NARSIH
Tahun 1958
Tepat sepuluh tahun semenjak Agresi Militer Belanda 2 terjadi. Lima tahun sesudah 'alas bukit manik-manik' dibuka untuk pemukiman. Banyak bangunan baru yang terbuat dari kayu akasia didirikan sepanjang tepi sungai.
Sedikit jauh dari deretan pemukiman warga, ada sebuah rumah yang berdiri sendirian di ujung jalan. Menghadap dua aliran sungai yang bergabung membentuk sebuah 'tempuran' dengan cekungan yang cukup dalam. Warna hijau kebiruan dari air yang nampak tenang membuat setiap orang sulit menerka berapa kedalamannya.
Sepasang mata mengerjap, saat sinar matahari sore hari tepat menimpa bagian tengah dahinya melalui celah di antara genteng yang tak rata. Cahaya yang menyilaukan tapi terasa hangat sedikit menyengat, hingga perempuan berparas ayu itu terjaga dari tidurnya. Dia memperhatikan sekeliling, dan entah bagaimana merasa asing.
Perempuan itu mengedarkan pandangan, menemukan tubuhnya terbaring di atas dipan beralaskan bambu kuning. Tubuhnya hanya terbalut kain jarik batik barong berwarna cokelat tua. Ada taburan bunga telon di sekitarnya.
Perempuan itu juga mengamati ruangan tempatnya berbaring. Sebuah rumah kecil dengan empat kursi kayu di bagian depan. Di samping tempatnya berbaring ada bilik yang tertutup kelambu berwarna hijau. Tidak ada perabotan lainnya. Rumah yang benar-benar lengang.
Kelambu tiba-tiba terbuka. Muncul sosok laki-laki dari dalam bilik. Laki-laki yang bertelanj*ng dada, hanya mengenakan celana hitam dan ikat kepala batik menutupi dahinya yang mulai botak. Mungkin laki-laki itu berusia 50 an tahun. Seulas senyum terkembang menatap perempuan yang masih kebingungan di hadapannya.
"Njenengan siapa? Aku siapa?" tanya perempuan yang duduk di atas ranjang. Dia mendekap dadanya, khawatir kain 'tapih' batik yang membelitnya terlepas.
"Namaku Darso. Namamu Narsih. Wajar jika kamu nggak ingat apa-apa. Tapi, tenang sajalah. Aku yang menjagamu," ucap laki-laki bernama Darso itu. Merogoh saku celana, mengambil gulungan tembakau dan cengkeh yang terbungkus kulit jagung kering yang disebut 'kobot'.
Darso menyalakan rokoknya, menghisap kepulan asap berbau tembakau menyengat itu dalam-dalam. Kemudian menghembuskannya perlahan, seolah tidak rela zat karbonmonoksida itu menguap di udara. Darso duduk di ruang tamu dengan perutnya yang bulat besar memenuhi kursi kayu.
"Tolong jelaskan padaku. Apa yang sebenarnya terjadi," desak Narsih. Dia berdiri tanpa alas kaki. Tungkai kakinya putih bersih sedikit kemerahan. Jelas perempuan itu pandai merawat diri.
"Namamu Narsih. Umurmu 24 tahun. Itu saja dulu yang perlu kamu tahu. Selebihnya kujelaskan satu persatu, sedikit demi sedikit nanti. Agar kamu ndak mumet," sahut Darso. Ekspresinya mengisyaratkan laki-laki itu tengah jengkel mendapat pertanyaan dari Narsih.
"Sekarang mandilah. Bersihkan dirimu. Handuk dan baju ada di tempat jemuran depan kamar mandi," perintah Darso. Narsih diam tak menyahut. Dia kebingungan.
"Oh iya, kamu juga nggak tahu dimana letak kamar mandi? Ada di halaman belakang, lewat pintu itu," ucap Darso menunjuk pintu kayu jati usang di bagian belakang.
Sedikit ragu-ragu Narsih pun melangkah. Menyusuri lantai tanah yang bergelombang tanpa alas kaki. Menarik pintu dengan kunci grendel berkarat, dan membukanya perlahan. Angin berhembus dingin. Suara aliran sungai terdengar deras, menghantam bebatuan sedimen besar yang mencipta riak dan buih putih. Selang beberapa detik saja buih itu pun lenyap.
Narsih meraih kain handuk yang tergantung di jemuran dari tali tambang kasar. Ada satu baju perempuan bermotif bunga merah yang sedang cukup tenar belakangan ini. Narsih pun mengambil baju itu, dan kembali berjalan menuju ke bangunan yang terpisah dari rumah utama.
Bangunan dari bata yang ditumpuk setinggi leher Narsih. Tanpa ada atap ataupun pintu. Di dalamnya terdapat kolam dari bebatuan yang disusun rapi dengan air jernih yang mengalir melalui selang kecil berwarna hijau. Tempurung kelapa besar mengambang di permukaan kolam berfungsi sebagai gayung.
Narsih merasakan tubuhnya lengket. Dia memang perlu mandi, seperti kata Darso. Narsih pun meletakkan handuk dan bajunya di dinding. Kemudian menanggalkan 'tapih' jarik di badannya.
Tubuh Narsih sangat mulus. Setiap lekukannya terlihat sintal dan proporsional. Aroma bunga telon semerbak kala tubuh Narsih tak tertutup benang barang sehelai pun.
"Kenapa tubuhku bau melati begini?" gumam Narsih heran. Dia berjongkok mengambil gayung batok kelapa.
Masih dengan segudang pertanyaan di benaknya, Narsih mengguyur badan dengan air yang ternyata terasa sangat dingin. Membilas setiap inci tubuhnya, dari ujung rambut hingga ujung kaki. Barulah kemudian Narsih menyadari, ada beberapa lebam di sekujur tubuhnya. Dari betis, paha, perut, juga lengannya. Ada bekas luka yang entah darimana Narsih mendapatkannya. Entahlah dia lupa.
Saat sedang asyik membersihkan diri, Narsih kemudian menyadari ada hawa dingin menyergap tengkuknya. Dia mengedarkan pandangan, karena merasa ada sepasang mata yang mengawasi. Narsih pun buru-buru menyambar handuk, mengeringkan tubuhnya. Kemudian kembali mengenakan jarik, diikat kuat di pinggang dan menyambar baju bermotif bunga merah di atas dinding kamar mandi.
Selesai berpakaian, Narsih keluar dari kamar mandi, dan menemukan Darso berdiri di ambang pintu rumah. Memandangi Narsih dengan seringai yang menjijikkan. Mungkin Darso lah yang menjadi penyebab perasaan Narsih tidak nyaman kala mandi tadi.
Apakah Darso mengintip? Siapa sebenarnya Darso? Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk di benak Narsih. Membuatnya berdiri termenung di depan kamar mandi. Kakinya terasa berat untuk kembali masuk ke dalam rumah. Darso masih tersenyum memandangi Narsih.
"Sih? Masuk Nduk. Sudah sore. Bantu aku masak sayur," ucap Darso dengan suara seraknya. Entah bagaimana kali ini aura menakutkan Darso lenyap.
Narsih tidak memiliki pilihan lain. Nyatanya, hanya Darso yang bersamanya kini. Dia kembali melangkah masuk ke dalam rumah. Dan Darso mengunci pintu belakang.
"Sebenarnya aku ini siapa? Apa hubunganku dengan njenengan?" tanya Narsih sembari berjalan menuju ke meja dapur.
Tudung saji dari rotan tergeletak di atas meja. Narsih membukanya. Hanya ada nasi thiwul berwarna hitam yang beraroma sedikit kecut. Sementara di sudut ruangan, sebuah tungku kayu menyala dengan daun singkong mentah yang tengah direbus di atasnya.
"Aku akan menjelaskannya nanti. Setelah makan. Orang itu kalau lapar mau cerita juga ndak nyaman. Aku yakin kamu juga lapar," sahut Darso menyalakan lampu 'ublik' yang menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakarnya.
Suasana memang mulai gelap. Sore beranjak pergi berganti dengan malam. Rasa takut dan was-was semakin menggerogoti benak Narsih. Dia merasa tidak nyaman dengan setiap lirikan mata Darso. Tubuhnya seolah memberitahu untuk menjauh dari laki-laki tua itu.
"Kamu bisa kan masak?" ucap Darso membuyarkan lamunan Narsih. Laki-laki itu memegang pundak Narsih. Memijat-mijatnya sambil tersenyum penuh arti. Narsih merinding, agak menunduk mencoba menyingkirkan tangan Darso dengan sopan.
"Njenengan duduk saja. Aku bisa sendiri," ucap Narsih kemudian.
Darso menurut. Duduk santai dan sekali lagi menyulut rokok kobot nya. Laki-laki itu memperhatikan Narsih yang tengah berjongkok memasak dari belakang. Jari-jari tangan dengan ujung kuku yang menghitam mengusap-usap lututnya sendiri.
"Nanti malam, kamu resmi menjadi milikku."
Bersambung___
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
pioo
ini rumahnya mbah ginah kah
2024-11-03
0
Sophia
cerita yang sangat khas, sangat hangat dan kental akan kejawen,.
2024-04-24
0
Syahrudin Denilo
mampir deh
2024-02-26
0