“Jadi, anak Ibu Malini, memang mengidap katarak dan saat kecelakaan, penglihatannya benar-benar sedang bermasalah?” tanya seorang polisi setelah Jason mundur, sengaja berdiri di sebelah Malini.
“Ya. Namun bukan berarti kesalahan mutlak ada di putra saya karena seseorang dengan penglihatan bermasalah tak mungkin muncul secara tiba-tiba. Andai pun sampai iya, jika pengemudinya fokus, dia pasti akan mengerem bukan tetap dengan kecepatan stabil. Kenapa saya sampai bilang kecepatannya masih stabil? Karena anak saya terlempar sampai ke jalan pertigaan seberang dan nyaris tertabrak mobil sport andai mobil itu tidak cekatan mengerem. Silakan dicek, oh iya ... perkenalkan, ini pengacara saya!” ucap Malini.
Didikan berkualitas sekaligus lingkungan tumbuh yang tak kalah berkualitas, memang membuat Malini menjadi pribadi kuat. Kuat dalam artian ia tak akan membuat keluarganya atau sekadar orang-orang di sekitarnya mengkhawatirkannya, melalui masalah yang ia alami. Meski keputusannya menyakiti diri sendiri sekaligus tak mengabarkan musibah yang ia alami kepada keluarganya, justru tidak dibenarkan.
Mas Aidan langsung mengambil alih. Pria itu mengangguk kepada Malini dan bermaksud memberikan dukungan penuh. Kemudian, ia segera menjabat tangan kedua polisi di sana dengan santun. Karena meski keduanya hendak melakukan penyidikan dari laporan dengan bukti yang kurang matang, ia tetap berusaha menghargai kinerja keduanya.
Malini sengaja mempersilahkan kedua polisi di sana untuk masuk, mengecek keadaan Ananda yang kedua matanya masih diperban dengan leluasa. Setelah melakukan pengecekan dan memastikan bahwa Ananda memang sakit, sebagai wali dari Ananda, Malini sengaja diminta ke kantor polisi untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut. Malini tak hanya ditemani mas Aidan. Karena sopir yang ada di TKP saat kejadian, juga ikut serta untuk memberikan penjelasan.
Jason yang dengan sengaja magang menjaga Ananda, justru langsung ketar-ketir lantaran dua jam lagi, harusnya ia kembali latihan untuk persiapan turnamen basket tingkat nasional.
Jason dapati, sederet pesan ter*o*r dari sang pelatih maupun anggota tim basketnya yang sudah memenuhi pemberitahuan di ponselnya.
“Astaga, gimana ini dong?” pikir Jason terpaksa berbohong. Mengabarkan dirinya tengah menjaga anak angkatnya yang sedang pemulihan selepas operasi.
“Sebenarnya aku enggak sepenuhnya berbohong sih,” pikir Jason. Ia yang awalnya pusing akibat perkara absennya dari latihan, jadi sangat bersemangat lantaran akhirnya, Ananda siuman.
“Halo good boy ...?” sapa Jason sambil membungkuk di atas tubuh Ananda. Tangan kiri menggenggam tangan kanan Ananda yang tak diinfus, sementara tangan kanan, mengelus-elus kepala Ananda.
“Papah ...?” Ananda sudah langsung mengenali suara Jason, meski kedua matanya masih diperban.
“Iya dong ... ini Papah. Papah kamu yang paling keren!” balas Jason benar-benar santai.
Senyum cerah langsung merekah dari bibir Ananda. “Papah, ... bentar lagi aku akan lihat Papah. Aku beneran enggak sabar!”
“Dan pastinya, kita akan terapi kaki, biar Papah bisa ajarin kamu main basket. Karena setelah Nanda bisa main basket, nanti kita sama-sama tanding. Yang menang bakalan dapat hadiah! Bagaimana?” balas Jason sengaja memancing semangat Ananda. Jason sengaja melakukan apa yang saat ia masih kecil, sangat ingin ia dapatkan. Perhatian dan hadiah, bahkan walau itu hadiah paling sederhana sekalipun—bagi Jason, itu merupakan kebahagiaan yang bisa menjadi kenangan manis saat kecil dan tak terlupakan.
Setelah mengobrol lama dan Jason sampai menyuapinya jatah makan sore, Ananda mendadak merasa ada yang kurang. Karena sejak ia siuman, ia tak merasakan tanda-tanda sang mamah ada di sana.
“M-mamah lagi di sebelah. Kan oma sama opa masih sakit!” sergah Jason yang kembali berbohong. “Kebiasaan berbohong jadi langganan gini. Berasa lagi kampanye!” batinnya yang diam-diam cemas. Kenapa hampir setengah hari ke kantor polisi, Malini tak kunjung mengabari?
Baru memikirkan Malini, seseorang membuka pintu dari luat disertai salam seorang wanita, tapi Jason yakin, itu bukan Malini.
“Waalaikumsalam ....” Ananda yang turut membalas salam, kemudian sengaja berkata, “Pah, itu suaranya mamah Chole. Mamah Chole itu kakaknya mamah, anaknya oma sama opa.”
“Si Nanda beneran cerdas, ya. Dia sudah paham setiap suara termasuk aroma tubuh. Ini yang pada datang ke sini, semuanya Ananda hafal.”
“Uncle Kim, Uncle Boy, Uncle Baron, Aunty Lista ... Aunty Hyera ...,” ucap Ananda mengabsen semua yang datang ke sana sambil terus rebahan sekaligus tersenyum ceria.
***
“Kesempatan kamu sudah habis Mas! Terlebih setah kamu dengan keji menolak mendonorkan darah, bahkan kamu juga sampai melaporkan Ananda ke polisi!” tegas Malini yang memang sengaja mampir ke kantornya.
Chalvin dan Laras menghubunginya, mengabarkan bahwa Davendra baru akan angkat kaki dari perusahaan, jika Malini yang mengusirnya secara langsung.
Di ruang pimpinan di sana, Devandra yang masih duduk di kursi kerja kebanggaannya sudah langsung kebingungan.
“Setiap transaksi di rekening Mas, maupun keluarga Mas, termasuk calon istri Mas, akan kami selidiki atas pengawasan polisi. Mas berani melukai Ananda, aku benar-benar akan membalas Mas dengan jauh lebih keji!” lanjut Malini masih ditemani oleh mas Aidan, selain Chalvin dan Laras yang juga masih ada di sana.
Di hadapan mereka, Devandra tampak sangat kebingungan. Namun kali ini, pria itu mendadak menatap Malini.
“Kamu lupa dengan jasa-jasa saya?!” tegas Devandra seiring tatapannya yang menjadi makin tajam kepada kedua mata Malini.
“Setiap bulan kan Mas masih terima gaji. Belum kalau sampai ada transaksi lebih. Maka dari itu, meski perusahaan ini bukan negara, aku dan saudaraku akan tetap menyiapkan tim khusus untuk menyelidiki setiap transaksi uang!” ucap Malini.
Malini meminta Devandra untuk segera mengosongkan ruang kerja di sana. Tidak boleh lebih dari satu kali dua puluh empat jam. Itu saja, setiap barang yang Devandra bawa, wajib diperiksa lebih dulu.
Bagi Devandra, apa yang tengah ia alami tak ubahnya peng*hi*naan sekaligus sera*ngan secara halus. Dan baru Davendra sadari, membuang Malini sama saja menutup sumber rezekinya selama ini.
Di hadapan Davendra, Malini sudah balik badan sekaligus melangkah keluar bersama saudara-saudaranya yang usianya memang jauh lebih dewasa. Namun tiba-tiba saja, Malini yang masih bersedekap dan memasang tampang sangat dingin, menoleh sambil berkata, “Satu lagi, Mas. Anakku sangat beruntung karena tak sampai menjadi bagian dari kamu!”
“Dia bilang begitu karena dia menolak kenyataan, bahwa anaknya sangat mengharapkan kehadiranku!” batin Devandra yang kemudian kembali berbicara dalam hati, mengatai Malini sombong.
Namun, kepergian Malini membuat Devandra menyadari, ia harus pergi dari ruang kerja tersebut, tapi ia sungguh tidak bisa untuk melakukannya. “Semua ini milikku! Aku berhak memiliki semua ini, apalagi saham perusahaan ini saja, masih aku yang pegang!” lirih Davendra benar-benar menolak kenyataan.
Belum sempat beranjak apalagi meninggalkan tempat duduk kerja kebanggaannya, seseorang mengetuk pintu dari luar. Wanita cantik bernama Weni selaku sosok yang mengetuk, merupakan sekretarisnya. Weni menyerahkan sebuah amplop putih kepada Davendra.
“Surat panggilan dari kepolisian?” batin Davendra serius tak lama setelah membuka isi amplop pemberian Weni dan justru merupakan surat panggilan untuk menjalani pemeriksaan.
Ada surat panggilan dari kepolisian lengkap dengan jadwal pemeriksaan, dengan kata lain, sudah ada yang melaporkan Devandra—pikir Devandra.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
Nartadi Yana
satu kata mampus kamu buang Malini malah pungut sampah
2024-10-28
0
himawatidewi satyawira
kirain tajir
2024-10-26
0
himawatidewi satyawira
bagus malini..
2024-10-26
0