Pyar!
Alenna tersentak kaget saat tanpa sengaja, dia menyenggol sebuah gelas di atas kitchen set sehingga gelas bening berisi air putih itu jatuh ke lantai dan pecah berantakan. Seketika, jantungnya berdetak dengan kencang. Matanya melebar saat bayangan wajah Firdaus tiba-tiba menjelma dalam ingatan.
Entah mengapa, perasaannya menjadi tidak tenteram saat mengingat suaminya yang tadi sempat pamit untuk lari pagi. Mungkinkah ini sebuah pertanda buruk? Batinnya bertanya-tanya. Wanita berparas cantik dengan rambut diekor kuda itu seketika menengadahkan kedua tangannya ke udara, memohon perlindungan kepada Yang Mahakuasa demi keselamatan sang suami.
“Ya Allah, ya Tuhanku ... tolong lindungilah suamiku di mana pun dia berada. Jangan biarkan sesuatu yang buruk terjadi padanya. Aamiin.” Selesai berdoa, Alenna meraup wajahnya dengan dua telapak tangan.
Lantas, dia segera mengambil sapu ijuk dan sekop sampah di belakang untuk membersihkan pecahan beling yang berserakan di atas lantai. Dengan perasaan tidak karuan, Alenna pun memutuskan untuk melanjutkan aktivitas memasaknya yang tertunda. Pagi ini, dia berencana ingin menyiapkan sarapan istimewa untuk suami tercinta yang hendak masuk kerja untuk pertama kalinya setelah mengambil cuti panjang.
Hari ini, tepat satu minggu, dia dan Firdaus menjalani hidup bersama sebagai pasangan suami istri. Mereka yang sama-sama bekerja telah mengambil cuti selama sepuluh hari untuk mempersiapkan pernikahan sekaligus berbulan madu ke Pulau Dewata.
Alenna tersenyum puas ketika semua masakannya telah matang dan tersaji di meja makan. Wanita yang masih mengenakan setelan piama satin berwarna salem itu pun menoleh ke arah jam dinding. Seketika, perasaannya kembali cemas karena Firdaus tidak kunjung pulang. Padahal waktu telah menunjukkan pukul 06.30. Biasanya, di jam-jam seperti ini, suaminya itu sudah pulang dari joging.
"Ah, tidak mungkin!" Alenna menggeleng cepat untuk menepis pikiran-pikiran buruk yang baru saja melintas di kepalanya. "Mas Firdaus pasti baik-baik saja. Aku harus tetap tenang dan positive thinking."
Alenna menarik napas dalam-dalam untuk mengusir perasaan takut dan gelisah yang memenuhi rongga dada. Wanita berusia seperempat abad itu pun melepaskan celemek warna merah yang melekat di bagian depan tubuhnya, lalu menggantungnya pada dinding dapur. Sepersekian detik kemudian, dia naik ke lantai atas untuk membersihkan diri.
Keluar dari kamar mandi, Alenna yang hanya berbalut handuk kuning segera membuka lemari untuk mengambil satu set pakaian kasual. Sambil berpakaian, wanita itu menoleh ke arah jam dinding yang telah menunjukkan waktu hampir pukul tujuh. Perasaan cemas kembali bertandang di hati karena sampai saat ini, Firdaus belum juga pulang.
"Mas, kamu di mana, sih? Kenapa nggak pulang-pulang?" Alenna bermonolog. Kemudian, dia mengambil inisiatif untuk menelepon suaminya. Mujur, Firdaus tadi tidak lupa untuk membawa ponselnya.
"Halo."
Setelah panggilan terhubung, suara perempuan membuatnya terkejut setengah mati.
"Halo, ini siapa, ya? Kenapa Anda bisa membawa ponsel suami saya?" tanya Alenna dengan jantung yang berdetak kencang dan emosi yang tiba-tiba memuncak. Mendengar suara perempuan di ujung talian, satu pikiran buruk melintas di benaknya. Mungkinkah saat ini Firdaus sedang berselingkuh di belakangnya?
"Halo. Saya suster Erna dari Rumah Sakit Umum Pusat. Apa benar, Bapak Firdaus Iskandar adalah suami Ibu?"
Deg!
Jantung Alenna seakan melompat keluar begitu mendengar kata rumah sakit. Pikiran buruk yang lain pun melintas dalam benaknya.
"I--iya, Suster. Saya Alenna, istri dari Firdaus Iskandar. Apa yang terjadi pada suami saya, Suster?" tanya Alenna dengan raut panik. Debaran dalam dada terasa semakin kencang. Perasaan takut menyelimuti ruang hatinya.
"Suami Ibu baru saja mengalami kecelakaan di jalan raya. Beliau menjadi korban tabrak lari sebuah mobil. Seorang warga menemukannya tergeletak di tengah jalan dalam keadaan tidak sadar dan langsung membawanya ke rumah sakit," terang suster tersebut dengan hati-hati.
"Apa?" Alenna seperti disambar petir ketika mendengar kabar yang amat mengejutkan itu. Parasnya memucat seketika. "Lalu bagaimana keadaannya, Suster?"
"Waktu dibawa kemari, keadaan pasien sudah sangat kritis karena terlalu banyak mengeluarkan darah dari kepalanya. Saat ini, para dokter sedang melakukan operasi untuk menyelamatkan nyawanya."
"Astaghfirullah al-'azim ...."
Alenna membekap mulutnya yang ternganga dengan sebelah tangan. Cairan bening yang bergenang di pelupuk mata sudah tidak terbendung lagi. Air mata itu jatuh satu-satu, mengalir perlahan-lahan di kedua pipinya yang tirus. Ponsel yang ada di tangan pun tiba-tiba terlepas dan jatuh ke lantai. Kedua kakinya terasa lemas tak bertulang. Dia jatuh merosot ke bawah lalu menangis dan menjerit sekeras-kerasnya memanggil nama Firdaus.
Setelah berhasil mengumpulkan kekuatannya kembali, Alenna segera bangkit dan mengambil ponsel yang tergeletak di atas lantai. Mujur, benda elektronik tersebut masih berfungsi dengan normal setelah jatuh. Segera, ia menghubungi kontak yang ia simpan dengan nama 'IBU'.
"Halo, Alenna." Satu suara lembut menyapa gendang telinganya tidak lama setelah ia menekan tombol panggil.
"Halo, Bu."
"Alenna! Ada apa, Nak?" Suara di seberang mulai terdengar panik karena mendengar nada bicara putrinya yang serak dan diselingi dengan isakan tangis.
"Mas Firdaus, Bu. Mas Firdaus baru saja mengalami kecelakaan di jalan raya. Saat ini, dia sedang dioperasi karena kondisinya sangat kritis. Kata suster yang baru saja meneleponku, dia kehilangan banyak darah ...." Alenna tidak mampu melanjutkan kata-katanya lagi. Bulir bening mengalir semakin deras di kedua pipinya. Kedua bahunya berguncang hebat karena tangisan yang kian menjadi-jadi.
"Astaghfirullah al-'azim. Kamu sekarang di mana, Alenna?"
"Alenna masih di rumah, Bu. Ibu ke sini, ya. Kita ke rumah sakit sama-sama."
"Oke, Alenna. Kamu tunggu di sana, ya. Ibu segera datang."
Panggilan pun terputus. Alenna segera beranjak ke lemari, lalu mengganti pakaian rumahannya dengan pakaian yang lebih sopan. Tanpa merias wajah dan merapikan rambutnya yang sedikit berantakan, wanita itu segera meraih tas di atas nakas lalu berjalan cepat keluar dari kamarnya. Yang ada di pikirannya saat itu hanyalah Firdaus. Dia ingin segera melihat keadaan suaminya di rumah sakit.
Tak lama setelah ia menunggu di depan rumah, mobil ibunya tampak memasuki pekarangan. Begitu Honda Jazz putih itu berhenti di dekatnya, dia segera membuka pintu bagian depan, lalu masuk ke perut mobil.
"Kenapa Firdaus bisa kecelakaan, Alenna? Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Sarah saat mobilnya telah meluncur dengan kecepatan normal di jalan raya. Raut wajah wanita paruh baya itu terlihat sangat panik. Sama seperti Alenna.
"Kata suster, Mas Firdaus jadi korban tabrak lari, Bu. Tadi sehabis salat Subuh, dia sempat pamit sama Alenna untuk pergi joging," terang Alenna dengan sepasang netra yang kembali berembun.
"Jangan panik, Alenna! Kita sama-sama berdoa untuk keselamatan suamimu. Semoga Firdaus baik-baik saja." Sarah mencoba menghibur putrinya meskipun saat itu, dia juga merasa sangat cemas.
Begitu Honda Jazz itu berhenti di parkiran rumah sakit, Alenna segera membuka pintu dan keluar dari mobil. Bersama Sarah, dia berjalan cepat menuju Ruang Instalasi Gawat Darurat.
"Suster, saya Alenna, istri dari Firdaus Iskandar yang dikabarkan mengalami kecelakaan di jalan raya. Boleh saya tahu, di mana suami saya sekarang?" tanya Alenna kepada seorang suster yang bertugas di sana.
Setelah mendapatkan informasi tentang keberadaan Firdaus, Alenna dan Sarah pun bergerak cepat menuju ruang operasi yang ditunjukkan oleh suster. Di depan ruang operasi, mereka bertemu dengan Aruni dan Farhan, kedua orang tua Firdaus yang sedang duduk menunggu di sebuah bangku besi.
"Mama, Papa!" panggil Alenna sambil mengikis jarak dengan kedua mertuanya.
"Bapak Farhan, Ibu Aruni, bagaimana keadaan Firdaus?" tanya Sarah penasaran. Raut panik masih menghiasi wajah ibu dan anak itu.
Aruni segera bangkit dari duduknya dan berhadapan dengan Alenna. Pun dengan Farhan yang berdiri di sisi istrinya.
"Alenna, kamu yang sabar, ya, Nak. Kata dokter, Firdaus masih bisa diselamatkan. Tapi kalau dia sampai koma, mungkin akan mengambil waktu yang cukup lama," tutur Aruni sambil meraih tangan Alenna untuk menyalurkan kekuatan. Wanita berhijab pashmina itu terlihat tegar meskipun ujian berat sedang menimpa putra kandungnya.
Mendengar kata koma, cairan bening kembali berdesak-desakan memenuhi kolam netra Alenna. Tubuhnya kembali lemas seperti tak bertulang. Kedua kakinya tidak mampu lagi menahan beban tubuhnya. Wanita itu hampir saja roboh jika Sarah dan Aruni tidak bergerak cepat untuk menahan kedua lengannya.
"Alenna! Alenna!" Sarah dan Aruni tampak panik. Segera mereka mendudukkan Alenna pada bangku besi yang ada di sana. Sarah menggenggam jemari tangan putrinya untuk menyalurkan kekuatan. Sedangkan Aruni mengusap-usap punggung menantunya dengan lembut untuk menenangkan dan menabahkan hatinya.
"Mas Firdaus ...," desis Alenna dengan sebutir kristal bening yang kembali jatuh menodai pipi. Ujian ini terasa begitu berat untuknya. Baru satu minggu, dia merasakan hidup yang bahagia sebagai seorang istri dan sekarang, suaminya tiba-tiba terbaring di meja operasi dalam keadaan kritis.
Mas harus kuat. Mas harus sembuh. Alenna ada di sini untuk Mas. Bukankah Mas sudah janji kalau kita akan hidup bersama sampai kita tua nanti? Mas sudah janji! Batin Alenna menjerit.
Dengan telaten, Alenna merawat suaminya yang divonis mengalami koma pasca-operasi. Setiap hari, dia menjaga dan mendampingi Firdaus di ruang perawatan. Tidak meninggalkannya barang sedetik pun. Dia bahkan rela meninggalkan pekerjaannya sebagai interior designer di salah satu perusahaan konstruksi ternama di kota Bogor. Mujur, bosnya di kantor begitu bersimpati atas musibah yang sedang menimpanya sehingga mau memberikan cuti hingga Firdaus sembuh.
Setiap kali membersihkan wajah suaminya dengan kain waslap yang telah dibasahi dengan air hangat, bulir bening selalu menghiasi wajah Alenna. Sambil merenung wajah Firdaus yang sebagian tertutup dengan alat bantu pernapasan dan kepala yang berbalut perban putih, dia selalu merapal doa di dalam hati agar suaminya itu segera sadar dan sembuh dari sakitnya.
Mas harus sembuh. Mas harus sadar demi Alenna. Ingat janji Mas sama Alenna!
Dengan air mata yang berlinang, Alenna mengambil tangan kanan Firdaus lalu mengecupnya dengan takzim. Selain membersihkan wajah dan sebagian tubuh Firdaus, dia juga menggantikan pakaian pria itu dengan pakaian pasien yang diberikan oleh suster.
Ketika malam menjelang, setelah salat Isya dan mendoakan kesembuhan suaminya, Alenna pun duduk di sisi pembaringan Firdaus. Dia merenung wajah yang amat ia cintai itu dalam-dalam untuk waktu yang cukup lama. Lalu matanya kembali berkaca-kaca.
Kamu harus kuat, Alenna! Kamu harus kuat! Batinnya menguatkan diri sendiri.
Alenna pun bangkit untuk menyelimuti tubuh yang terbaring tak berdaya itu hingga sebatas dada. Satu kecupan lembut ia berikan pada kening Firdaus sebelum beranjak ke sofa panjang untuk merebahkan diri. Dengan posisi miring menghadap suaminya, wanita itu lambat laun mulai memejamkan mata.
***
Alenna tampak termenung panjang sambil menyandarkan punggungnya pada bangku besi di luar ruang perawatan Firdaus ketika Adhisti datang menghampirinya. Wanita seumuran Alenna itu turut merasa terenyuh dengan apa yang menimpa sahabat baiknya. Perlahan-lahan, dia melabuhkan pinggulnya di sisi Alenna untuk menghibur wanita itu.
"Alenna, kamu jangan terus-terusan seperti ini. Aku ini sahabat baikmu. Aku tahu apa yang sedang kamu rasakan. Sudah sebulan sejak Firdaus koma, aku perhatikan, kamu asyik diam dan melamun. Seperti tidak punya semangat hidup."
"Aku takut kehilangan suamiku, Adhisti. Aku nggak bisa membayangkan hidup aku tanpa dia. Ya Allah ... ya Allah ...." Sepasang mata indah berbulu lentik itu tampak berkaca-kaca.
"Sabar, ya, Alenna! Firdaus pasti akan sembuh." Adhisti mencoba menghibur sekaligus menggenggam jemari Alenna untuk menyalurkan kekuatan.
"Bu Alenna! Bapak Firdaus sudar siuman!"
Suara teriakan dari suster yang baru keluar dari ruang perawatan Firdaus menyentakkan Alenna dan Adhisti. Dua wanita sebaya itu sontak menoleh ke arah sumber suara lalu segera bangkit dari duduknya. Mereka pun bergegas masuk ke ruang perawatan Firdaus.
"Papa! Mama!" teriak Alenna sambil meluru ke arah kedua mertuanya yang sedang berada di sisi pembaringan Firdaus. Saat melihat suaminya sudah membuka mata dan alat bantu pernapasannya sudah dilepas, Alenna senang bukan main.
"Alenna, alhamdulillah, Firdaus sudah sadar!" ungkap Aruni dengan senyum yang mengembang di bibirnya. Wanita yang mengenakan pashmina ungu itu segera bangkit dari sisi pembaringan putranya dan membiarkan Alenna untuk duduk menggantikan posisinya.
"Mas Fir! Alhamdulillah, Mas sudah sadar." Alenna mendaratkan kecupan lembut di pipi dan kening suaminya. Kedua tangannya lalu menyentuh wajah pria itu dan mengusapnya dengan penuh kelembutan.
"Alenna kangen banget sama Mas. Apa Mas mau makan? Mas mau minum? Sayang!" tanyanya sambil menggenggam tangan pria itu dengan senyum yang tidak lepas dari bibir. Betapa dia bahagia karena akhirnya, suaminya telah sadar dari koma.
"Siapa kamu?"
Pertanyaan yang keluar dari bibir Firdaus mematikan senyum Alenna dan semua orang yang berada di ruangan itu. Mereka terkejut dan saling bertukar pandang.
"Mas, ini Alenna, istri Mas!" seru Alenna sambil menatap wajah Firdaus yang tampak kebingungan saat melihatnya.
"Ini Alenna, Mas!" seru Alenna lagi sambil meletakkan tangan di atas dada.
"Mama! Siapa perempuan ini, Ma?" Firdaus berteriak memanggil ibunya dengan raut wajah yang memancarkan ketakutan saat melihat wanita yang tampak asing di matanya itu.
***
"Dokter, apa yang terjadi dengan suami saya, Dokter?" tanya Alenna dengan mata berkaca-kaca sebaik saja ia duduk menghadap dokter di meja tulisnya.
Dokter perempuan yang masih terlihat muda dan cantik mengenakan jilbab biru itu memang sengaja mengumpulkan seluruh anggota keluarga pasien di ruangannya karena dia ingin menyampaikan hasil pemeriksaan lanjutan mengenai cedera kepala yang dialami oleh Firdaus. Farhan yang duduk di sebelah Alenna hanya diam menyimak. Pun dengan Aruni dan Sarah yang berdiri di belakang mereka.
"Cedera pada kepala Bapak Firdaus menyebabkan pembengkakan dan pendarahan pada bagian otak. Cedera itu menyebabkan Bapak Firdaus kehilangan ingatannya," terang dokter itu dengan sabar sambil memandang wajah Alenna dalam-dalam.
"Tapi Dokter, kenapa dia ingat dengan Mama dan Papa? Saya dan Ibu tidak dia ingat?" tanya Alenna lagi sembari meletakkan tangan di atas dada. Sebutir kristal bening luruh dan mengalir perlahan-lahan ke pipinya tanpa diminta.
"Bu Alenna ... keadaan yang dialami Bapak Firdaus ini dinamakan Selective Amnesia. Dari wawancara yang saya lakukan dengan Bapak Firdaus beberapa waktu lalu, saya dapat menyimpulkan bahwa Bapak Firdaus hanya mengingat tentang masa lalunya sampai dia berusia dua puluh lima tahun. Dan seingat dia, saat ini adalah tahun 2021. Bukan 2023."
"Tahun 2021?" Alenna terkejut bukan main. Padahal dia bertemu dan mengenal Firdaus untuk pertama kalinya pada awal tahun 2023.
"Tapi tahun 2021 Firdaus belum bertemu dengan Alenna. Saat itu, dia bahkan baru menyelesaikan S2-nya di UI lalu meniti karir secara mandiri di bidang arsitektur," ujar Farhan lalu menoleh ke arah istrinya.
"Ya. Papa benar." Aruni menimpali. "Dan saat itu, dia masih berpacaran dengan Shella, perempuan yang ia temui semasa kuliah di UI."
"Ya, Ibu benar. Tadi, Bapak Firdaus juga sempat menyebutkan nama Shella dalam percakapan kami. Seingatnya, beliau masih berhubungan dengan perempuan dari masa lalunya itu."
Alenna menjatuhkan rahang, lalu membekap mulutnya yang ternganga dengan dua telapak tangan. Butiran kristal bening jatuh susul menyusul di kedua pipinya. Kata-kata yang disampaikan oleh dokter dan ibu mertuanya bagaikan palu godam yang menghunjam jantungnya, membuatnya remuk hingga berkeping-keping.
Oh, Tuhan ... mengapa semua ini harus terjadi di awal-awal pernikahan kami? Baru satu minggu kami menikah dan menikmati kebahagiaan hidup sebagai pasangan suami istri. Mengapa harus Engkau renggut kebahagiaan yang baru saja kami kecapi?
Berat rasanya menerima kenyataan bahwa bukan dirinyalah wanita yang ada dalam ingatan Firdaus saat ini, melainkan wanita lain dari masa lalunya. Dia berharap, semoga wanita itu tidak akan pernah hadir kembali dalam hidup Firdaus dan menghancurkan rumah tangganya.
"Dokter, apa suami saya bisa disembuhkan? Apa ingatannya bisa kembali lagi?" tanya Alenna dengan air mata yang berlinang di kedua pipi.
"Insya-Allah. Tapi beri dia waktu. Di sini, peran Anda sebagai istri sangatlah penting untuk memulihkan ingatannya kembali. Selain istri, orang tua dan keluarga terdekat juga bisa membantunya untuk mengingat kembali memori yang hilang itu perlahan-lahan," terang sang dokter sambil melihat wajah orang-orang yang ada di hadapannya satu persatu.
Tubuh Alenna terasa lemas tak bertulang. Wanita itu menyandarkan tubuhnya pada pinggang Sarah yang berdiri di belakangnya agak ke samping kiri. Sarah pun merangkul bahu Alenna dan mengusap-usapnya dengan lembut untuk menabahkan putrinya.
"Sabar, ya, Nak, ya. Banyak-banyak berdoa. Insya-Allah, Firdaus pasti akan segera sembuh. Ingatannya pasti akan segera pulih."
Kata-kata Sarah justru membuat air mata Alenna mengalir semakin deras seperti air terjun. Ujian yang Allah berikan ini terasa begitu berat untuknya.
"Alenna, kamu harus banyak-banyak bersabar dalam menghadapi ujian yang Allah berikan ini." Farhan yang sejak tadi diam menyimak akhirnya buka suara. Dia tahu, menantunya itu pasti sangat terpukul dengan kenyataan ini. Meskipun dia juga merasakan hal yang sama, tetapi sebagai seorang lelaki, sebisa mungkin dia akan berusaha tegar di hadapan istri, menantu, serta besannya.
Alenna hanya menanggapi ucapan ayah mertuanya itu dengan satu anggukan. Jemari tangan kanannya terangkat untuk menyusut jejak basah di kedua pipi.
"Bu Alenna, besok pagi, Bu Alenna beserta keluarga sudah boleh membawa Bapak Firdaus pulang ke rumah. Saat ini, kondisinya sudah stabil. Hanya ingatannya saja yang belum pulih sepenuhnya. Jadi, kami tim medis memohon kerjasama dari Ibu dan pihak keluarga untuk membantu proses pemulihan ingatannya. Kami juga akan membantu pasien dengan metode pengobatan sampai ingatannya benar-benar pulih. Jadi, setelah keluar dari rumah sakit, jangan lupa untuk rutin kontrol ke rumah sakit setiap bulannya."
"Baik, Dokter," sahut Alenna mengerti.
Setelah menyimak penjelasan dari sang dokter, dia pun menoleh ke arah ayah mertuanya dan berkata, "Papa ... apa besok, Alenna boleh membawa Mas Fir pulang ke rumah kami? Alenna ingin berusaha memulihkan ingatannya. Mungkin setelah pulang nanti, dia akan ingat semuanya."
"Tentu saja, Alenna. Firdaus 'kan suamimu. Kamu boleh membawanya pulang ke rumah kalian," tutur Farhan dengan lembut.
"Tapi, Pa. Alenna tidak yakin kalau Mas Fir mau pulang dengan Alenna. Melihat Alenna saja, dia tampak ketakutan. Jadi, Alenna ingin minta bantuan dari Papa dan Mama untuk membujuknya."
"Pasti Alenna. Kami akan berusaha membujuk Firdaus agar dia mau pulang bersamamu." Aruni menimpali.
"Terima kasih, Ma."
Setelah keluar dari ruangan dokter, Alenna beserta ibu dan kedua mertuanya pun kembali ke ruang perawatan Firdaus. Namun, begitu melihat kedatangan wanita yang tampak asing di matanya itu, Firdaus langsung membuang muka. Sakit hati Alenna melihat perlakuan suami yang amat ia cintai itu. Firdaus yang biasanya sangat mencintai dan menyayanginya, kini telah berubah seperti orang lain.
"Mama, kenapa dia datang ke sini lagi, Ma?" tanya Firdaus kepada wanita yang telah melahirkannya itu.
"Firdaus, dia itu istri kamu, Alenna. Apa kamu benar-benar tidak ingat? Kalian baru menikah seminggu yang lalu," papar Aruni, berusaha mengingatkan putranya.
Firdaus menggeleng beberapa kali. Alenna. Nama itu terdengar sangat asing di telinganya. Apalagi wajah perempuan yang mengaku sebagai istrinya itu. Dia sama sekali tidak mengenalnya. Mana mungkin dia bisa menikahinya?
"Tidak, Ma. Fir belum menikah. Apalagi sama perempuan itu. Fir nggak kenal siapa dia, Ma, Pa."
Bulir bening kembali menetes di pipi Alenna saat mendengar kata-kata itu. Kata-kata yang keluar dari bibir Firdaus terdengar sangat menyakitkan. Hatinya terasa perih seperti teriris sembilu.
Sarah yang melihat putrinya menangis pun segera merengkuhnya ke dalam pelukan. Hati wanita mana yang tega melihat putri sendiri disakiti oleh suaminya. "Sabar, ya, Nak, ya. Sabar," ujarnya sembari mengusap-usap punggung Alenna untuk menabahkan.
"Ma, Pa, apa Shella tahu kalau Fir mengalami kecelakaan dan sedang dirawat di rumah sakit ini? Kenapa dia nggak datang jenguk Fir?"
Pertanyaan Firdaus membuat Aruni dan Farhan tersentak kaget dan saling bertukar pandang. Alenna yang berada dalam pelukan ibunya pun sontak menguraikan pelukan itu dan menoleh ke arah Firdaus.
"Ma, hape Fir mana, Ma? Fir mau hubungi Shella. Dia pasti belum tahu kalau Fir dirawat di sini."
Aruni menggeleng berulang kali. Entah apa rencana Tuhan. Mengapa Firdaus justru melupakan wanita yang sangat dicintainya dan malah mengingat Shella, perempuan yang dulu pernah mengkhianati dan membuatnya patah hati hingga frustrasi?
"Shella itu sudah jadi mantan pacar kamu, Fir. Kalian sudah putus sejak lama. Sekarang ini, Fir sudah menikah dengan Alenna, wanita yang sangat Fir cintai."
"Tidak, Ma. Fir tidak percaya. Kenapa Fir bisa putus dengan Shella dan menikah dengan perempuan itu? Ini tidak mungkin." Firdaus terus menggeleng dan menyangkal kenyataan itu. Baginya, perempuan yang sangat ia cintai hanyalah Shella. Bukan wanita yang sangat asing di matanya itu.
"Saat ini, Fir sedang kehilangan sebagian ingatan akibat kecelakaan itu. Fir hanya mengingat semua kejadian yang pernah Fir alami hingga tahun 2021. Padahal sekarang ini sudah tahun 2023," papar Farhan apa adanya. "Fir bertemu dengan Alenna pada awal tahun 2023. Lalu enam bulan kemudian, kalian menikah."
"Tidak, Pa. Fir tidak mungkin menikahi perempuan lain selain Shella. Fir sangat mencintai Shella, Pa. Mana hape Fir, Pa? Fir ingin menghubunginya."
Alenna tidak mampu menahan dirinya lagi. Wanita itu mendekat ke arah Firdaus lalu menggenggam jemari tangannya dengan kedua tangan. "Mas, ini Alenna, Mas. Istri Mas. Apa Mas ingat, kita bertemu pada awal bulan Februari 2023? Lalu kita menikah enam bulan kemudian setelah selesai membangun rumah impian kita. Apa Mas ingat kalau kita punya rumah impian yang kita tempati berdua di puncak? Besok, Alenna akan mengajak Mas untuk pulang ke rumah impian kita. Di sana nanti, Alenna akan membuat Mas mengingat semua kenangan tentang kita."
Firdaus kembali menggeleng. Wajahnya memancarkan ketakutan saat bertatapan dengan perempuan yang tampak asing di matanya itu.
"Mas, apa Mas ingat cincin ini?" Alenna menunjukkan cincin platinum yang melingkar di jari manisnya. "Ini adalah cincin yang pernah Mas sarungkan di jari manisku pada hari pernikahan kita. Saat ini, Mas juga memakai cincin yang sama persis. Ada inisial nama kita di sebalik cincin ini. A & F, Alenna & Firdaus."
Firdaus mengangkat jemari tangan kanannya. Dia melihat sebentuk cincin platinum yang melingkar di jari manisnya lalu membandingkannya dengan cincin yang dipakai oleh Alenna. Kedua cincin itu memang sama persis. Hanya ukurannya saja yang berbeda.
"Firdaus, Alenna ini benar-benar istrimu." Sarah yang sejak tadi bungkam, akhirnya bersuara. "Kalau kamu masih tidak percaya, berilah dia kesempatan untuk membuktikannya. Ikutlah pulang bersamanya ke rumah impian kalian. Mungkin di sana nanti, ingatanmu akan segera pulih."
Firdaus hening seketika. Dia menatap wajah dua wanita yang mengaku sebagai istri dan ibu mertuanya itu silih berganti. Entah mengapa, dua wanita itu begitu asing di matanya. Tidak ada sedikit pun ingatan tentang mereka di kepalanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!