Di rumah sakit, Jason baru pamit. Pemuda itu setengah hati melakukannya karena menyaksikan Malini hanya menjaga Ananda sendiri, membuat hatinya tidak bisa tenang. Bahkan walau di lantai bawah, ada orang tua angkat Malini yang dijaga oleh dua orang kakak Malini. Juga, di lantai sana yang dijaga oleh beberapa perawat selama 24 jam penuh. Hanya saja, Jason khawatir pada kasus yang tengah melanda Malini. Baik yang menyangkut Gissel, juga Devandra sendiri.
“Si Jason kenapa, ya? Kok kayak enggak ikhlas gitu. Bentar-bentar noleh, bentar-bentar senyum sedih,” batin Malini. Kesibukan tersebut juga yang membuatnya menggerakkan tangan kanan, dadah-dadah ke Jason dan baru ia sadari, pemuda itu memakai alas kakinya berbeda. Satu sandal, satu sepatu basket. “Efek buru-buru, apa efek orangnya clengean enggak bisa diam?”
Belum ada sepuluh menit berlalu, dari luar seseorang sudah mengetuk pintu ruang rawat Ananda. Malini yang sudah meringkuk sekaligus tidur di sebelah Ananda langsung terusik. Ia dapati, infus sang putra yang masih bisa sampai pagi karena sebelum Jason pergi, memang baru diganti. Malahan, Jason juga yang memanggilkan suster di depan untuk melakukannya lantaran tak mau menimbulkan suara berisik berlebihan, jika mereka menggunakan fasilitas nurse call.
“Kontrol malam dari perawat pun udah. Keadaan Nanda sudah normal. Hanya paling aku wajib awasin Nanda biar enggak asal gosok mata kanan sembarangan, sementara satu bulan lagi, andai mata kanan sudah normal dan artinya operasi pergantian implan lensa berhasil, tinggal operasi lensa mata kiri,” pikir Malini. Ia memang agak melongok ke arah pintu yang ada di ruang sebelah, tapi ia tak bermaksud bersuara.
Terpikir oleh Malini, apakah itu justru Jason? Karena ponsel pemuda itu dan ada di meja nakas belakangnya, tertinggal. Namun jika iya, harus ya Jason tak sampai menunggu lama di luar. Ditambah lagi, Jason tipikal yang cepat akrab bahkan dengan keluarga Malini. Ditambah lagi, status Jason yang seorang pemain basket tingkat nasional, juga diidolakan oleh beberapa saudara perempuan Malini.
“Biarin saja lah. Kalau memang penting, harusnya dia bersuara atau langsung masuk,” pikir Malini mendadak merinding. Takut yang mengetuk pintu di luar dan baru saja terulang, justru hantu yang sedang iseng. “Namun kalau harus memilih, aku lebih memilih berurusan dengan hantu daripada sil*um*an berwujud manusia,” pikir Malini.
Baru akan memejamkan mata, di tengah kesunyian yang menyelimuti, Malini mendengar pintu ruang rawat Ananda dibuka dari luar. Tak lama kemudian, terdengar juga langkah mendekat. Langkah ragu terbilang mengendap. Hati Malini langsung gelisah karenanya.
“Firasatku beneran langsung enggak enak. Aku telepon mbak Chole saja kalau gini. Minta temenin mbak Chole atau mas Heli!” pikir Malini segera meraih ponselnya dari sebelah ponsel Jason. Ia bermaksud menghubungi sang kakak angkat, tapi langkah ragu itu sudah ada di depan tirai dan Malini mengenali parfum yang menyertai sebagai parfum Devandra.
“Mas Devandra ...?” batin Malini buru-buru duduk sambil melanjutkan menelepon kontak : Mbak Chole, terlebih di balik tirai sebelah, sosok yang ia yakini Devandra juga sampai berdeham. Alasan yang juga membuat Malini mendadak senam jantung. Malini sudah langsung panas dingin, takut. Terlebih jika merujuk kenyataan mereka yang sedang bersete*ru.
“Belum tidur? Gimana keadaannya? Sini, gantian jaga biar kamu bisa istirahat,” ucap Devandra masih bertahan di balik tirai.
“Hah? Mas Dev mendadak baik?” batin Malini makin bertanya-tanya. Apalagi baginya, tak mungkin perubahan yang tulus bisa terjadi secara drastis. Terlebih sebelumnya, hubungan mereka jauh dari kata baik-baik saja.
Perubahan Devandra yang begitu drastis, yaitu mendadak peduli, sukses membuat Malini merinding. Malini sampai meragukan yang datang memang Devandra, meski dari segi parfum, suara, dan juga postur tubuh, Malini yakin itu memang Devandra. “Mas Dev lagi mab*ok apa gimana? Apa ada makhluk hal*us yang mer*as*ukinya?” Sampai detik ini, Malini masih berbicara dalam hati, selain ia yang sangat berharap untuk secepatnya mendapatkan respons dari Chole. Hanya saja, teleponnya benar-benar tak mendapatkan balasan. Padahal di hadapannya, tangan kanan Devandra sudah terulur handak meraih tirai penutup ruang keberadaan ranjang rawat Ananda yang juga menjadi tempat Malini meringkuk.
“Ya Allah, ... kenapa aku mendadak setakut ini? Kenapa aku enggak mem*aki apalagi mengusirnya seperti siang kemarin?!” batin Malini yang benar-benar berkeringat parah terlebih ketika akhirnya, sebagian tirai digeser hingga tatapannya dan tatapan Devandra, bertemu.
“Aku harus mengh*ami*linya, sekarang juga!” batin Devandra di tengah tatapannya yang masih lurus kepada kedua mata Malini. “Aku benar-benar tidak memiliki banyak waktu,” batin Devandra lagi yang tak sampai hati untuk sekadar melirik bocah laki-laki di sebelah Malini, dan meski kedua matanya menggunakan pelindung khusus, wajah bocah itu sangatlah mirip dengan wajahnya. Ia terlalu fokus dengan tujuannya, yaitu mengha*m*ili Malini, agar wanita itu bergantung kepadanya. Agar Malini kembali menjadi sumber keuangannya, sebelum akhirnya ia kembali benar-benar membuangnya.
“Kenapa, Mas?” tanya Malini memberanikan diri. Ia berangsur duduk dan sebisa mungkin memastikan memastikan penampilannya dalam keadaan aman.
“Oh ...?” Jason mendadak tak bisa berkomentar. Ia maju mundur karena takut mengganggu, ditambah lagi, suasana di sana masih temaram. Hanya saja, ia yang memang terbilang baru datang kembali, juga merasa tak habis pikir andai Malini sampai mau-mau saja janjian atau malah lebih dengan Devandra setelah apa yang terjadi. “Apa jangan-jangan, ini akal-akalannya Devandra? Apa jangan-jangan, ini alasanku gelisah?” pikir Jason lagi.
Terlalu Fokus kepada niat sekaligus tujuannya, membuat Devandra terlambat menyadari keadaan. Ternyata di sana ada orang lain selain mereka dan itu Jason. Selarut ini, Jason masih berkeliaran di kehidupan Malini dengan leluasa? Devandra sudah langsung kesal, tak terima dengan kedekatan keduanya.
“P-pah ....” Terbiasa memanggil Jason dengan panggilan khusus dari Ananda, juga membuat Malini melakukannya di depan orang lain, benar-benar bukan hanya ketika mereka berdua saja. Namun untuk kali ini, bukan hanya Jason yang menyaut sekaligus menjawab panggilannya. Karena hal yang sama juga dilakukan oleh Devandra.
Namun, kali ini Malini sudah langsing berkode mata dengan Jason, tak peduli meski Devandra ada di sana dan sudah langsung menjadikan interaksi Malini dan Jason, sebagai pusat perhatian.
“Pizza yang tadi masih, kan? Aku kok lapar, ya?” ucap Malini sambil terus melirik Jason secara diam-diam.
Malini beranjak dari ranjang rawatnya. Ia tak hanya membawa ponselnya. Karena ia juga meraih ponsel Jason kemudian diam-diam memberikannya kepada pemuda yang sampai detik ini masih berdiri tidak begitu jauh dari Devandra.
Untuk sejenak, bukan hanya Malini yang merasa dunianya mendadak berhenti berputar. Sebab hal yang sama juga turut Jason dan Devandra rasakan terlebih ketika tatapan keduanya bertemu. Tatapan yang makin lama makin tajam, seolah mereka memang sedang berseter*u, merebutkan sesuatu dan itu, ... Malini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
himawatidewi satyawira
kl ndak suka, ndak ush dibaca kk..kl kk ada dlm.posisi malini apa sanggup?
2024-10-26
0
Giantini
mahlini terllu lemah , lembek
2024-07-08
0
Sukliang
ayo usir anjing
2024-01-27
0