Tigowelas

Hingar bingar pasar sore di sudut desa terasa semarak dengan berbagai macam hasil bumi yang dijajakan. Segala jenis buah-buahan dari daerah tropis nampak ranum dipamerkan. Saat ini memang sedang musim panen buah. Mbah Lurah desa Karang sangat gencar melakukan promosi ke desa-desa terdekat agar roda ekonomi masyarakatnya dapat berputar dengan lebih baik.

Sebagai desa yang terbilang baru, tentu membutuhkan strategi tersendiri agar lebih dikenal oleh khalayak ramai. Menginjak tahun ke lima setelah babat alas bukit manik-manik desa Karang sudah mulai menunjukkan tajinya. Mulai tersohor sebagai desa subur dengan hasil bumi unggulan nan melimpah.

Pasar sore yang diadakan seminggu sekali kini sangat ramai. Banyak warga desa lain yang datang untuk membeli kebutuhan pangan dengan harga yang memang lebih murah jika dibanding dengan pasar di kota. Namun tetap saja ada hal negatif yang menyertai kala banyak orang asing yang masuk ke wilayah desa Karang. Seringkali beberapa orang kecopetan saat berada di pasar. Atau bahkan dihadang perampok ketika perjalanan pulang. Juga banyak laki-laki hidung belang yang hanya berniat datang untuk bermain-main dengan perawan desa.

Narsih melangkah ragu-ragu di area pasar. Dia mengenakan setelan pakaian serba hitam milik Darso, karena tidak tersedia baju ganti di rumah. Hal yang terasa aneh bagi Narsih. Bagaimana mungkin hanya ada satu stel baju perempuan di rumahnya? Tidak ada baju ganti lain di dalam lemari. Hanya ada setelan baju milik Darso yang beraroma kemenyan.

Di pasar tidak ada satupun orang yang dikenali Narsih. Begitupun sebaliknya, tidak ada orang yang mengenali perempuan berparas ayu itu. Semua orang terasa sangat acuh karena sibuk dengan keperluan masing-masing.

Narsih menuju ke salah satu kios yang terletak di bagian belakang pasar. Kios berupa gubuk dari bambu itu menjual beberapa lembar kain jarit dan baju sederhana. Penjualnya seorang nenek yang sudah renta.

"Mari Mbak Yu, bajunya," ujar nenek penjual bersikap ramah. Senyumnya terkembang menunjukkan gusi tanpa gigi. Narsih diam saja, hanya memandangi kain di hadapannya. Narsih ingin memilih satu untuknya, namun tidak memiliki satu pun keping uang. Dia sudah mencari di seluruh rumah Darso, dan tidak menemukan benda berharga yang bisa dijual ataupun ditukar uang.

"Ambillah satu yang kamu suka. Biar aku yang bayar," ucap seseorang di belakang Narsih. Laki-laki asing yang cukup tampan bertubuh kurus. Narsih mengernyitkan dahi. Laki-laki asing itu hanya tersenyum kemudian menyodorkan beberapa keping uang logam pada nenek penjual.

"Ambillah. Aku tidak bergurau. Kebetulan hari ini daganganku laris, terjual habis. Anggap saja sebagai bentuk rasa syukur, aku mentraktirmu," ucap laki-laki asing itu tersenyum ramah. Narsih masih termenung di tempatnya berdiri.

"Namaku Paryo. Aku ikhlas membelikanmu satu stel pakaian ini." Laki-laki bernama Paryo itu akhirnya mengambil setelan pakaian secara acak, dan menyerahkannya pada Narsih.

Karena Narsih tetap saja mematung, Paryo akhirnya berjalan pergi. Saat itulah Narsih terkesiap. Dia sadar belum sempat mengucapkan terimakasih. Buru-buru Narsih menyusul Paryo.

"Kang, tunggu," pekik Narsih. Paryo pun berhenti. Laki-laki itu menoleh dan tersenyum kalem.

"Terimakasih dan maaf sudah bersikap acuh, kurang sopan," ucap Narsih tertunduk.

"Tidak masalah. Maaf nama Mbak Yu siapa kalau boleh tahu?" tanya Paryo.

"Narsih."

"Mbak Narsih mau kemana setelah ini? Pulang atau masih berkeliling pasar?" tanya Paryo sekali lagi. Narsih memperhatikan ekspresi Paryo, mencoba menerka apakah laki-laki itu benar-benar tulus?

"Aku mau pulang," jawab Narsih singkat.

"Kebetulan aku juga hendak pulang. Mari kalau begitu." Paryo mengajak Narsih untuk berjalan bersama. Namun Narsih diam saja, terlihat ragu.

"Oh maaf, mungkin kamu sudah punya suami begitukah? Jadi ndak enak jalan berdua dengan laki-laki lain. Tenang saja, aku hanya ingin mengantarmu melewati tegalan sana. Karena setelah tegalan itu kan ada persimpangan jalan, aku belok ke kanan nanti, keluar desa. Aku bukan warga desa sini," ujar Paryo menjelaskan.

Narsih pun akhirnya setuju. Tidak ada alasan untuk menolak sebuah kebaikan. Bersama Paryo, dia berjalan beriringan. Menyusuri area pasar yang penuh sesak. Sesekali Narsih merasa takjub melihat beberapa perhiasan yang dipajang dan dijajakan oleh para pedagang.

"Desa ini terkenal akan hasil buminya yang melimpah. Tanah yang subur adalah keistimewaannya. Sedangkan desaku adalah tempat untuk menempa logam mulia. Emas, dan perak dibentuk menjadi gelang kalung di desaku," jelas Paryo. Narsih manggut-manggut.

"Kapan-kapan silahkan berkunjung ke desaku. Ajak serta suamimu, kutunjukkan tempat pembuatan kalung yang indah dan murah," lanjut Paryo.

"Aku masih lajang, belum memiliki suami," sambung Narsih.

"Ooh. Karena memakai baju laki-laki, kupikir itu baju suamimu," ujar Paryo terkekeh. Narsih pun tersenyum. Mereka sudah melewati wilayah pasar dan masuk di area kebun yang sepi.

Jalanan tanah yang cukup halus di tengah kebun kopi terasa lengang. Sesekali angin bertiup, menghembuskan debu kering yang terkadang masuk ke mata. Tiba-tiba saja, Paryo meletakkan tangannya di pinggang Narsih. Perempuan itu terkejut, kemudian berusaha mendorong tubuh Paryo menjauh.

"Kenapa sih? Aku pengen jalan beriringan begini? Bukankah udara terasa cukup dingin?" Paryo tersenyum. Senyuman yang berbeda, menunjukkan deretan giginya yang menguning.

"Lepaskan!" teriak Narsih. Namun Paryo malah semakin kuat mencengkeram pinggang Narsih.

Paryo menyeret tubuh Narsih berbelok masuk ke kebun kopi. Narsih meronta-ronta berusaha melepaskan diri. Namun dia kalah tenaga.

"Toloongg!" pekik Narsih. Teriakannya terdengar nyaring.

"Hey, aku hanya ingin ngobrol sambil melihat kebun kopi yang ranum lho," ujar Paryo melempar tubuh Narsih ke tanah. Narsih mengaduh. Dia hendak menangis, tapi kemudian terkejut melihat Paryo jatuh tersungkur.

Dengan bola mata yang berair, Narsih melihat Wira berjongkok di samping tubuh Paryo yang tengkurap di tanah. Terlihat bercak darah di hidung Paryo.

"Aduuhh, beraninya kamu bocah sialan!" umpat Paryo, merangkak mundur.

"Akan kuadukan pada teman-teman di desaku. Lihat saja, desa kecil ini akan porak poranda," ancam Paryo memegangi tulang hidungnya yang remuk.

"Bawa semua temanmu kemari. Cari nama Wira dari desa Karang. Agar sekalian aku tunjukkan pada teman juga pemimpin desamu, warganya berperilaku menjijikkan," balas Wira tidak gentar. Paryo pun beringsut mundur dan berlari menjauh.

"Jangan terus duduk di tanah. Bangunlah," perintah Wira pada Narsih. Sikapnya tetap dingin. Meski sudah datang menolong, Narsih tetap saja merasa jengkel pada Wira.

"Ayo kuantar pulang," ucap Wira berjalan lebih dulu. Narsih pun mengekor di belakangnya.

"Terimakasih," ucap Narsih sambil berusaha menyusul langkah Wira. Laki-laki gagah itu tidak menyahut. Suasana hening hingga mereka sampai di pelataran rumah Darso.

"Aku pulang dulu. Lain waktu jangan gampang percaya sama laki-laki," ucap Wira menasehati.

"Termasuk kamu?" sergah Narsih. Wira mendengus kesal.

"Terserahmu saja," sahut Wira memutar badan. Laki-laki itu hendak pergi. Buru-buru Narsih berdiri menghalangi, membentangkan tangannya.

"Apa?" Wira melotot.

"Apakah kamu sudah bertanya pada orangtuamu tentangku? Apa benar aku anaknya Darso?" tanya Narsih. Ekspresi Wira terlihat berubah sesaat, nampak bingung. Namun kemudian bola matanya kembali tajam mengarah pada Narsih.

"Iya, kamu anaknya Ki Darso."

Bersambung___

Terpopuler

Comments

tiara officiall

tiara officiall

masih gantengan Wira berarti ya

2024-01-27

0

tiara officiall

tiara officiall

katanya ganteng,tp kok giginya kuning ya

2024-01-27

0

❤Lembayung Jingga❤

❤Lembayung Jingga❤

giginya koq kuning? apa gak pernah disikat🤣🤣

2023-12-05

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!