Nem

Dalam keadaan bingung Narsih duduk termenung di dipan berbahan bambu kuning. Banyak pertanyaan yang muncul di benaknya. Kemana dia harus mengadu atau bertanya?

Sekeras apapun Narsih mencoba untuk mengingat tentang hidupnya, hanya ada tirai hitam kelam yang ada di ingatan. Otaknya kosong, seolah Narsih tidak memiliki masa lalu. Seakan dia baru lahir ke dunia tapi langsung berwujud dewasa.

Bahkan kini perempuan itu mempertanyakan, benarkah dia bernama Narsih? Sulit untuk mempercayai ucapan Darso. Apalagi laki-laki itu memiliki mata yang siap menerkam. Pandangan licik, penuh n*fsu. Sama sekali tidak terlihat seperti sosok Bapak yang mengayomi.

Pandangan Narsih tertuju pada kelambu hijau penutup kamar Darso. Setelah menimbang-nimbang sesaat, Narsih pun melangkah masuk ke dalam kamar. Dia ingin memeriksa ruangan itu, barangkali menemukan petunjuk yang berguna.

Kamar yang terasa pengap. Tanpa jendela ataupun ventilasi. Dinding kayu yang tersusun pun terlihat lebih rapi dan rapat dibanding bagian dapur. Ada aroma tape yang semalam tidak Narsih sadari.

Sebuah botol berwarna hijau tua tergeletak di sudut ranjang. Narsih meraihnya. Terisi cairan separuh bagian. Sepertinya air tape yang dikubur dalam tanah beberapa hari. Sengaja difermentasi agar memabukkan.

Narsih beralih memperhatikan lemari. Dia tertarik pada tumpukan kertas di bagian atas. Narsih meraih salah satu kertas berwarna putih lusuh berisi aksara jawa yang sulit untuk dibaca. Tidak ada hal yang penting ataupun sedikit petunjuk untuk Narsih. Semua yang tertulis ditumpukan kertas itu hanyalah kalimat-kalimat semacam syair.

Saat Narsih hampir menyerah, tangannya yang menarik laci bagian bawah lemari menemukan sebuah kotak kayu kecil seukuran telapak tangan. Kotak kayu dengan ukiran meliuk-liuk yang indah. Setiap detil pahatannya terlihat elok dipandang.

Perlahan Narsih membuka kotak kayu tersebut. Awalnya dia menduga di dalamnya ada perhiasan emas. Namun ternyata hanya ada sebuah sarung keris berukuran sebesar jari telunjuk yang terbenam di dalam kain beludru berwarna hijau tua.

"Mana kerisnya?" gumam Narsih penasaran. Mata bulat itu sulit lepas dari keindahan sarung keris kecil yang unik. Entah bagaimana ada rasa tertarik yang kuat di dalam hati Narsih.

Lamunan Narsih buyar kala perutnya berbunyi. Rasa lapar terasa menyiksa. Lambung itu minta diisi, setelah tadi malam dia memuntahkan semua makanan yang masuk ke dalam perut.

Dengan langkah gontai, Narsih keluar kamar dan menuju ke dapur. Ada sisa bahan makanan di dalam dandang. Narsih melihatnya sekilas, kemudian kembali menutup dandang itu. Perutnya memang terasa lapar, tapi dia kehilangan selera untuk menyantap makanan yang sama dengan semalam.

Narsih memutuskan keluar rumah. Tanpa alas kaki dia berjalan perlahan di halaman depan. Sinar matahari terasa terik, menerpa ubun-ubun. Mencipta sensasi hangat yang membuat Narsih merasa sedikit kurang nyaman. Mata menyipit, tidak terbiasa dengan terangnya dunia.

Narsih mengamati lengannya yang diterpa sinar matahari. Terlihat putih, sangat putih. Bahkan cenderung pucat. Urat-urat di pergelangan tangan nampak hijau kebiruan, seolah tidak ada darah yang mengalir disana.

Ayunan langkah Narsih terasa ringan. Sebenarnya dia tidak tahu hendak pergi kemana. Mungkin mencari sayur-sayuran yang ada di sekitar rumah. Siapa tahu selera makannya muncul melihat jenis sayuran lain dibanding harus memasak daun singkong yang kemarin membuatnya muntah.

Langkah kaki tanpa tujuan, membawa Narsih menjauh dari rumah. Menapaki bebatuan terjal tanpa alas kaki, sesekali telapak halus itu terasa ngilu. Tergores kerikil yang tajam. Hingga akhirnya Narsih sampai di tanah lapang kaki bukit.

Sebuah padang ilalang dan rumput gajahan terhampar luas. Dengan 'rabung' atau punggung bukit yang nampak hijau asri diterpa sinar matahari. Bagian puncak terlihat lebih gelap penuh tumbuhan pinus liar.

Semilir angin menerpa, membelai rambut Narsih yang terurai. Indahnya perbukitan terlihat sempurna dengan lukisan wajah cantik Narsih yang putih bersih. Aroma rumput pun terasa menyegarkan. Namun samar-samar tercium bau anyir yang menyengat.

Hidung Narsih mengendus dan menemukan bercak-bercak kemerahan yang mengering di bagian tengah tanah lapang. Rumput gajahan pun nampak rusak dan merunduk di sekitarnya. Narsih menduga di tempat itulah Darso semalam diseret dan disiksa.

Bulu kuduk meremang. Keindahan yang baru saja dikagumi berubah menjadi aura dingin yang mengerikan. Suara gesekan dedaunan membuat Narsih merasa tidak sendirian. Dia menoleh dan mengamati sekeliling, khawatir ada sosok lain yang mengawasinya.

Dengan tergesa-gesa Narsih pun beranjak pergi dari tempat itu. Nafasnya mulai memburu ketakutan. Saat dia menoleh ke belakang, di kejauhan nampak sosok hitam yang tengah berdiri tegap memperhatikan. Entah siapa sosok itu, Narsih tidak ingin mengetahuinya. Dia terus melangkah pergi, tak mau menoleh ke belakang meski hatinya penuh rasa penasaran.

Narsih hendak kembali ke rumah, namun langkahnya terhenti ketika melihat rimbun bunga melati di tepian sungai. Aroma wangi yang menenangkan membuatnya tertarik. Warna putih bersih seperti kulit tubuh, membuat jari tangan Narsih sangat cekatan memetiknya.

Entah bagaimana muncul ketertarikan untuk mengunyah bunga melati. Perlahan, Narsih memasukkan bunga putih wangi itu ke dalam mulut. Sensasi pertama yang Narsih rasakan adalah manis dan harum. Perutnya terus berbunyi, seolah meminta Narsih untuk terus memasukkan bunga melati ke dalam mulut.

Begitu lahapnya mulut mungil Narsih makan segenggam bunga melati. Rasa laparnya yang sedari tadi menyiksa kini terobati. Perempuan itu bersendawa. Perutnya terasa dingin dan nyaman.

Kini Narsih kembali melangkah menuju ke rumah. Meski dia belum memiliki rencana apa yang akan dilakukan nanti setibanya di rumah. Mungkin hanya duduk melamun seharian. Atau bongkar-bongkar bilik kamar Darso sekali lagi.

Kala mencapai halaman depan rumah, langkah Narsih terpaksa harus berhenti. Dia diam terpaku menatap sosok yang keluar dari dalam rumah. Keringat mulai mengalir di dahi. Narsih ketakutan.

Narsih mengenali sosok yang berjalan dengan bantuan tongkat kayu itu. Laki-laki tua dengan sorot mata tajam dan terlihat gahar dengan garis rahang yang tegas. Janggutnya yang memutih menambah kesan menakutkan. Meski terlihat renta, namun aura laki-laki itu tetap terasa sangat mengintimidasi. Narsih mengenalinya. Laki-laki tua yang semalam mengalahkan 'ilmu' Darso.

"Siapa kamu Nduk?" tanya Ki Mangun sembari perlahan berjalan mendekati Narsih.

"A aku. . ." Narsih tergagap. Suaranya tercekat.

"Kenapa kamu terlihat takut padaku?" tanya Ki Mangun.

"Aku anaknya Darso," jawab Narsih cepat. Narsih memperhatikan raut muka Ki Mangun. Meski ketakutan, dia penasaran bagaimana reaksi laki-laki tua itu mendengar pengakuan Narsih.

Ki Mangun diam saja. Acuh tak acuh. Dugaan Narsih yang mengira Ki Mangun bakalan terkejut dengan pengakuannya ternyata keliru. Laki-laki tua itu berjalan melewati Narsih begitu saja.

"Yasudah, aku pulang dulu ya Nduk," ucap Ki Mangun.

Narsih semakin bingung. Jika Ki Mangun tidak terkejut dengan pengakuannya, itu berarti Darso memang benar orangtua Narsih. Tapi, Katimin tadi pagi terlihat tidak kenal dengan Narsih. Apa yang sebenarnya terjadi dengan hidupnya? Rasa penasaran dalam benak Narsih semakin tak terbendung.

"Ki Mangun. Tunggu!" pekik Narsih dengan suara bergetar.

Bersambung___

Narsih Kembali 👻

Terpopuler

Comments

Laksmi Amik

Laksmi Amik

sp narsih

2024-02-01

0

Rose_Ni

Rose_Ni

fix bukan manusia/Panic/

2024-01-31

0

Zuhril Witanto

Zuhril Witanto

akankah Narsih bertanya tentang dirinya

2024-01-23

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!