Sekawanwelas

Aroma busuk menguar di udara. Seberkas cahaya menerobos masuk melalui lubang dinding kayu yang lapuk di beberapa bagian. Sarang laba-laba memenuhi setiap sudut ruangan dengan lebar tidak lebih dari dua meter.

Narsih kebingungan saat membuka mata, menemukan dirinya berada di ruangan asing itu. Tempat yang kotor, lembab dengan sebuah piring seng di dekat kakinya. Narsih hendak bergerak namun kedua kakinya terpasung batang kayu berwarna hitam pekat.

"Dimana ini?" gumam Narsih.

Pandangan Narsih terasa buram, terhalang rambut yang semrawut menutupi wajah. Aromanya pun tak sedap. Kecut, asem, apek bercampur bau keringat. Narsih menggerakkan tangan kanan, hendak menyibak rambut panjang yang terjuntai liar itu. Kemudian menyadari kedua tangannya tengah dirantai besi berkarat dengan bercak lumpur yang lengket menjijikkan.

Narsih mengedarkan pandangan. Kini dia bisa mengamati dengan jelas ruangan tempatnya disekap. Tubuh perempuan itu benar-benar kotor penuh lumpur. Narsih hanya memakai tapih berwarna gelap yang lusuh.

Sekujur tubuh Narsih penuh luka lebam. Nyeri mulai terasa menggerogoti lengan, punggung, hingga paha. Sementara di lutut hingga betis kanan nampak noda kuning encer beraroma menyengat. Kotoran manusia yang mulai mengering.

"Toloonggg!" teriak Narsih kemudian. Dia mulai merasa ketakutan. Nafasnya terasa sesak. Entah datang darimana, rasa takut dan khawatirnya memenuhi seluruh rongga dada.

Narsih memukul-mukul dinding kayu di hadapannya. Cukup lama dia menjerit, menggeliat, mencoba melepaskan diri. Namun kakinya terkunci erat. Balok kayu yang memasungnya benar-benar kuat dan berat.

Suasana hening, hanya terdengar isak tangis Narsih. Setiap kali angin bertiup menerobos masuk ke ke dalam ruangan, aroma busuk semakin menyiksa. Narsih mual, dia pun muntah. Terlihat butiran nasi yang tercerna sebagian, bersama lendir berbau anyir keluar dari perutnya. Menambah aroma ruangan semakin tidak karuan.

Terdengar suara langkah kaki mendekat. Jantung Narsih berdegup kencang. Dia ketakutan, tengkuk membesar seiring rasa cemas yang menggerogoti benaknya. Narsih memiliki firasat siapapun yang mendekat pastilah orang jahat.

Pintu di sisi sebelah kiri Narsih terbuka. Sinar matahari terasa menyilaukan. Ada seseorang yang berdiri di ambang pintu, terhalang terangnya cahaya hingga tak terlihat rupa wajahnya.

Tangan kanan sosok itu melemparkan sesuatu ke piring seng. Bunyinya terdengar nyaring. Ternyata sepotong singkong bakar beraroma sangit.

"Makanlah."

Suara laki-laki yang berat dan serak. Suara asing yang Narsih tidak kenali. Bukan Darso, Ki Mangun, Katimin ataupun Wira. Entah siapa orang yang berdiri di hadapannya itu.

"Siapa kamu?" pekik Narsih.

"Lepaskan aku! Tempat apa ini? Kenapa aku dikurung? Apa salahku?" Narsih memberondong pertanyaan.

Sosok di depan Narsih tidak menjawab. Tetap berdiri menghadap ke arah Narsih. Namun perempuan itu tidak bisa menerka siapa gerangan yang tengah berkacak pinggang di hadapannya. Meskipun Narsih mencoba memicingkan mata, tetap saja wajah sosok itu tak terlihat. Hanya siluet hitam tertutup terangnya sinar matahari.

"Jawab aku! Siapa kamu? Lepaskan aku!" Narsih kembali meronta, mencoba melepaskan diri.

Sebuah pecutan rotan tiba-tiba saja melayang. Langsung menghantam telak pada lengan Narsih. Suara pecutannya kencang bergema, membuat telinga Narsih berdenging. Sensasi panas, perih, mulai terasa di kulit putih perempuan itu.

Narsih menjerit kesakitan. Dan pecutan rotan kembali melayang. Bertubi-tubi tanpa ampun.

"Diamlah! Jika terus menerus berteriak, maka aku akan memukulimu tanpa henti!" ancam sosok asing. Narsih langsung menutup mulutnya. Bibir merah itu terkatup rapat, dengan air mata yang tetap mengalir deras. Dia menahan suara tangisnya. Pedih, perih, dan tak berdaya. Narsih tergolek lemah, pasrah.

"Jangan cerewet. Makan, dan diam. Sudah cukup lelah aku terjebak dengan kehidupan menyedihkan bersamamu."

Sosok asing menutup pintu dan berjalan pergi. Narsih masih menangis. Kini suara isaknya terdengar. Tangisan pilu bukan disebabkan rasa nyeri di sekujur tubuhnya. Entah kenapa ada kesedihan mendalam di dalam hati Narsih, yang tidak tahu darimana asalnya.

Pintu kembali terbuka. Narsih tetap saja tidak mampu melihat wajah sosok asing yang telah menyiksanya. Sosok itu terdengar bercakap-cakap dengan seseorang. Suaranya familiar di telinga Narsih. Suara serak yang dia kenali. Suara Darso.

"Monggo, silahkan Ki," ucap sosok asing mempersilahkan seseorang yang masih berdiri di luar.

Benar perkiraan Narsih. Darso berjalan masuk ke dalam ruangan. Menatap Narsih sekilas, kemudian tersenyum masam.

"Siapa namanya? Wetonnya?" tanya Darso acuh.

"Namanya Narsih Ki. Kalau nggak salah, lahir hari rabu wage manahil," jawab sosok asing.

"Rabu pitu wage papat. Berarti 11," ucap Darso manggut-manggut.

Narsih terdiam. Tenggorokannya tercekat kebingungan. Dia tidak memahami apa yang tengah dibicarakan dua orang di hadapannya itu. Darso masih hidup? Apa yang sebenarnya dia rencanakan?

"Bisakah kamu tinggalkan aku berdua saja dengan Narsih?" ucap Darso kemudian. Sosok di sebelah Darso mengangguk setuju, kemudian segera beringsut mundur keluar ruangan.

Darso mengibas-ibaskan tangan kanan. Sepertinya terganggu dengan aroma tak sedap yang menguar di seluruh sudut ruangan. Darso menyentuh dahi Narsih, mengusap rambutnya.

"Darso? Kamu Darso kan?" Narsih bertanya lirih.

Darso tersenyum. Memamerkan deretan giginya yang menghitam. Laki-laki itu kemudian tertawa meringkik, dengan nafasnya yang terdengar kasar.

"Iya Nduk. Tempatmu bersamaku," ucap Darso sambil menyeringai. Aroma kemenyan bercampur tembakau yang terbakar berhembus dari mulutnya.

"Apa maksudnya?" tanya Narsih kebingungan.

"Tempatmu bersamaku." Darso mengulangi ucapannya disusul suara tawanya yang bergema.

Braakk

Suara pintu tertutup mengagetkan Narsih. Perempuan itu membuka mata, mengerjap-ngerjap. Dia memperhatikan sekeliling. Rupanya perempuan itu tengah berada di rumah Darso yang sunyi.

Pintu belakang terbuka dan tertutup karena tertiup angin. Narsih tertidur di atas dipan bambu sebelah dapur. Kepalanya terasa berat. Dia teringat, sore tadi sedang mencoba baju baru yang didapat dari pasar. Kemudian entah bagaimana merasakan kantuk dan tertidur.

"Mimpi yang aneh," gumam Narsih. Dia masih sedikit bingung. Kejadian dalam mimpi yang baru saja dialami terasa sangat nyata. Bahkan aroma ruangan sempit yang menyengat itu tertinggal di indera penciumannya.

Di luar rumah nampak langit berwarna merah menyala. Mendung yang biasanya putih bersih terlihat sedikit menguning. Waktu pergantian siang dengan malam. Waktu yang dikenal dengan sebutan 'surup'. Banyak kisah yang melarang untuk tidur saat 'surup' datang.

Narsih berdiri dan mengunci pintu. Kemudian menyalakan lampu 'ublik' yang terpasang di dinding. Tiba-tiba saja Narsih teringat sebuah tembang. Dia ingin bernyanyi.

Angkara gung neng angga anggung gumulung

Gegolonganira

Triloka lekeri kongsi

Yen den umar ambabar dadi rubeda

Sebuah tembang pucung yang merdu dinyanyikan Narsih. Entah dimana dia mendengarnya. Tembang yang tiba-tiba terngiang di indera pendengaran Narsih. Seolah tembang itu dinyanyikan untuk Narsih secara berulang dan terus-menerus.

Narsih memejamkan mata. Ada bayangan sosok perempuan yang menggendongnya. Membelai lembut rambut panjang Narsih. Dan tembang pucung terdengar merdu, seolah menimang-nimang agar Narsih segera terlelap.

Bersambung___

Terpopuler

Comments

Hana Nisa Nisa

Hana Nisa Nisa

blom ngerti

2025-01-27

0

Anifa Anifa

Anifa Anifa

membosankan

2025-01-08

0

Adinda

Adinda

mirip-mirip probo dalam kobeng ya c narsih ini...

2024-06-08

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!