudah pernah mendengar tentangmu." balasnya seraya menjabat tanganku. Genggaman tangannya terasa begitu kuat. Mungkin kaum elf memang memiliki kekuatan jauh di atas manusia rata-rata, pikirku.
"Bagaimana kau bisa mendengar tentangku?" tanyaku penasaran.
"Aku memiliki banyak mata dan telinga di istana, Nona!" balasnya.
Aku tidak menjawabnya.
"Kami ingin segera menemui Evander," Baltazar memotong pembicaraan kami.
"Baiklah." Belda berjalan meninggalkan kami.
Setelah kepergiannya, aku menanyakan tentangnya pada Baltazar.
"Siapa sebenarnya perempuan itu?" tanyaku.
"Ia Belda, tabib para elf."
"Bagaimana dia bisa tahu tentangku?" Aku kembali bertanya.
"Berita tentangmu cepat sekali menyebar di istana," balasnya.
Ia berjalan meninggalkan aula dan aku mengikutinya. Azelyn berjalan di sampingku. Kami mengarah ke bagian samping istana tempat terdapat sebuah bangunan yang mereka sebut tempat pengobatan.
Baltazar masuk ke dalam tempat pengobatan diikuti aku di belakangnya. Azelyn terpaksa menunggu di luar karena dia tidak muat untuk memasuki bangunan itu. Bangunan itu berukuran kecil untuk tubuhnya yang besar.
Aku melihat Evander berbaring di sebuah tempat tidur. Wajahnya nampak pucat. Kami berdua menghampirinya. Terdapat perban yang melilit bagian samping kiri tubuhnya. Perban itu membalut bahu kirinya dan juga bagian kiri tubuhnya.
"Apa yang terjadi?" Baltazar menanyakannya dengan panik.
Evander menoleh ke arah kami. Ia mengernyit ketika hendak bangkit dari tidurnya. Baltazar menahannya.
"Jangan bangun!"
Evander menurutinya. Ia kembali berbaring dan menghela nafas dengan berat.
"Apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini padamu?" Kini suara Baltazar sarat oleh amarah.
"Aku tidak tahu siapa yang melakukannya." Evander menjawab singkat.
"Apa maksudmu?" Baltazar memiringkan kepalanya.
"Tadi, aku ingin mengunjungi kediaman penyihir untuk menanyakan perihal kekacauan itu, namun tiba-tiba ada yang menyerangku dengan panah. Ku rasa panah itu dilontarkan dengan energi sihir yang cukup besar. Aku tidak sempat menangkalnya.
"Apakah kau tidak melihat siapa pelakunya?" tanya Baltazar.
Evander menggeleng lemah.
"Kau." Baltazar meletakkan telapak tangannya di kening Evander. Ia terlihat panik.
"Ada apa?" tanyaku.
"Panah ini mengandung racun," bisik Baltazar.
Aku terkesiap mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Baltazar. Ini artinya ada seseorang yang sengaja ingin membunuh Evander.
"Kau demam," ujar Baltazar.
"Belda sudah memberikan ramuan obat padaku." Ia terlihat lemah.
Hatiku terasa sesak melihat Evander terbaring lemah seperti saat ini.
Kami kaget oleh suara geraman rendah yang berasal dari pintu. Kami bertiga menoleh ke arah suara itu dan mendapati kepala Azelyn muncul dari pintu. Tatapan matanya begitu sayu dan menampakkan kesedihan.
"Aku akan mencabik-cabik orang yang menyerangmu!" raungan Azelyn terdengar di dalam pikiranku dan juga Evander.
"Ya, aku tidak ragu kau pasti akan melakukannya." Evander tertawa demi menghibur naganya.
"Aku akan menemukan siapa penyerangmu!" seru Baltazar.
Evander mengangguk. Kali ini tatapannya beralih ke arahku. Tatapan kami beradu seolah itu adalah hal yang sudah lama kami lakukan sejak lama seolah jiwa kami telah saling menyatu.
"Aku ingin kembali ke kediamanku," ujar Evander.
"Ayo, aku akan mengantarmu." Baltazar bangkit dan hendak menggendong Evander.
"Tidak perlu! Aku bisa berjalan sendiri!" balas Evander.
"Tidak! Kau terlalu lemah untuk berjalan! Biar aku saja yang menggendongmu!" balas Baltazar.
Aku tertawa melihat mereka berdua berdebat seperti kakak dan adik. Akhirnya Evander mengalah. Baltazar menggendongnya di punggungnya.
Aku berjalan bersama Baltazar yang sedang menggendong Evander di punggungnya. Azelyn kembali ke tempat peristirahatannya di bagian belakang istana, sementara kami berjalan ke arah kediaman pribadi Evander.
"Turunkan aku di sini!" perintah Evander ketika kami tiba di depan pintu besar yang mengarah ke ruangan pribadi Evander.
Baltazar menurut perintahnya. Ia menurunkan Evander.
"Kau bisa kembali ke tempatmu," perintah Evander.
"Kalau keu butuh sesuatu, cepat panggil aku," ujar Baltazar.
Evander mengangguk ke arahnya. Baltazar menoleh ke arahku dengan pandangan bertanya.
"Ia akan tinggal di sini denganku. Menurutku ini adalah tempat yang paling aman baginya," jelas Evander.
Baltazar mengangguk dan berbalik pergi meninggalkan kami.
Evander membuka pintu besar itu dengan sihir yang berasal dari telapak tangannya. Setelahnya, kami berdua masuk dan pintu menutup di belakang kami.
Evander berusaha berjalan sendiri ke arah sofa namun dia terhuyung. Aku menahan tubuhnya agar tidak terjatuh dan membopongnya ke sofa.
"Apa kau mau minum sesuatu atau makan sesuatu?" tanyaku.
"Tidak, kemarilah!" ujarnya.
Aku duduk di sampingnya. Kami duduk dalam keheningan selama beberapa detik.
"Cathleen," bisiknya dan menarikku ke dalam pelukannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments