Selepas Ijab Kabul
Pyar!
Alenna tersentak kaget saat tanpa sengaja, dia menyenggol sebuah gelas di atas kitchen set sehingga gelas bening berisi air putih itu jatuh ke lantai dan pecah berantakan. Seketika, jantungnya berdetak dengan kencang. Matanya melebar saat bayangan wajah Firdaus tiba-tiba menjelma dalam ingatan.
Entah mengapa, perasaannya menjadi tidak tenteram saat mengingat suaminya yang tadi sempat pamit untuk lari pagi. Mungkinkah ini sebuah pertanda buruk? Batinnya bertanya-tanya. Wanita berparas cantik dengan rambut diekor kuda itu seketika menengadahkan kedua tangannya ke udara, memohon perlindungan kepada Yang Mahakuasa demi keselamatan sang suami.
“Ya Allah, ya Tuhanku ... tolong lindungilah suamiku di mana pun dia berada. Jangan biarkan sesuatu yang buruk terjadi padanya. Aamiin.” Selesai berdoa, Alenna meraup wajahnya dengan dua telapak tangan.
Lantas, dia segera mengambil sapu ijuk dan sekop sampah di belakang untuk membersihkan pecahan beling yang berserakan di atas lantai. Dengan perasaan tidak karuan, Alenna pun memutuskan untuk melanjutkan aktivitas memasaknya yang tertunda. Pagi ini, dia berencana ingin menyiapkan sarapan istimewa untuk suami tercinta yang hendak masuk kerja untuk pertama kalinya setelah mengambil cuti panjang.
Hari ini, tepat satu minggu, dia dan Firdaus menjalani hidup bersama sebagai pasangan suami istri. Mereka yang sama-sama bekerja telah mengambil cuti selama sepuluh hari untuk mempersiapkan pernikahan sekaligus berbulan madu ke Pulau Dewata.
Alenna tersenyum puas ketika semua masakannya telah matang dan tersaji di meja makan. Wanita yang masih mengenakan setelan piama satin berwarna salem itu pun menoleh ke arah jam dinding. Seketika, perasaannya kembali cemas karena Firdaus tidak kunjung pulang. Padahal waktu telah menunjukkan pukul 06.30. Biasanya, di jam-jam seperti ini, suaminya itu sudah pulang dari joging.
"Ah, tidak mungkin!" Alenna menggeleng cepat untuk menepis pikiran-pikiran buruk yang baru saja melintas di kepalanya. "Mas Firdaus pasti baik-baik saja. Aku harus tetap tenang dan positive thinking."
Alenna menarik napas dalam-dalam untuk mengusir perasaan takut dan gelisah yang memenuhi rongga dada. Wanita berusia seperempat abad itu pun melepaskan celemek warna merah yang melekat di bagian depan tubuhnya, lalu menggantungnya pada dinding dapur. Sepersekian detik kemudian, dia naik ke lantai atas untuk membersihkan diri.
Keluar dari kamar mandi, Alenna yang hanya berbalut handuk kuning segera membuka lemari untuk mengambil satu set pakaian kasual. Sambil berpakaian, wanita itu menoleh ke arah jam dinding yang telah menunjukkan waktu hampir pukul tujuh. Perasaan cemas kembali bertandang di hati karena sampai saat ini, Firdaus belum juga pulang.
"Mas, kamu di mana, sih? Kenapa nggak pulang-pulang?" Alenna bermonolog. Kemudian, dia mengambil inisiatif untuk menelepon suaminya. Mujur, Firdaus tadi tidak lupa untuk membawa ponselnya.
"Halo."
Setelah panggilan terhubung, suara perempuan membuatnya terkejut setengah mati.
"Halo, ini siapa, ya? Kenapa Anda bisa membawa ponsel suami saya?" tanya Alenna dengan jantung yang berdetak kencang dan emosi yang tiba-tiba memuncak. Mendengar suara perempuan di ujung talian, satu pikiran buruk melintas di benaknya. Mungkinkah saat ini Firdaus sedang berselingkuh di belakangnya?
"Halo. Saya suster Erna dari Rumah Sakit Umum Pusat. Apa benar, Bapak Firdaus Iskandar adalah suami Ibu?"
Deg!
Jantung Alenna seakan melompat keluar begitu mendengar kata rumah sakit. Pikiran buruk yang lain pun melintas dalam benaknya.
"I--iya, Suster. Saya Alenna, istri dari Firdaus Iskandar. Apa yang terjadi pada suami saya, Suster?" tanya Alenna dengan raut panik. Debaran dalam dada terasa semakin kencang. Perasaan takut menyelimuti ruang hatinya.
"Suami Ibu baru saja mengalami kecelakaan di jalan raya. Beliau menjadi korban tabrak lari sebuah mobil. Seorang warga menemukannya tergeletak di tengah jalan dalam keadaan tidak sadar dan langsung membawanya ke rumah sakit," terang suster tersebut dengan hati-hati.
"Apa?" Alenna seperti disambar petir ketika mendengar kabar yang amat mengejutkan itu. Parasnya memucat seketika. "Lalu bagaimana keadaannya, Suster?"
"Waktu dibawa kemari, keadaan pasien sudah sangat kritis karena terlalu banyak mengeluarkan darah dari kepalanya. Saat ini, para dokter sedang melakukan operasi untuk menyelamatkan nyawanya."
"Astaghfirullah al-'azim ...."
Alenna membekap mulutnya yang ternganga dengan sebelah tangan. Cairan bening yang bergenang di pelupuk mata sudah tidak terbendung lagi. Air mata itu jatuh satu-satu, mengalir perlahan-lahan di kedua pipinya yang tirus. Ponsel yang ada di tangan pun tiba-tiba terlepas dan jatuh ke lantai. Kedua kakinya terasa lemas tak bertulang. Dia jatuh merosot ke bawah lalu menangis dan menjerit sekeras-kerasnya memanggil nama Firdaus.
Setelah berhasil mengumpulkan kekuatannya kembali, Alenna segera bangkit dan mengambil ponsel yang tergeletak di atas lantai. Mujur, benda elektronik tersebut masih berfungsi dengan normal setelah jatuh. Segera, ia menghubungi kontak yang ia simpan dengan nama 'IBU'.
"Halo, Alenna." Satu suara lembut menyapa gendang telinganya tidak lama setelah ia menekan tombol panggil.
"Halo, Bu."
"Alenna! Ada apa, Nak?" Suara di seberang mulai terdengar panik karena mendengar nada bicara putrinya yang serak dan diselingi dengan isakan tangis.
"Mas Firdaus, Bu. Mas Firdaus baru saja mengalami kecelakaan di jalan raya. Saat ini, dia sedang dioperasi karena kondisinya sangat kritis. Kata suster yang baru saja meneleponku, dia kehilangan banyak darah ...." Alenna tidak mampu melanjutkan kata-katanya lagi. Bulir bening mengalir semakin deras di kedua pipinya. Kedua bahunya berguncang hebat karena tangisan yang kian menjadi-jadi.
"Astaghfirullah al-'azim. Kamu sekarang di mana, Alenna?"
"Alenna masih di rumah, Bu. Ibu ke sini, ya. Kita ke rumah sakit sama-sama."
"Oke, Alenna. Kamu tunggu di sana, ya. Ibu segera datang."
Panggilan pun terputus. Alenna segera beranjak ke lemari, lalu mengganti pakaian rumahannya dengan pakaian yang lebih sopan. Tanpa merias wajah dan merapikan rambutnya yang sedikit berantakan, wanita itu segera meraih tas di atas nakas lalu berjalan cepat keluar dari kamarnya. Yang ada di pikirannya saat itu hanyalah Firdaus. Dia ingin segera melihat keadaan suaminya di rumah sakit.
Tak lama setelah ia menunggu di depan rumah, mobil ibunya tampak memasuki pekarangan. Begitu Honda Jazz putih itu berhenti di dekatnya, dia segera membuka pintu bagian depan, lalu masuk ke perut mobil.
"Kenapa Firdaus bisa kecelakaan, Alenna? Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Sarah saat mobilnya telah meluncur dengan kecepatan normal di jalan raya. Raut wajah wanita paruh baya itu terlihat sangat panik. Sama seperti Alenna.
"Kata suster, Mas Firdaus jadi korban tabrak lari, Bu. Tadi sehabis salat Subuh, dia sempat pamit sama Alenna untuk pergi joging," terang Alenna dengan sepasang netra yang kembali berembun.
"Jangan panik, Alenna! Kita sama-sama berdoa untuk keselamatan suamimu. Semoga Firdaus baik-baik saja." Sarah mencoba menghibur putrinya meskipun saat itu, dia juga merasa sangat cemas.
Begitu Honda Jazz itu berhenti di parkiran rumah sakit, Alenna segera membuka pintu dan keluar dari mobil. Bersama Sarah, dia berjalan cepat menuju Ruang Instalasi Gawat Darurat.
"Suster, saya Alenna, istri dari Firdaus Iskandar yang dikabarkan mengalami kecelakaan di jalan raya. Boleh saya tahu, di mana suami saya sekarang?" tanya Alenna kepada seorang suster yang bertugas di sana.
Setelah mendapatkan informasi tentang keberadaan Firdaus, Alenna dan Sarah pun bergerak cepat menuju ruang operasi yang ditunjukkan oleh suster. Di depan ruang operasi, mereka bertemu dengan Aruni dan Farhan, kedua orang tua Firdaus yang sedang duduk menunggu di sebuah bangku besi.
"Mama, Papa!" panggil Alenna sambil mengikis jarak dengan kedua mertuanya.
"Bapak Farhan, Ibu Aruni, bagaimana keadaan Firdaus?" tanya Sarah penasaran. Raut panik masih menghiasi wajah ibu dan anak itu.
Aruni segera bangkit dari duduknya dan berhadapan dengan Alenna. Pun dengan Farhan yang berdiri di sisi istrinya.
"Alenna, kamu yang sabar, ya, Nak. Kata dokter, Firdaus masih bisa diselamatkan. Tapi kalau dia sampai koma, mungkin akan mengambil waktu yang cukup lama," tutur Aruni sambil meraih tangan Alenna untuk menyalurkan kekuatan. Wanita berhijab pashmina itu terlihat tegar meskipun ujian berat sedang menimpa putra kandungnya.
Mendengar kata koma, cairan bening kembali berdesak-desakan memenuhi kolam netra Alenna. Tubuhnya kembali lemas seperti tak bertulang. Kedua kakinya tidak mampu lagi menahan beban tubuhnya. Wanita itu hampir saja roboh jika Sarah dan Aruni tidak bergerak cepat untuk menahan kedua lengannya.
"Alenna! Alenna!" Sarah dan Aruni tampak panik. Segera mereka mendudukkan Alenna pada bangku besi yang ada di sana. Sarah menggenggam jemari tangan putrinya untuk menyalurkan kekuatan. Sedangkan Aruni mengusap-usap punggung menantunya dengan lembut untuk menenangkan dan menabahkan hatinya.
"Mas Firdaus ...," desis Alenna dengan sebutir kristal bening yang kembali jatuh menodai pipi. Ujian ini terasa begitu berat untuknya. Baru satu minggu, dia merasakan hidup yang bahagia sebagai seorang istri dan sekarang, suaminya tiba-tiba terbaring di meja operasi dalam keadaan kritis.
Mas harus kuat. Mas harus sembuh. Alenna ada di sini untuk Mas. Bukankah Mas sudah janji kalau kita akan hidup bersama sampai kita tua nanti? Mas sudah janji! Batin Alenna menjerit.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
Wirda Wati
hadir kak
2023-10-05
1
Hilman damara
hadir kak
2023-09-30
1
Pujiyati Astuti
semangat kak 💪💪💪
2023-09-22
1