Nemwelas

Narsih mengekor di belakang Wira. Hujan memang sudah berhenti. Menyisakan tanah basah dan becek, juga beberapa genangan air di badan jalan. Langkah kaki Wira sangat gesit, membuat Narsih tertinggal jauh di belakang.

Padahal Wira yang mengajak Narsih ke rumahnya. Namun malah ditinggalkan. Narsih kesal, ingin rasanya mengambil satu batu yang paling keras di tepi jalan dan melemparkan tepat ke kepala Wira.

"Bisa-bisanya aku menerima lamaran laki-laki tak punya hati seperti dia," gerutu Narsih. Meski Wira menjengkelkan, tetap saja perempuan itu sulit menolak lamarannya.

Narsih merasa berhutang budi pada Wira. Dua kali Narsih diselamatkan. Berhutang harta benda, emas perhiasan bisa dibayar. Namun hutang budi akan dibawa sampai mati. Selain itu, hati Narsih memang telah luluh di hadapan sosok Wira. Laki-laki tampan tapi menyebalkan, yang membuat Narsih penasaran.

"Hey, jangan terus melamun. Ayoklah. Apa karena belum makan jalanmu terlihat lemes?" gerutu Wira membuyarkan lamunan Narsih.

"Apa kamu ndak sadar, tubuhmu itu tinggi besar. Satu langkah kakimu sama dengan empat langkah kakiku. Bagaimana bisa aku menyusulmu?" protes Narsih setengah berteriak.

Wira berjalan menghampiri Narsih. Menatap perempuan itu hingga salah tingkah. Telapak tangannya yang besar diletakkan di atas kepala Narsih. Dia terdiam sejenak.

"Yah, kurasa kamu memang pendek," ujar Wira kemudian. Narsih mendengus kesal. Merasa diejek dan dipermainkan.

"Mau kugendong?" tanya Wira seraya berjongkok di hadapan Narsih. Wajah perempuan itu langsung memerah.

"Kamu kira aku bocah balita," protes Narsih menutupi rasa malu.

"Kalau begitu jangan lelet. Ayo jalan," perintah Wira ketus.

"Hiiihhhhh." Narsih mengepalkan tangannya, gemas.

Menyusuri jalanan pedesaan yang mulai ramai saat hujan reda. Beberapa orang berangkat ke ladang, memanggul cangkulnya. Saat berpapasan dengan Wira, orang-orang selalu mengangguk menunjukkan rasa hormat. Sedangkan tatapan acuh diarahkan pada Narsih.

"Sepertinya kamu orang penting di desa," gumam Narsih kagum.

"Ohh ndak juga. Semua itu mungkin karena pengaruh Bapak," jawab Wira santai.

Cukup jauh Narsih berjalan, hingga akhirnya sampai di balai desa. Bangunan yang megah dibandingkan rumah-rumah sederhana milik warga. Rumah yang dituju Wira tidak jauh dari balai desa.

Sebuah rumah dengan halamannya yang luas. Pagar dari bambu kuning melingkar, mengelilingi rumah dari bagian depan hingga belakang. Sebuah pohon beringin besar nampak rimbun dengan akar nafasnya yang menggantung berdiri kokoh di bagian samping. Sedangkan di pekarangan depan beberapa tanaman rambat yang berkhasiat, tumbuh dengan subur. Seperti sirih merah, sembukan, juga binahong. Ada pula pohon kelor yang dipotong pendek.

Wira berhenti di depan pintu rumah, menunggu Narsih yang masih tertinggal di belakang. Narsih beberapa kali menghela nafas. Dia merasa sangat gugup. Menarik-narik ujung bajunya agar terlihat lebih rapi.

Sejujurnya Narsih takut. Seperti apa orangtua Wira? Mungkinkah mereka mau menerima Narsih apa adanya? Seorang yang tidak tahu asal usulnya sendiri. Jika Narsih mengaku sebagai anak Darso, apakah akan menjadi masalah? Bukankah semua warga desa membenci Darso? Ingin rasanya Narsih berbalik badan dan kembali pulang ke rumah. Menikmati secangkir teh hangat dirasa lebih masuk akal daripada menemui orangtua Wira.

"Mas? Wira? Kurasa aku belum siap untuk ini," bisik Narsih dengan jari tangannya yang terus bergerak menunjukkan kegelisahan. Wira diam saja tidak menyahut. Dan pada saat itulah pintu rumah terbuka dari dalam.

Mata Narsih membulat melihat sosok yang keluar dari dalam rumah. Laki-laki dengan tongkat bergambar harimau. Laki-laki yang memiliki aura menakutkan. Dada Narsih sesak, hanya mampu melotot ke arah Wira yang menunduk memberi hormat.

"Perkenalkan, ini Bapakku. Namanya Ki Mangun," ucap Wira kalem. Tingkahnya yang congkak berubah lembut di hadapan sang Bapak.

Narsih terdiam membisu. Dia merasa tidak perlu diperkenalkan pada laki-laki tua di hadapannya itu. Teringat jelas di benak Narsih, bagaimana Darso berpesan agar menjauhi laki-laki bernama Ki Mangun. Dan kini, dia malah diajak masuk ke dalam keluarga Sang sesepuh desa.

"Kita sudah saling mengenal," ucap Ki Mangun dengan sebuah senyuman tersungging di bibirnya. Narsih menelan ludah. Ki Mangun memang tersenyum, tapi aura yang keluar dari tubuh laki-laki sepuh itu tetap mengintimidasi.

"Ajak dia masuk," perintah Ki Mangun pada Wira yang segera dibalas dengan anggukan tanda kepatuhan.

Wira meraih tangan Narsih, menggandeng dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. Meski lututnya gemetar karena gugup dan takut, Narsih tetap mengayunkan langkah. Tidak ada pilihan lain kecuali mengikuti Wira.

Rumah Ki Mangun bagian dalamnya sangat luas. Empat tiang dari batang kayu jati yang bulat dan besar berada di tengah ruangan. Kursi rotan berderet menghadap sebuah meja yang panjang dengan sebuah kotak kayu di bagian tengah.

"Silahkan duduk Nduk," ucap Ki Mangun. Laki-laki itu mengambil duduk terlebih dahulu, di sebuah kursi goyang yang penuh ukiran gambar harimau. Wira sedikit menarik lengan Narsih, mengajaknya duduk berhadap-hadapan dengan Ki Mangun.

Datang seorang perempuan dari bagian belakang rumah membawa nampan berisi empat cangkir minuman. Perempuan yang terlihat anggun dan cantik, meski rambutnya sudah memutih menggambarkan usianya yang sudah tak lagi muda. Beberapa kerutan pun terlihat jelas di dahi dan pipinya. Bibirnya benar-benar merah merekah bagai bunga mawar. Senyumnya terkembang menenangkan, membuat rasa takut Narsih sedikit berkurang.

"Ohh ini yang namanya Nduk Narsih. Perkenalkan aku Ginah, panggil saja Mbok Ginah. Aku ibuknya, simboknya Wira."

Narsih sedikit terkejut mendengar penuturan Mbok Ginah. Dia sama sekali tidak menduga perempuan itu istrinya Ki Mangun. Mbok Ginah memang terlihat sudah cukup berumur, namun terlalu muda untuk menjadi istri Ki Mangun.

"Silahkan diminum. Ndak usah gugup begitu. Kami sudah tahu kok tujuanmu kemari," lanjut Mbok Ginah. Narsih tersipu mendengarnya. Ki Mangun berdehem cukup keras, membuat Mbok Ginah langsung mengatupkan mulutnya rapat-rapat.

Ki Mangun menepuk lengan Mbok Ginah, memintanya untuk duduk. Mbok Ginah pun menurut, segera duduk di samping suaminya. Sekilas pandang Narsih langsung mengerti, dalam keluarga itu semua orang patuh pada Ki Mangun.

"Nduk Narsih," panggil Ki Mangun dengan suaranya yang lirih namun penuh penekanan.

"Eng nggeh," sahut Narsih gelagapan.

"Sejujurnya aku dan istriku sudah tahu tujuanmu datang kemari. Pagi tadi Wira sudah ngomong, jika dia menyukai dan menginginkan dirimu." Ki Mangun menarik nafas panjang.

"Aku yang meminta Wira agar mengajakmu kemari. Aku ingin kamu memahami, apapun yang Darso . . maksudku Bapakmu katakan tentangku, tidak semuanya benar. Mungkin hubungan kami memang buruk. Mungkin juga benang takdir menggariskan kamu dan Wira yang mempersatukan dua keluarga ini. Jadi dengan kerendahan hati aku sebagai Bapaknya Wira memohon agar kamu bersedia mendampingi Wira dalam susah senangnya, menemani anak laki-lakiku satu-satunya hingga masa tua nanti," tukas Ki Mangun. Kata-kata yang tertata rapi, enak didengar, namun Narsih merasa laki-laki tua itu tidak tulus dalam ucapannya.

Bersambung___

Terpopuler

Comments

Yuli a

Yuli a

ada misi tersembunyi kah...
jangan-jangan Ki mangun udah tau kalau Narsih itu jimat yang dicari-cari...

2025-01-24

0

❀ Jαʂɱιɳҽ ❀

❀ Jαʂɱιɳҽ ❀

wira ngelamar narsih, dan ki mangun setuju... semoga tidak ada niat jelek terselubung

2024-02-22

1

Ass Yfa

Ass Yfa

sek2 ...Ki Mangun mbh buyut nya mbh kadir,,, sedang Wira mbh nya mbh Kadir.... Dani cucunya mbh Kadir persis Wira mngknya Narsih nhejar2 Dani

2024-01-24

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!