Tahun 1958
Tepat sepuluh tahun semenjak Agresi Militer Belanda 2 terjadi. Lima tahun sesudah 'alas bukit manik-manik' dibuka untuk pemukiman. Banyak bangunan baru yang terbuat dari kayu akasia didirikan sepanjang tepi sungai.
Sedikit jauh dari deretan pemukiman warga, ada sebuah rumah yang berdiri sendirian di ujung jalan. Menghadap dua aliran sungai yang bergabung membentuk sebuah 'tempuran' dengan cekungan yang cukup dalam. Warna hijau kebiruan dari air yang nampak tenang membuat setiap orang sulit menerka berapa kedalamannya.
Sepasang mata mengerjap, saat sinar matahari sore hari tepat menimpa bagian tengah dahinya melalui celah di antara genteng yang tak rata. Cahaya yang menyilaukan tapi terasa hangat sedikit menyengat, hingga perempuan berparas ayu itu terjaga dari tidurnya. Dia memperhatikan sekeliling, dan entah bagaimana merasa asing.
Perempuan itu mengedarkan pandangan, menemukan tubuhnya terbaring di atas dipan beralaskan bambu kuning. Tubuhnya hanya terbalut kain jarik batik barong berwarna cokelat tua. Ada taburan bunga telon di sekitarnya.
Perempuan itu juga mengamati ruangan tempatnya berbaring. Sebuah rumah kecil dengan empat kursi kayu di bagian depan. Di samping tempatnya berbaring ada bilik yang tertutup kelambu berwarna hijau. Tidak ada perabotan lainnya. Rumah yang benar-benar lengang.
Kelambu tiba-tiba terbuka. Muncul sosok laki-laki dari dalam bilik. Laki-laki yang bertelanj*ng dada, hanya mengenakan celana hitam dan ikat kepala batik menutupi dahinya yang mulai botak. Mungkin laki-laki itu berusia 50 an tahun. Seulas senyum terkembang menatap perempuan yang masih kebingungan di hadapannya.
"Njenengan siapa? Aku siapa?" tanya perempuan yang duduk di atas ranjang. Dia mendekap dadanya, khawatir kain 'tapih' batik yang membelitnya terlepas.
"Namaku Darso. Namamu Narsih. Wajar jika kamu nggak ingat apa-apa. Tapi, tenang sajalah. Aku yang menjagamu," ucap laki-laki bernama Darso itu. Merogoh saku celana, mengambil gulungan tembakau dan cengkeh yang terbungkus kulit jagung kering yang disebut 'kobot'.
Darso menyalakan rokoknya, menghisap kepulan asap berbau tembakau menyengat itu dalam-dalam. Kemudian menghembuskannya perlahan, seolah tidak rela zat karbonmonoksida itu menguap di udara. Darso duduk di ruang tamu dengan perutnya yang bulat besar memenuhi kursi kayu.
"Tolong jelaskan padaku. Apa yang sebenarnya terjadi," desak Narsih. Dia berdiri tanpa alas kaki. Tungkai kakinya putih bersih sedikit kemerahan. Jelas perempuan itu pandai merawat diri.
"Namamu Narsih. Umurmu 24 tahun. Itu saja dulu yang perlu kamu tahu. Selebihnya kujelaskan satu persatu, sedikit demi sedikit nanti. Agar kamu ndak mumet," sahut Darso. Ekspresinya mengisyaratkan laki-laki itu tengah jengkel mendapat pertanyaan dari Narsih.
"Sekarang mandilah. Bersihkan dirimu. Handuk dan baju ada di tempat jemuran depan kamar mandi," perintah Darso. Narsih diam tak menyahut. Dia kebingungan.
"Oh iya, kamu juga nggak tahu dimana letak kamar mandi? Ada di halaman belakang, lewat pintu itu," ucap Darso menunjuk pintu kayu jati usang di bagian belakang.
Sedikit ragu-ragu Narsih pun melangkah. Menyusuri lantai tanah yang bergelombang tanpa alas kaki. Menarik pintu dengan kunci grendel berkarat, dan membukanya perlahan. Angin berhembus dingin. Suara aliran sungai terdengar deras, menghantam bebatuan sedimen besar yang mencipta riak dan buih putih. Selang beberapa detik saja buih itu pun lenyap.
Narsih meraih kain handuk yang tergantung di jemuran dari tali tambang kasar. Ada satu baju perempuan bermotif bunga merah yang sedang cukup tenar belakangan ini. Narsih pun mengambil baju itu, dan kembali berjalan menuju ke bangunan yang terpisah dari rumah utama.
Bangunan dari bata yang ditumpuk setinggi leher Narsih. Tanpa ada atap ataupun pintu. Di dalamnya terdapat kolam dari bebatuan yang disusun rapi dengan air jernih yang mengalir melalui selang kecil berwarna hijau. Tempurung kelapa besar mengambang di permukaan kolam berfungsi sebagai gayung.
Narsih merasakan tubuhnya lengket. Dia memang perlu mandi, seperti kata Darso. Narsih pun meletakkan handuk dan bajunya di dinding. Kemudian menanggalkan 'tapih' jarik di badannya.
Tubuh Narsih sangat mulus. Setiap lekukannya terlihat sintal dan proporsional. Aroma bunga telon semerbak kala tubuh Narsih tak tertutup benang barang sehelai pun.
"Kenapa tubuhku bau melati begini?" gumam Narsih heran. Dia berjongkok mengambil gayung batok kelapa.
Masih dengan segudang pertanyaan di benaknya, Narsih mengguyur badan dengan air yang ternyata terasa sangat dingin. Membilas setiap inci tubuhnya, dari ujung rambut hingga ujung kaki. Barulah kemudian Narsih menyadari, ada beberapa lebam di sekujur tubuhnya. Dari betis, paha, perut, juga lengannya. Ada bekas luka yang entah darimana Narsih mendapatkannya. Entahlah dia lupa.
Saat sedang asyik membersihkan diri, Narsih kemudian menyadari ada hawa dingin menyergap tengkuknya. Dia mengedarkan pandangan, karena merasa ada sepasang mata yang mengawasi. Narsih pun buru-buru menyambar handuk, mengeringkan tubuhnya. Kemudian kembali mengenakan jarik, diikat kuat di pinggang dan menyambar baju bermotif bunga merah di atas dinding kamar mandi.
Selesai berpakaian, Narsih keluar dari kamar mandi, dan menemukan Darso berdiri di ambang pintu rumah. Memandangi Narsih dengan seringai yang menjijikkan. Mungkin Darso lah yang menjadi penyebab perasaan Narsih tidak nyaman kala mandi tadi.
Apakah Darso mengintip? Siapa sebenarnya Darso? Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk di benak Narsih. Membuatnya berdiri termenung di depan kamar mandi. Kakinya terasa berat untuk kembali masuk ke dalam rumah. Darso masih tersenyum memandangi Narsih.
"Sih? Masuk Nduk. Sudah sore. Bantu aku masak sayur," ucap Darso dengan suara seraknya. Entah bagaimana kali ini aura menakutkan Darso lenyap.
Narsih tidak memiliki pilihan lain. Nyatanya, hanya Darso yang bersamanya kini. Dia kembali melangkah masuk ke dalam rumah. Dan Darso mengunci pintu belakang.
"Sebenarnya aku ini siapa? Apa hubunganku dengan njenengan?" tanya Narsih sembari berjalan menuju ke meja dapur.
Tudung saji dari rotan tergeletak di atas meja. Narsih membukanya. Hanya ada nasi thiwul berwarna hitam yang beraroma sedikit kecut. Sementara di sudut ruangan, sebuah tungku kayu menyala dengan daun singkong mentah yang tengah direbus di atasnya.
"Aku akan menjelaskannya nanti. Setelah makan. Orang itu kalau lapar mau cerita juga ndak nyaman. Aku yakin kamu juga lapar," sahut Darso menyalakan lampu 'ublik' yang menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakarnya.
Suasana memang mulai gelap. Sore beranjak pergi berganti dengan malam. Rasa takut dan was-was semakin menggerogoti benak Narsih. Dia merasa tidak nyaman dengan setiap lirikan mata Darso. Tubuhnya seolah memberitahu untuk menjauh dari laki-laki tua itu.
"Kamu bisa kan masak?" ucap Darso membuyarkan lamunan Narsih. Laki-laki itu memegang pundak Narsih. Memijat-mijatnya sambil tersenyum penuh arti. Narsih merinding, agak menunduk mencoba menyingkirkan tangan Darso dengan sopan.
"Njenengan duduk saja. Aku bisa sendiri," ucap Narsih kemudian.
Darso menurut. Duduk santai dan sekali lagi menyulut rokok kobot nya. Laki-laki itu memperhatikan Narsih yang tengah berjongkok memasak dari belakang. Jari-jari tangan dengan ujung kuku yang menghitam mengusap-usap lututnya sendiri.
"Nanti malam, kamu resmi menjadi milikku."
Bersambung___
Udara senja yang terlampau dingin. Suara tonggeret menjadi pertanda malam akan datang. Sesekali hembusan angin menerobos lewat celah dinding kayu meniup api di tungku. Mencipta kehangatan sesaat bersama percikan kecil bara yang beterbangan.
Narsih berjongkok menuang santan ke dalam panci yang berisi daun singkong. Meski dia masih bingung dengan ingatannya yang kosong, namun ketrampilan memasaknya tidak diragukan. Aroma santan yang mendidih gurih, semerbak ke penjuru ruangan.
"Sudah matang kah sayurnya? Sayang sekali hari ini aku tidak memancing ikan untuk lauk. Aku terlalu sibuk mengurusmu dari semalam," ucap Darso sambil tersenyum. Di bawah cahaya lampu kurung yang temaram, wajah laki-laki itu nampak berminyak dan lirikan matanya menakutkan.
"Mengurusku?" Narsih mengernyitkan dahi.
Darso berdiri dari duduknya dan menghela nafas perlahan. Tepat ketika terdengar ketukan di pintu depan. Darso nampak cemberut, seolah terganggu dengan suara ketukan itu.
Dengan langkah gontai Darso menuju ke pintu depan. Ketukan terus berulang. Siapapun yang ada di balik pintu pasti orang yang tengah tergesa-gesa. Sedikit kasar Darso menarik daun pintu dengan wajah kusut. Seorang laki-laki kurus berdiri di teras depan dengan wajah ketakutan.
"Semprol! Rupanya kamu Min. Ada perlu apa kemari surup-surup?" bentak Darso kala melihat tamunya adalah Katimin. Laki-laki itu tidak mengenakan baju, hanya celana kolor hitam lusuh untuk menutupi tubuhnya. Katimin benar-benar kurus bahkan tulang iga nya nampak menonjol tanpa daging ataupun lemak.
"Gawat Ki, gawat!" pekik Katimin panik. Darso menaikkan alisnya.
"Apanya yang gawat? Ngomong yang jelas!" bentak Darso.
Narsih masih berada di dapur. Hanya menyimak dua laki-laki asing yang tengah berdebat itu. Dari cara bicaranya, Narsih menduga Katimin adalah bawahan atau mungkin rewang dari Darso.
"Orang-orang menuju kemari Ki. Warga kemari. Kayaknya berkaitan dengan matinya Mbah Bayan," ucap Katimin panik.
"Terus kenapa? Mereka mau melabrakku? Memangnya ada bukti? Orang-orang desa kok ngawur," sahut Darso santai.
"Lebih baik Ki Darso sementara sembunyi dulu. Aku khawatir Ki. Aku tahu Ki Darso punya ilmu, beladiri juga mumpuni. Tapi jumlah mereka terlalu banyak Ki," bujuk Katimin.
"Ogah. Kamu saja yang lari dan sembunyi. Pantang bagi Darso untuk takut pada orang-orang kampung yang beraninya keroyokan. Lihat saja nanti," ucap Darso sesumbar.
"Ki Mangun ikut dalam rombongan. Bukankah sebaiknya njenengan menghindari pertemuan dengannya?" Katimin mencoba mengingatkan Darso. Namun mendengar ucapan Katimin Darso malah tersinggung.
"Minggato! Dasar penakut! Dunia ini hanya milik pemberani. Manusia penakut sepertimu takkan memiliki tempat dan jabatan tinggi nantinya," bentak Darso sambil melotot.
Katimin pun terdiam, kemudian memutar badan dan segera berlari meninggalkan rumah Darso. Sesekali dia masih menoleh. Berharap Darso mau mendengarkan sarannya. Namun nyatanya yang terjadi malah Darso menutup pintu rumah dengan sekuat tenaga.
"Nduk, Narsih!" panggil Darso. Narsih masih diam terpaku di depan tungku.
"Kamu ingin tahu siapa sebenarnya dirimu kan?" tanya Darso mendekati Narsih. Perempuan itu mengangguk perlahan.
"Kamu adalah anakku Nduk. Apapun yang terjadi nanti kamu harus ingat, bahwa dirimu adalah anak satu-satunya Ki Darso. Dukun paling kondang di desa Karang," ucap Darso memegang erat pundak Narsih.
"Lalu apa yang terjadi padaku? Kenapa aku nggak ingat semua hal?" tanya Narsih, curiga Darso tengah berdusta.
"Itu semua karena Ki Mangun. Musuhku. Dia telah mengirimkan guna-guna padamu hingga kamu lupa segalanya. Aku sedari kemarin mencoba mengobatimu tapi ndak bisa. Ki Mangun adalah dukun sakti tapi hatinya penuh niat jahat," jelas Darso meyakinkan.
"Jika demikian, dimana Ibuku?" tanya Narsih sekali lagi. Darso melepaskan cengkeraman tangannya. Wajah laki-laki itu terlihat kesal mendapat pertanyaan Narsih yang bertubi-tubi.
"Kamu itu benar-benar cerewet! Banyak tanya! Pokoknya aku sudah memberitahu yang sebenarnya padamu. Setelah ini sembunyilah. Ki Mangun bersama orang-orang kampung itu sepertinya ingin menghabisiku," ucap Darso. Raut wajahnya menyiratkan kegelisahan.
Narsih masih tidak bisa mempercayai Darso. Dia diam saja, menatap kobaran api yang membakar kayu kering dalam tungku. Sementara di halaman depan tiba-tiba saja terlihat terang.
Ada puluhan obor berjejer menerangi jalan menuju ke rumah Darso. Warga desa berdatangan dengan teriakan-teriakan memanggil Darso agar keluar. Wajah Darso terlihat pucat.
"Nduk, pokoknya jauhi Ki Mangun dan keluarganya. Jangan makan pisang emas. Dan satu lagi jangan lupa, setiap hari rebo wage kamu harus mandi kembang telon. Terutama rebo wage manahil. Ingat pesanku. Dan sekarang sembunyilah di kamar. Aku mungkin takkan kembali lagi," ujar Darso setelah menghela nafas panjang. Kesombongannya kini telah pudar. Dalam batinnya Darso sedikit menyesali tidak mendengarkan saran dari Katimin. Tapi mau bagaimana lagi, nasi sudah menjadi jenang.
Darso mengambil rokok kobotnya dari saku celana. Dia membetulkan ikat kepala yang agak miring. Setelah menghisap asap tembakau, Darso kembali menegakkan punggung. Berjalan dengan langkah yang terlihat congkak. Dagunya di angkat tinggi, siap menantang siapa pun yang ada di halaman rumahnya.
Suara teriakan dari luar rumah semakin kencang bergema. Kilatan warna merah jingga dari kobaran api obor terlihat menyala di antara celah dinding kayu. Narsih berjongkok di balik dipan bambu kuning. Darso meniup lampu kurung di dinding, membuat suasana dalam rumah menjadi gelap pekat.
Darso membuka pintu depan. Dia keluar rumah dengan kedua tangan diletakkan di pinggang. Puluhan warga menyambutnya dengan tatapan penuh kebencian.
"Ada apa kalian teriak-teriak depan rumahku? Ndak punya tata krama, unggah ungguh yang biasanya kalian gaung-gaungkan. Cihh!" bentak Darso menatap satu persatu warga di hadapannya. Kemudian matanya tertuju pada satu sosok yang berdiri di tengah kerumunan.
Ki Mangun, laki-laki yang memakai blangkon bermotif batik cengkeh. Setelan baju dan celana panjangnya serba hitam. Kumis tebal melintang di atas bibir. Dengan sorot mata tajam ke arah Darso.
"Darso, jangan pura-pura bodho! Kamu kan yang mengirim santet pada Pak Bayan?" teriak salah satu warga di barisan depan.
"Hah? Jaga mulutmu! Menuduh tanpa bukti itu sama saja dengan fitnah!" balas Darso tak mau kalah.
"Semua orang juga tahu kamu mengincar posisi Bayan, tapi nggak kepilih. Makanya kematian Pak Bayan pasti ulahmu!" sahut warga lainnya. Darso melotot dengan wajah memerah.
"Jadi kalian melabrakku berdasar asumsi. Menggelikan!" bantah Darso. Suasana hening. Darso memang pandai berdebat. Warga mati kutu dibuatnya.
Ki Mangun berdehem, kemudian melangkah maju. Laki-laki tua itu terlihat tegap meski untuk berjalan membutuhkan bantuan sebuah tongkat kayu.
"Darso, aku tahu soal ilmu yang menjadi peganganmu. Mengaku saja dan serahkan semua jimat yang kamu miliki!" perintah Ki Mangun.
"Kamu mengincar jimatku ya Pak Tua. Enak saja! Sudah memfitnah, terus mau merampas apa yang menjadi milikku. Pulang dan tidur di ranjang empukmu. Tak usah mengganggu hidupku," ejek Darso congkak.
Tiba-tiba salah satu warga yang berada di barisan depan berlari maju dan langsung menghantamkan balok kayu ke kepala Darso. Kayu patah dan Darso hanya tersenyum sinis.
Bersambung___
"Ki Darso kebal!" pekik salah seorang warga.
Beberapa orang berbadan gempal maju dan mencoba memukuli Darso. Namun laki-laki itu tidak goyah. Bukannya merasa sakit, Darso malah tertawa terbahak-bahak.
"Kalian itu seharusnya bersyukur. Di tengah-tengah kehidupan desa yang melarat ada orang kuat sepertiku. Jadi jika sewaktu-waktu ada gangguan dari luar aku lah yang maju. Bukannya menerimaku, kalian malah mengucilkan ku," gerutu Darso.
"Mana sudi kami mengikuti orang yang memuja ilmu hitam sepertimu! Bisa-bisa desa ini kena karma, musibah!" balas warga dengan lantang.
Darso menggeram, kesal. Dia merasa kecewa. Setiap apapun yang dia inginkan kenapa selalu bertentangan dengan warga desa. Darso memang beberapa kali mencelakai orang lain dengan ilmu santetnya. Tapi orang-orang itu memang layak dilenyapkan bagi Darso.
"Kalian itu hanya iri padaku! Manusia lemah selalu merasa takut pada hal-hal yang tidak mereka mengerti. Seperti halnya ilmuku. Kalian takut, karena merasa tak bisa menguasainya," ejek Darso.
Warga melingkar mengepung Darso di tengah halaman depan rumah. Entah siapa yang dirasuki iblis malam ini. Darso yang memuja ilmu hitam, atau para warga yang dikuasai amarah ingin melenyapkan Darso.
Beberapa orang maju sekali lagi, memukuli Darso membabi buta. Namun laki-laki itu tetap kuat berpijak pada tanah. Tidak ada satupun luka lecet. Malah warga yang memukulinya merasakan ngilu di ruas-ruas jari. Tinju mereka penuh luka lebam.
Darso tertawa terbahak-bahak. Suaranya bergema mengerikan. Beberapa warga mundur. Yang awalnya bernyali besar, ternyata kini tak ubahnya rupa harimau namun berhati tikus.
Di tengah kerumunan warga, Ki Mangun memejamkan mata. Mulutnya komat kamit sebentar kemudian menyerahkan sepucuk tunas tanaman pada warga yang berdiri di sebelahnya. Laki-laki yang menerima tunas tanaman itu pun berlari ke depan. Menyibak kerumunan yang masih mencoba mengeroyok Darso.
Darso semakin merasa unggul. Setiap pukulan lawan tidak berpengaruh pada tubuhnya. Dia merasa jumawa. Sesekali mengibaskan tangan menampar warga yang berupaya mendekat. Namun saat sebuah pecutan mengenai punggungnya yang terbuka, Darso merasakan nyeri.
Tiba-tiba Darso kesakitan. Punggungnya terasa panas. Kemudian beberapa pukulan menghantam perutnya. Darso pun terhuyung. Dia muntah dan akhirnya ambruk ke tanah.
"Daun kelor?" Darso kini menyadari benda apa yang tadi dipecutkan ke punggungnya. Tubuhnya terasa lemah. Tenaganya lenyap seketika.
"Seret ke lereng bukit manik-manik!" perintah salah seorang warga.
Darso yang sudah tak berdaya hanya bisa pasrah saat beberapa tangan mencengkeram pundaknya. Sedangkan dari dalam rumah Narsih mengintip melalui celah lubang dinding kayu. Mengamati orang-orang yang menyeret Darso bagai binatang hasil buruan.
Anehnya, Narsih tidak merasakan kesedihan. Padahal Darso mengatakan bahwa dia adalah Bapaknya Narsih. Tapi kenapa tidak ada getaran di hatinya melihat sosok laki-laki itu diseret dan diperlakukan tidak manusiawi?
Narsih terkejut, tersadar dari lamunannya kala menyadari ada sepasang mata yang menatap rumah dengan pandangan yang tajam. Ki Mangun berdiri di tengah halaman depan. Bola mata yang bulat dengan pantulan kobaran api obor di pupilnya nampak menakutkan menatap lurus, seolah tengah memandangi Narsih yang bersembunyi di balik dinding.
Ki Mangun akhirnya berjalan pergi. Meninggalkan rumah yang ditelan kegelapan kala obor warga berjalan menjauh. Membiarkan Narsih yang kebingungan dan ketakutan.
Warga terus menyeret Darso. Tidak ada yang peduli meski dukun itu mengaduh kesakitan. Kakinya penuh luka terantuk bebatuan yang terjal sepanjang jalan menuju ke lereng bukit.
Saat rombongan warga penuh amarah itu sampai di area lapang dengan rumput gajahan dan gelagah setinggi lutut, Darso dilemparkan begitu saja. Tubuh gemuk penuh lemak itu berguling di atas rumput. Beberapa warga tertawa puas.
"Br*ngsek kalian!" umpat Darso mencoba bangun. Tapi luka-luka di kaki membuat Darso semakin lemah.
"Seperti inikah tabiat warga desa yang katanya menjunjung tinggi norma adat kesopanan? Seolah aku ini hewan yang tidak berguna," keluh Darso sambil menahan rasa nyeri di tulang keringnya.
"Bukankah manusia yang tega mengalirkan darah manusia lain berarti lebih buas dari hewan? Memperlakukan manusia yang seperti itu tidak bisa dengan hukum adat, tapi dengan hukum rimba!" bentak salah satu warga yang merupakan anak dari Mbah Bayan. Laki-laki itu terlihat penuh amarah dan dendam.
"Ya benar! Jika orang sepertimu dibiarkan hidup di tengah masyarakat yang menginginkan kedamaian, tentu hanya akan menjadi benalu! Habisi saja!" sahut warga lainnya.
Darso terduduk lemas. Dia sudah pasrah dengan nasibnya. Sebenarnya sedari siang tadi, Darso sudah memiliki firasat yang kurang baik. Ada kegelisahan di hati yang sulit diungkapkan. Dia kembali menyesali sudah menghiraukan saran Katimin.
Seandainya saja Darso mau menurunkan sedikit egonya. Jika tadi Darso bersedia untuk bersembunyi, tentu ada peluang untuk selamat dari amukan warga. Tapi mau sampai kapan Darso lari?
Warga yang terlanjur dibutakan oleh amarah merangsek maju. Mereka beramai-ramai memukuli Darso. Ada yang menggenggam bongkahan batu, dihantamkan langsung pada kepala Darso.
Di bawah cahaya obor yang temaram, warna merah pekat terciprat di udara. Membasahi rumput gajahan, menodai warna hijau muda tunas tanaman yang baru tumbuh.
Darso tidak mengaduh meski kepalanya pusing seperti mau pecah. Dia dapat melihat tubuhnya yang terkoyak. Suara tulang iganya yang patah. Dia juga dapat merasakan gigi geraham yang rontok serta bola mata yang nyaris melompat keluar dari tempatnya. Semua itu Darso nikmati.
Bayangan kehidupan yang puluhan tahun telah dia jalani mulai terlihat di benaknya. Tiba-tiba saja ingatannya diarahkan pada sosok Narsih. Perempuan cantik yang sangat dia inginkan. Bagaimana hidup Narsih jika Darso mati?
Mengingat Narsih, membuat Darso menitikkan air mata. Padahal banyak rencana indah yang sangat ingin Darso wujudkan. Tapi semua itu sudah tak mungkin lagi terlaksana. Ajal sudah di depan mata.
Darso kesal, dan marah. Semua perasaan hancur itu diarahkan pada sosok Ki Mangun. Andai saja laki-laki itu tidak ada, mungkin tidak akan ada warga desa yang mampu melukai Darso.
"Aarrgghhh!" Darso tiba-tiba saja berteriak saat sekujur tubuhnya remuk. Suaranya parau. Nafasnya pun hanya tersisa di ujung tenggorokan.
"Aku tak terima. Kalian semua lihat saja nanti! Ki Manguuun, kutunggu di neraka!" pekik Darso sekuat tenaga. Detik berikutnya dia mengejang sesaat kemudian terbatuk-batuk dan nafasnya pun lenyap. Darso tewas di tangan warga desa.
Tangan-tangan berlumuran darah masih terkepal erat. Senyum penuh kemenangan tersungging di bibir beberapa warga. Mereka lupa apa yang telah diperbuat tak ubahnya hewan yang tidak memiliki hukum.
Ki Mangun sampai di lokasi saat semua sudah selesai. Wajah tetua desa itu nampak mengeras kala melihat Darso sudah remuk tak berbentuk.
"Apa yang sudah kalian lakukan?" bentak Ki Mangun geram dan kecewa.
"Nyawa dibayar nyawa Ki. Sekarang sudah tuntas, impas," sahut anak Mbah Bayan.
"Bagaimanapun, kalian harus menguburkannya dengan layak," ucap Ki Mangun dengan ekspresi sedih.
"Serahkan saja padaku," jawab anak Mbah Bayan. Dibantu beberapa warga, anak Mbah Bayan mengangkat tubuh Darso yang sudah tak karuan bentuknya. Ki Mangun mengetuk-ngetuk tanah menggunakan tongkat kayunya.
"Semoga saja ini tidak menimbulkan masalah baru di desa."
Bersambung___
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!